Oleh : Rismayanti, S.Pt., M.M (Aktivis Pendidikan)
Skandal menggemparkan kembali mencoreng nama baik pejabat negara. Bukti-bukti mengejutkan menunjukkan keterlibatan mereka dalam praktik judi mencerminkan moral yang sudah bobrok dan ketidakpantasan perilaku yang seharusnya menjadi teladan masyarakat. Baru-baru ini dikabarkan sebanyak 82 anggota DPR-RI. berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jumlah itu jauh lebih banyak dari yang diungkapkan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). (kompas.com 28/06/24).
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, mengungkapkan bahwa lebih dari 1.000 anggota DPR dan DPRD terlibat dalam judi online. Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI di Jakarta pada Rabu, 26 Juni 2024 (www.tirto.id)
Legalisasi perjudian merupakan kemungkinan yang nyata di negara sekuler demokrasi. Indonesia pernah melegalkan perjudian pada era Orde Baru, dan kini isu legalisasi kembali mencuat.
Sekularisme menyebabkan pemerintah dan anggota dewan mengabaikan syariat agama dalam mengatur kehidupan. Akibatnya, perjudian yang jelas-jelas haram justru dihalalkan. Sementara itu, demokrasi memberikan kewenangan untuk menentukan apa yang halal/haram atau legal/ilegal kepada manusia, bukan kepada Allah Taala Sang Pencipta. Para wakil rakyat dapat melegalkan sesuatu yang haram melalui undang-undang dan regulasi lainnya, termasuk perjudian.
Saat ini, meskipun perjudian dilarang oleh undang-undang, perjudian online marak di masyarakat. Negara tampak kesulitan menangani masalah ini karena banyak pejabatnya sendiri yang terlibat dalam perjudian online. Bagaimana negara dapat memberantas perjudian online jika aparatnya sendiri adalah pelaku?
Aturan yang ada pun ternyata longgar dan mudah dilanggar. Misalnya, Pasal 303 bis KUHP memiliki frasa "kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu". Artinya, perjudian bisa dibolehkan jika penguasa memberikan izin.
Inilah gambaran kerusakan negara yang diatur dengan demokrasi kapitalistik. Demokrasi memungkinkan aturan diubah-ubah untuk memenuhi keinginan penguasa. Sedangkan kapitalisme membuat para penguasa gila harta sehingga hanya memikirkan keuntungan pribadi dalam membuat keputusan. Mereka mengabaikan hukum syariat dan kesejahteraan rakyat. Kerusakan akibat perjudian di masyarakat pun dibiarkan.
Memberantas judi online dalam Khilafah dapat dilakukan dengan mudah jika penguasa memiliki komitmen yang kuat terhadap syariat Islam, yang secara konsisten mengharamkan judi. Baik judi secara tradisional maupun modern, seperti judi online, semuanya dianggap haram dan dilarang.
Terhadap judi offline, negara akan melakukan penindakan langsung terhadap pelaku yang berjudi di tempat-tempat fisik. Sedangkan untuk judi online, pendekatan lebih mudah dilakukan karena jejak digital pelaku dapat dilacak dengan lebih efisien. Khilafah akan menutup semua saluran judi online, termasuk situs-situs judi serta platform media sosial yang digunakan untuk perjudian.
Secara preventif, Khilafah akan memperkuat akidah dan ketaatan terhadap syariat melalui pendidikan, dakwah, dan media massa, sehingga masyarakat memiliki pertahanan internal terhadap godaan judi online. Secara kuratif, Khilafah akan menegakkan sanksi takzir yang tegas terhadap pelaku judi online, termasuk hukuman cambuk, penjara, atau sanksi lainnya.
Khilafah juga akan memastikan bahwa aparat dan pejabat yang menduduki posisi pemerintahan adalah orang-orang yang adil dan taat pada syariat. Mereka yang terlibat dalam perilaku maksiat, termasuk judi, tidak akan diizinkan untuk menjadi bagian dari aparat negara atau wakil rakyat. Dengan mekanisme syariat ini, Khilafah bertekad untuk memberantas perjudian sepenuhnya.
memberantas judi online di sistem buatan manusia, bagai pungguk merindukan bulan. Jadi kenapa tidak kembali pada sistem Islam?
Wallahu a'lam bishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar