Oleh: Liza Khairina
Harga diri seorang muslim bukan pada dirinya, keluarganya, nasabnya, sukunya dan hubungan apapun yang dibangun bukan atas dasar aqidah. Harga diri bagi seorang muslim adalah agamanya, Allah dan RasulNya. Jika agamanya dihina, dia harus marah dan menolong kehormatan agamanya dengan perjuangan yang maksimal.
Bukan malah pasif sebagai pembenaran terhadap asumsi kebanyakan orang, bahwa agama tidak perlu dibela. Ia sudah agung walau tanpa pembelaan kita. Sungguh ini kalimat rendah yang kembali pada dirinya, sebab rendah komitmen terhadap agamanya.
Rasulullah saw diam dan menerima segala keburukan yang dialamatkan pada dirinya. Tapi ketika kehormatan agamanya direndahkan, Beliau marah hingga memerah matanya. Hal itu menjadi prinsip aqidah Islam yang diwariskan Beliau pada para penggantiNya (Al-Khalifah) dan kaum muslimin seluruhnya. Semua mereka mencintai Beliau saw hingga akhir masa.
Hari ini berbeda, kondisi umat Islam ketika tanpa khalifah. Penistaan terhadap agama, Allah dan Rasul saw, Alquran, dan simbol-simbol Islam begitu masif dipertontonkan ke publik dengan bangga dan berulang-ulang. Bahkan menyedot perhatian umat sehingga banyak pengikutnya. Sebut saja fakta Mama Ghufron yang mengaku sebagai wali yang mengarang kitab Suryani dan bisa berbahasa semut. Ini fakta untuk kesekian kalinya setelah sebelumnya banyak juga ucapan dan tindakan yang sifatnya menista agama Islam.
Menurut aktivis islam Farid Idris bahwa Mama Ghufron telah menyampaikan pernyataan dan menyebarkan kesesatan yang tidak boleh dibiarkan. Kata Farid, hal ini tentu sudah meresahkan masyarakat dan meminta kepada pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenag harus bertindak agar umat terselamatkan. Pun kepada MUI Banten agar memanggil Ghufron untuk klarifikasi ajaran sesatnya di publik. (suaranasional.com, 19 juni 2024)
Ini sungguh meresahkan dan merusak apabila dibiarkan. Apalagi di negeri yang sangat kental keislamannya. Apabila di negeri mayoritas muslim dunia saja mendiamkan dan membiarkan pelecehan demi pelecehan terus diproduksi. Bagaimana di negeri-negeri yang sedikit muslimnya, bahkan tidak ada muslimnya. Tentu lebih memilukan.
Tidak adanya sikap tidak terima dan marah atas kejadian itu, bahkan oleh para pengambil kebijakan yang notabene muslim. Sekedar menggertak dan memberi sanksi pun tidak mereka dilakukan.
Ini tentu sangat kita sayangkan. Karena akan menyebabkan masyarakat kita kebal dan terbiasa dengan pelecehan demi pelecehan. Masyarakat tidak berpikir sebuah kesalahan dengan perbuatan menista agama. Bahkan banyak yang kemudian menjadi pengikutnya. Padahal sebelum-sebelumnya upaya masyarakat dengan melaporkannya sudah dilakukan. Tapi tidak ada respon serius untuk menindaklanjuti kasus-kasus penistaan agama.
Melihat hal Ini, kita harus menyadari. Bahwa ini bukan persoalan personal maupun komunal. Tapi sudah sistemik yang menunjukkan bahwa pemerintahan kita sedang terjangkiti virus mindset sekularisme akut. Ditambah dengan kebutuhan eksistensi dan publikasi media sosial menambah panjang rusaknya perilaku masyarakat. Tidak adanya sanksi yang tegas oleh pihak yang berwajib menambah tumbuh suburnya penistaan agama dengan beragam cara.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam memahamkan masyarakat dengan standar Syariat islam kaffah. Pola pikir dan pola sikap yang dibatasi oleh syariah menjadikan masyarakat tidak kebablasan. Pertimbangan halal dan haram, taat dan maksiat menjadi acuan dalam sistem bermasyarakat dan bernegara. Disempurnakan dengan sistem sanksi yang membuat jera para pelakunya. Membuat masyarakat berpikir ribuan kali ketika akan menyampaikan dan berbuat sesuatu hal yang menista agama dan merusak pemahaman masyarakat.
Kasus relevan yang bisa diambil pelajaran adalah: kasus yang terjadi pada masa Nabi saw. Sikap nyeleneh Dzul Khuwaishirah setelah perang Hunain terkait pembagian harta rampasan (ghanimah) yang kemudian hari menjadi cikal bakal gerakan menyimpang Khawarij.
Menghadapi kasus seperti ini, Nabi saw pertama kali melakukan tabayun (klarifikasi) untuk memeriksa kebenarannya. Itu dilakukan dengan pendekatan persuasif. Setelah tabayun dan mediasi, Beliau mengusahakan diskusi dan argumentasi. Selanjutnya nabi juga melakukan antisipasi dini dengan banyak menjelaskan perihal ajaran sesat dalam banyak haditsnya. Setelah semua cara dilakukan, barulah Beliau saw mengambil langkah terakhir, yakni eksekusi dengan menumpas orang atau kelompok yang menyimpang walau tidak semuanya habis. (Ibnu Khayyat, Tarikh Khalifah 197).
Sungguh, apapun sajian sejarah kehidupan pada masa kepemimpinan Islam adalah fakta. yang harus dihukumi sesuai dengan syariat islam dan diambil sebagai hukum yang menyelamatkan di masa depan. Wallahu a'lam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar