Dimana Keadilan Hukum?


Oleh : Ummu Aldy

Setelah KDRT, terbitlah penistaan agama. Pada April 2024, seorang istri melaporkan suaminya bernama Asep Kosasih (yang merupakan seorang pejabat Kementerian Perhubungan) perihal KDRT. Pada Mei 2024, sang suami kembali dilaporkan lantaran saat melakukan “sumpah tidak berselingkuh”, sang suami menginjak Al-Qur’an. Polda Metro Jaya menyebut bakal memproses laporan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke tersebut.

Tampaknya, dugaan penistaan agama, terlebih terhadap Islam, sudah berulang kali terjadi. Sebelumnya, ada YouTuber menyebut Nabi Muhammad ï·º sebagai pengikut jin. Ada pula komika yang menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan dan kelakar dalam konten media mereka. Kebanyakan objek penistaan tersebut menjurus kepada Islam, bukan agama lain. Lalu mengapa negara seakan tumpul mencegah penistaan agama terjadi?


Menyubur dalam Ruang Sekularisme

Penistaan agama makin subur saja dalam ruang hidup sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Ironisnya, paham ini juga diadopsi oleh negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. 
Sekularisme ditopang oleh empat pilar kebebasan dalam sistem pemerintahan demokrasi, yakni kebebasan beragama, bertingkah laku, berekspresi, dan berpendapat. Kehidupan sekuler telah menjadikan agama Islam sebatas ritual semata. Kemuliaannya makin terkikis oleh gaya hidup liberal dan hedonistik yang dijajakan Barat. Agama tidak lagi menjadi prinsip hidup yang sakral yang harus dijaga dan dihargai.

Kehidupan sekuler menjadikan seseorang memiliki pandangan yang berbeda tentang agama. Sebagian mereka tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Ada pula yang berpandangan bahwa orang yang taat beragama itu kolot, primitif, dan tidak maju. Sudut pandang semacam inilah yang memunculkan anggapan bahwa agama tidak lagi penting dan bukan lagi sesuatu yang suci dan harus dihormati. Akibatnya, agama kerap menjadi bahan bercanda, sindiran, olok-olokan, narasi kebencian, hingga penistaan agama. 

Atas nama liberalisme, kebebasan berekspresi dan berpendapat selalu menjadi pembenar bagi mereka yang menistakan agama. Kalaulah ada unsur khilaf atau tidak sengaja, ini menandakan bahwa masyarakat kita masih belum memahami cara beragama yang benar dan seharusnya. Andaikan yang dilakukan pejabat Asep itu adalah ketidaktahuannya bahwa bersumpah tidak boleh dilakukan dengan cara menginjak Al-Qur’an, artinya ia tidak paham tentang Islam dan cara memperlakukan kitab suci umat Islam dengan benar dan tepat. 

Penistaan agama yang terjadi kesekian kalinya sejatinya mengindikasikan bahwa perangkat hukum yang ada tidak berefek jera bagi pelaku. Berkaca dari kasus penistaan agama yang sudah pernah terjadi, negara cenderung pasif. Terkadang, pihak aparat baru menindak jika kasus tersebut viral dan menjadi perbincangan publik.

Bagaimana dengan hukuman bagi penistaan???? Apalagi posisi umat Islam serba salah. Jika ada muslim yang melaporkan penistaan agama, sebagian pihak menangkisnya dengan dalih umat Islam tidak boleh terprovokasi dan terpancing. Jika penistaan agama dibiarkan, perbuatan tersebut berpotensi kembali berulang dengan pelaku yang berbeda-beda. Jika Islam dihina dan menjadi bahan olok-olokan, umat Islam yang kerap diminta sabar dan tidak tersulut amarah. Melapor dipersalahkan, tidak melapor juga salah.

Sejauh ini juga, hukuman yang ada belum berefek jera bagi pelaku. Terkadang, para penista yang menebar kebencian terhadap Islam hanya cukup meminta maaf secara tertulis atau melalui media elektronik. Sudah banyak kasus penistaan yang mengandung ujaran kebencian hanya berakhir dengan permintaan maaf. 

Contohnya, kasus penistaan yang dilakukan komika Coki Pardede saat menjadikan kisah Nabi Ibrahim sebagai bahan bercanda. Ia selalu berdalih dan membantah tidak melakukan penistaan dan olok-olokan itu hanya berakhir dengan permintaan maaf semata tanpa ada ketegasan hukum bagi orang yang tidak menghormati agama orang lain.

Dalam KUHP ayat 156 a, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan penistaan agama di Indonesia dapat dikenakan hukum pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun jika perbuatan dilakukan di muka umum atau selama-lamanya 6 (enam) tahun jika penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik. Apakah hukum seperti ini mampu memberi keadilan hukum dan melindungi agama dari penistaan.  


Islam Menjaga Agama

Dalam Islam, agama adalah sesuatu yang wajib dijaga dan dimuliakan. Salah satu tujuan diterapkannya syariat Islam adalah memelihara dan melindungi agama. Di dalam sistem Islam, negara tidak akan membiarkan para penista menyubur di sistem Islam. Sebaliknya, negara akan menerapkan sanksi tegas terhadap para pelaku agar bisa berefek jera bagi yang lainnya.

Ketegasan Islam terhadap penista agama bisa kita lihat dari sikap Khalifah Abdul Hamid saat merespons pelecehan kepada Rasulullah (saw.). Saat itu, beliau memanggil duta besar Prancis meminta penjelasan atas niat mereka yang akan menggelar teater yang melecehkan Nabi (saw.). Beliau pun berkata kepada duta Prancis, “Akulah Khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!”

Itulah sikap pemimpin kaum muslim, yakni tegas dan berwibawa. Umat akan terus terhina karena tidak ada yang menjaga agama ini dengan lantang dan berani. Hanya dengan tegaknya syariat Islam secara kafah, agama ini terlindungi. 

Oleh karena itu, seruan penegakan syariat Islam harus terus disuarakan agar umat memahami bahwa satu-satunya pilihan hidup terbaik saat ini dan seterusnya adalah diterapkannya syariat Islam di segala aspek kehidupan. Hal yang tidak kalah penting ialah keberadaan Khilafah yang menerapkan syariat Islam kafah sehingga kaum muslim dapat terlindungi dari kesalahan beribadah, penyimpangan, serta penistaan agama.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar