Kapitalis, Jadikan Hajatan Penuh Hedonis


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Terdapat tiga bulan istimewa yang berdekatan yang sering dipakai untuk acara hajatan, baik itu pernikahan, khitanan, dan lain-lain termasuk syukuran keberangkatan dan kepulangan haji. Hal ini dapat kita lihat dari berjejernya janur hampir di sepanjang jalan, menyebarnya undangan online maupun offline, dan lakunya penjual amplop, hehe! 

Bulan tersebut adalah Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharram. Bulan-bulan tersebut memang diyakini oleh sebagian orang sebagai bulan yang penuh keberuntungan sehingga bagus jika dipakai untuk hajatan. Berbagai keberkahan terdapat di dalamnya. Selain berkah mendapat daging kurban, juga berkah bisa makan prasmanan di tempat hajatan yang tentunya menu yang dihidangkan juga super duper lezat dan istimewa. 

Hanya saja keberkahan itu sekejap saja. Karena kenyataannya apa yang disuguhkan saat hajatan amat berbeda dengan keseharian. Ibarat kata, kemarau setahun lenyap oleh hujan sehari. Jatah untuk makan sebulan, habis untuk sekali prasmanan. Besar pasak daripada tiang, besar pengeluaran dari pendapatan. Demi hajatan, semua diada-adakan, serba dipaksakan. Hedon telah menjadi gaya hidup masyarakat sekarang, termasuk saat hajatan. Entah yang mengadakan hajatan, entah yang menghadiri hajatan. Semua bertopeng kemunafikan. 

Contoh dalam hajatan pernikahan. Yang terpenting sebenarnya adalah asal sah saat akad, yaitu terpenuhinya semua syarat pernikahan. Mulai adanya mempelai pria dan wanita, wali, saksi, ijab qabul, dan mahar. Kalaupun harus bayar ke KUA biayanya tidak seberapa, masih di bawah sewa/bayar Wedding Organization (WO). Tapi karena gaya hedon, biaya hajatan pernikahan bisa membengkak sampai berlipat-lipat. Beli suguhan buat yang datang, cindera mata, sewa baju pengantin, bayar WO, hiburan (dangdutan, wayang, upacara adat, siraman), foto bak studio, hidangan prasmanan, dll. 

Atau dalam hajatan khitanan. Yang terpenting adalah ke tempat khitan untuk mengkhitan anak. Biayanya hanya berkisar di bawah satu juta. Kalaupun laser, tidak sampai puluhan juta. Tapi lagi-lagi karena gaya hedon, biayanya melambung tak karuan. Mulai hiburan (kuda singa, kuda renggong, wayang, dangdutan), bolu bak ulang tahun artis, dll. 

Demikian juga dengan hajatan lainnya. Semua berubah dari keberkahan jadi kesusahan yang tak berkesudahan. Bagaimana bisa berkesudahan, jika setelah hajatan meninggalkan utang segudang? Mending kalau utangnya tak berbunga, kalau riba? Lebih menderita lagi. Sengsara di dunia juga akhirat. Di dunia terhina, di akhirat dapat siksa. Na'udzubillah! 

Inilah bahaya hedonisme. Anehnya semakin hari malah semakin diminati bahkan dijadikan gaya hidup yang sifatnya wajib. Padahal gaya inilah yang membuat hidup semakin sulit. Di tengah himpitan ekonomi negeri yang semakin tidak menentu akibat kebijakan pemerintah yang tidak bijak, masyarakat bukannya berhemat malah sebaliknya. Tidak heran, jika angka kemiskinan semakin tinggi, korban pinjol meningkat, perjudian merajalela, kejahatan ikut meningkat. 

Gaya hedon ini adalah anak dari sistem kapitalis liberalisme. Semua serba bebas, serba boleh. Ingin instan dengan cara instan pula tanpa melihat halal haram. Asal hawa nafsu terpenuhi, apa peduli dengan aturan Illahi. Sudah tak ada lagi fans "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian". Lagi pula hari gini, siapa yang mau bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian? Mending kalau keburu senang, kalau keburu mati? Itu rupanya yang kepikiran. Akibat dari dijauhkannya agama dari kehidupan. 

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, hajatan diartikan sebagai bentuk kesyukuran terhadap rejeki yang Allah SWT. limpahkan. Bentuknya dapat berupa mengundang tetangga dan kerabat untuk sama-sama berdoa kemudian menikmati jamuan seadanya, bukan mengada-adakan. Dengan demikian tidak ada yang terdzalimi dan mendzalimi. Semua berbahagia, yang mengadakan hajatan juga tamu undangan. Mereka tidak dituntut untuk membawa hantaran di luar kemampuan, karena bukan itu yang diharapkan. Semua semata-mata berharap keridhaan Allah SWT. Maka berkah benar-benar dapat dirasakan. 

Memang, tidak ada kemubadziran dalam hidup ini. Bila hajatan mengundang dan menjamu kerabat atau handai taulan, maka itu dicatat sebagai sedekah. Bila yang diundang kemudian memberikan hadiah uang atau barang, maka itu juga dicatat sebagai sedekah. Namun, kita juga harus ingat, janganlah pula kita mengundang keburukan yang lebih besar. Sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa menyandarkan setiap aspek kehidupan kepada hukum syara. Apakah perbuatan kita termasuk ke dalam wajib/fardu, sunah, mubah, makruh, atau haram? Jangan sampai perbuatan sunah kita, melalaikan kewajiban. Sedekah adalah sunah, tapi meninggalkan hedonisme adalah wajib. 

Boleh berlebih ketika kita memang mampu. Islam tidak melarang penganutnya untuk kaya, atau membeli barang yang oleh sebagian orang dianggap barang mewah. Kalau mampu, silakan. Bukan dengan memaksakan. Bahkan Islam sangat menganjurkan penganutnya tekun berusaha dan bekerja disamping ikhtiar dan doa karena sebagian ibadah memerlukan harta. Ibadah haji, kurban, bahkan shalat dan puasa pun perlu biaya. Islam juga menganjurkan agar penganutnya peduli sesama, saling tolong-menolong, dan berkasih sayang.

Menurut salah satu riwayat, Rasulullah selalu membagi makanan yang dimasak di rumahnya kepada tetangga yang mencium aroma masakan tersebut. Rasulullah juga menganjurkan kita untuk senantiasa bersedekah dikala lapang dan sempit tanpa memandang perbedaan suku, ras, warna kulit, atau agama. Kebiasaan baik tersebut terus dijaga dan diteladani oleh para sahabat dan yang lainnya. 

Semua itu sebagai bentuk ketaatan dan pelaksanaan atas firman Allah SWT:
وَاٰ تِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَا لْمِسْكِيْنَ وَا بْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَا نُوْۤا اِخْوَا نَ الشَّيٰطِيْنِ ۗ وَكَا نَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
"Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra': 26-27).

Benteng keimanan dan ketakwaan lah yang mampu mensuasanakan hal demikian. Karena perbuatan hedon tidak datang dengan sendirinya, tidak pula bisa diusir oleh orang sendiri-sendiri atau satu keluarga saja. Tontonan yang memberikan tuntunan saat ini memang banyak menyuguhkan kehidupan hedon. Para penguasa pun malah pamer gaya hedon. Padahal yang bisa mencegah merebaknya gaya hedon adalah penguasa. Sebab agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar. Jika tidak beriringan antara keduanya, maka kepincangan akan melanda. Demikian pula hari ini, gaya hedon ini perlu dibasmi bersama-sama.

Caranya dengan bersinerginya individu, masyarakat, dan negara dalam menerapkan hukum syara di seluruh aspek kehidupan, termasuk aturan hajatan. Dengan begitu barulah kesyukuran yang diniatkan akan sesuai dengan tuntunan Allah SWT. sehingga akan mendatangkan berkah bagi seluruh alam.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar