Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Masih ingat jingle lagu ini?
Tiba waktunya untuk gunakan hak pilih kita/Salurkan aspirasi bersama demi bangsa/Teguh percaya suara kita sangat berharga/Menentukan arah masa depan Indonesia/Langsung umum bebas rahasia/Jujur dan adil/Sebagai sarana integrasi bangsa//Ayo rakyat Indonesia/Bersatu langkahkan kaki/Menuju bilik suara/Rabu 14 Februari//Ayo rakyat Indonesia/Beri kontribusi nyata/Raih asa bersama/Kita memilih untuk Indonesia.
Atau lirik lagu lawas yang tenar tahun 1971-1999 ini?
Pemilihan umum telah memanggil kita/S’luruh rakyat menyambut gembira/Hak demokrasi Pancasila/Hikmah Indonesia merdeka//Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/Pengemban Ampera yang setia/Di bawah Undang-Undang Dasar '45/Kita menuju ke pemilihan umum.
Memang sih, pemilu sudah lewat beberapa bulan yang lalu. Tapi sebentar lagi kita akan menghadapi pemilu Pilkada. Dan tidak dipungkiri, kesibukannya sudah dirasa. Mulai pendataan calon pemilih, rapat-rapat, dll. Padahal, kalau cerdas kenapa tidak memakai data yang kemarin saat pemilu saja, ya? Agar hemat tenaga dan biaya. Atau sengaja untuk menghambur-hamburkan anggaran? Ups!
Terlepas itu semua, kita sebagai masyarakat biasa yang serba biasa-biasa saja. Masihkah menyimpan harapan di pemilu berikutnya? Secara, pemilu kemarin kita disuguhi drama luar biasa. Luar biasa di luar aspirasi bangsa, luar biasa bahwa suara kita dianggap berharga, berharga untuk menutupi suara-suara yang sudah disiapkan, luar biasa jauh dari jujur dan adil. Bahkan jika mau jujur, pemilu tahun ini adalah yang terluar biasa buruknya.
Apalagi deretan kecurangan, tindak kejahatan yang dilakukan calon terpilih atau yang sedang menjabat melebihi preman bahkan gembong. Korupsi, tindak kekerasan, tindak asusila, narkoba, penyedia judi online dan pinjaman online, dll. Mari buka mata, telinga, dan pikiran kita. Sebagai pemilih, jadilah pemilih yang cerdas dalam memilih, agar tidak salah pilih.
Pada setiap pemilu, suara rakyat diperebutkan—sebagaimana slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”—, tetapi ketika pemilu sudah selesai dan yang terpilih sudah melakukan tugasnya, justru undang-undang dan kebijakan yang dilahirkan tidak berpihak kepada rakyat.
Seharusnya, jika kita berjualan tidak laku bahkan rugi rasa-rasanya malas untuk kembali berjualan. Seharusnya pula, ketika memilih pemimpin pun seperti itu, selagi sistem yang dipakai sama. Tapi nyatanya, kita selalu ada harapan yang dihembuskan sistem ini kendati harapan itu hanya sebatas harapan. Pepatah Sunda mengatakan, "melak sugan di tanah lamun, buah na ge boa-boa" (menanam harapan hanya dalam lamunan, hasilnya pun tidak pasti).
Sungguh tidak ada kebaikan pada sistem buatan manusia yang lahir dari kepentingan hawa nafsu, seperti sistem demokrasi yang justru menuhankan akal manusia melalui rayuan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Meski dalam pelaksanaannya, proses demokrasi sering terpotong hanya dari rakyat saja. Sementara itu, prinsip oleh dan untuk rakyat sering terabaikan karena dimanipulasi oleh penguasa. Kekuasaan yang diperolehnya justru bukan untuk menyejahterakan masyarakat, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan dijadikan jalan untuk menumpuk kesejahteraan pribadinya.
Jika memakai logika, ketika kita berharap akan mendapat kenyamanan berkendara dengan hanya mengganti supir, apakah akan tercapai? Tentu tidak, bukan? Selain supir, kita juga harus mengganti kendaraannya, memperbaiki fasilitas jalannya, dll. Apalagi sistem kehidupan. Jika sistem saat ini terbukti tidak mampu mengabulkan harapan dan meraih cita-cita, kenapa masih terus-terusan berharap? Mengapa tidak menggantinya dengan sistem yang lebih baik? Sistem yang sudah terbukti tidak hanya mengobral janji. Sistem yang benar-benar telah terbukti dapat menjadi pondasi dalam kehidupan bermasyarakat juga bernegara dalam kurun waktu ratusan tahun.
Dialah sistem Islam. Karena sistem Islam berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT. Tidak ada yang lebih mengerti harapan, kemauan, kekurangan, serta kelebihan makhluknya selain dari Yang Menciptakannya. Tidak ada yang dapat mengatur selain dari Sang Maha Pengatur. Dalam sistem Islam, pemimpin ibarat penggembala, dimana dia harus bertanggungjawab terhadap ternak yang digembalakannya.
Baiklah, mari kita kembali memakai logika. Adakah seorang penggembala yang ingin dilayani oleh ternak gembalaannya? Tidak ada kan? Justru dialah yang menjaga ternak gembalaannya. Tidak peduli hujan badai atau terik panas matahari yang menyengat, dia senantiasa menjaga, merawat, bahkan menyediakan apapun kebutuhan ternak gembalaannya. Nah, dalam sistem ini, sudahkah para pemimpin yang dipilih melakukan demikian?
Jangan lagi terpedaya dengan panjang sorban, atau untaian kata bijak padahal menjebak. Bukan pula karena seringnya umrah/haji atau rajin update shalat berjamaah. Seorang pemimpin juga harus meninggalkan korupsi, mengurus rakyat dengan benar, meninggalkan yang haram, melakukan yang wajib sebanyak mungkin, melakukan yang sunah sebanyak mungkin, meninggalkan yang makruh, jika memilih yang mubah haruslah yang bermanfaat. Jangan sampai melakukan banyak sunah, tetapi meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram.
Sudah saatnya kita sebagai masyarakat tidak terjebak dalam gerakan perubahan yang ditawarkan demokrasi. Demokrasi tidak perlu diselamatkan, tidak perlu dipertahankan, dan tidak perlu dijaga. Yang harus dilakukan adalah mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar