Oleh : Hanum Hanindita, S.Si.
Beberapa waktu yang lalu kita mencuat berita terkait kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak terhadap orang tuanya sendiri. Kasus di antaranya adalah di Duren Sawit terjadi pembunuhan seorang pedagang yang tewas di toko perabot. Setelah diperiksa lebih dalam oleh pihak kepolisian ternyata pelaku adalah putri kandung korban. Motif pembunuhan adalah pelaku kesal karena terjadi pertengkaran dan cekcok dengan korban (liputan6.com, 24/06/24)
Dari Lampung, seorang anak dengan tega menganiaya ayah penderita stroke hingga berujung pada kematian karena kesal diminta sang ayah mengantarkan ke kamar mandi. (lampung.tribunnews.com, 13/06/24)
Ini beberapa yang terungkap di media, bisa jadi yang tidak terungkap juga masih banyak. Miris, bukankah seharusnya hubungan yang normal antara orang tua dan anak adalah hubungan kasih sayang dan saling memberi perhatian. Bukankah seharusnya anak menunjukkan baktinya kepada orang tua. Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan maraknya kasus-kasus ini?
Faktor Penyebab Kekerasan
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan seseorang melakukan tindak kekerasan kepada orang lain, bahkan hingga berujung menghilangkan nyawa. Faktor penyebab adalah sebagai berikut :
Pertama, pelaku tidak mampu mengontrol emosi. Hal ini bisa disebabkan banyak hal, misalnya karena masalah ekonomi, pengaruh narkoba, ataupun tontonan dari media yang ada. Ini semua bisa mempengaruhi emosi seseorang yang berimbas pada perilaku orang tersebut.
Kedua, pengaruh buruk lingkungan. Tak pelak lagi lingkungan pergaulan juga banyak mempengaruhi pola pikir dan pola sikap seseorang. Orang yang tumbuh dalam lingkungan liar serta bebas bergaul dan tidak peduli nilai-nilai kesopanan atau moral, apalagi nilai agama akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar dan agresif. Pada kasus di Duren Sawit misalnya, pelaku diketahui banyak hidup di jalanan sebagai seorang pengamen. Sebagaimana kita ketahui kehidupan di jalanan mayoritas tidak terkendali, bebas aturan, brutal dan juga dekat dengan keburukan.
Ketiga, hubungan yang tidak harmonis di dalam keluarga. Tentu saja hal ini bisa memicu tindakan keji. Psikolog dari Rumah Sakit Jiwa Lampung, Retno A Riani berpandangan bahwa penganiayaan yang mengakibatkan seorang ayah hingga meninggal disebabkan tidak adanya koneksi afeksi antara orang tua dan anak (lampung.tribunnews.com, 13/06/24).
Benar saja, kedua kasus di Lampung dan Duren Sawit memiliki kesamaan yaitu hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis. Di Duren Sawit, anak yang membunuh ayahnya sudah lama sering cekcok. Menurut sumber berita diketahui ayahnya juga sering memaki dan memukul anaknya karena menuduh anaknya mencuri. Hubungan yang tidak sehat dalam keluarga akan merusak hubungan kasih sayang yang seharusnya ada dalam diri orang tua dan anak.
Keempat, lemahnya sistem sanksi. Lemahnya penegakan sanksi terhadap pelaku kriminal pembunuhan turut membuka lebar kesempatan orang untuk melakukan tindakan sadis tersebut. Bahkan bila seandainya pelaku masih berada di bawah usia 18 tahun, bisa terbebas karena masih dikategorikan di bawah umur. Sanksi yang diberikan pun tidak menjerakan baik untuk pelaku ataupun menjadi pembelajaran pihak lain agar tidak melakukan hal yg sama.
Kelima, kehidupan sekularisme kapitalisme. Dari semua faktor yang ada, inilah yang menjadi akar permasalahan. Sekularisme kapitalisme telah merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga. Sekularisme melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh dan kosong jiwanya.
Mengapa? Sebab sekularisme telah menyebabkan orang menjadi lalai dengan agamanya dan merasa bebas melakukan apa pun tanpa ada aturan agama yang membatasi. Akhirnya ketika ada perasaan kesal atau marah terhadap orang lain, akan mudah tersulut emosinya dan mengambil jalan pintas sekalipun harus menghilangkan nyawa orang. Sementara, kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan, abai pada keharusan utk birrul walidain. Keadaan semakin diperparah dengan sistem pendidikan sekuler yang tidak mendidik agar memahami birrul walidain. Dari sini lahirlah generasi yang rusak dan merusak, rusak pula hubungannya dengan Allah Swt.. Di sisi lain kehidupan sekularisme kapitalisme juga bisa memproduksi orang tua yang perilakunya kasar terhadap anak-anak mereka. Maka wajar saja dalam kondisi tidak ideal seperti ini, rusak pulalah hubungan di antara orang tua dan anak.
Ini semua jelas menjadi tanda bahwa penerapan sistem hidup sekularisme kapitalisme gagal memanusiakan manusia. Fitrah dan akal tidak terpelihara, serta menjauhkan manusia dari penciptaannya yaitu sebagai hamba dan khalifah pembawa rahmat bagi alam semesta.
Islam Memberikan Solusi
Nyatanya telah jelas kehidupan sekularisme dan kapitalisme telah menjadi rahim dari lahirnya pendidik maupun generasi yang rusak. Aturan yang tegak di atas sekularisme kapitalisme juga tidak mampu menyelesaikan masalah hingga tuntas ke akarnya. Justru malah semakin membuka jalan kerusakan. Wajar saja, sebab sekularisme kapitalisme berdiri di atas asas kebebasan dan mengagungkan materi. Aturan yang lahir tidak akan mampu membuat kehidupan menjadi aman, tentram dan nyaman.
Berkebalikan dengan sekularisme kapitalisme, Islam adalah agama sekaligus way of life yang akan menuntun manusia dan menciptakan kehidupan yang aman dan sejahtera. Sebab ideologi Islam tegak di atas dasar aqidah yang kuat, lurus dan mantap. Aturan yang lahir langsung berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir yang Maha Mengetahui segala sesuatu tentang alam, manusia dan kehidupan.
Di dalam QS Al-Ma’idah Allah Swt. berfirman yang artinya, "Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur'an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya). Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu." (TQS. Al-Ma’idah:48).
Hal ini semakin mempertegas bahwa keberadaan ideologi Islam yang diterapkan akan membawa pada kehidupan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat.
Agar mampu menjadi pemecah problem secara tuntas, maka aturan Islam ini harus ditegakkan dalam sebuah institusi negara dimana pemimpinnya disebut sebagai Khalifah. Pemimpin inilah yang akan menjalankan seperangkat aturan bersama dengan seluruh jajaran struktur yang ada di bawahnya. Untuk menangani permasalahan dalam rangka mencegah sekaligus memutus mata rantai kejadian pembunuhan seperti ini, Khalifah akan menerapkan solusi yang diajarkan dalam Islam, di antaranya :
Pertama, membina masyarakat dengan aqidah dan tsaqofah Islam. Pembinaan akan dilakukan mulai dari level individu, keluarga dan masyarakat. Aqidah dan tsaqofah Islam akan menjadi penguat keimanan sehingga masyarakat akan memiliki kesadaran taat terhadap hukum Allah sehingga tidak kebablasan menabrak syariat Islam dalam beramal atau beraktivitas.
Kedua, menerapkan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami, yang akan berbakti dan hormat pada orang tuanya, dan memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi. Kisah Luqman di dalam Al-Qur’an saat menasihati anaknya merupakan contoh terbaik. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At-Tirmidzi).
Islam juga mempersiapkan dengan membekali warganya untuk menjadi orang tua yang siap dan memahami konsep pendidikan anak dalam Islam. Sehingga dalam Islam akan terlahir orang tua yang fakih dalam mendidik anak untuk menghasilkan generasi yang berkualitas.
Ketiga, menerapkan sistem sanksi yang tegas. Islam memiliki mekanisme dalam menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal. Islam akan menegakkan sistem sanksi yang menjerakan sehingga dapat mencegah semua bentuk kejahatan.
Inilah gambaran manakala Islam ditegakkan sebagai aturan yang paripurna dalam kehidupan. Kasus anak durhaka, orang tua yang bersikap kasar pada anaknya maupun kejadian-kejadian keji lainnya akan mampu diputus rantai keberlanjutannya hingga ke akarnya. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar