MinyakKita, Bukan Lagi untuk Kita?


Oleh: Dini Koswarini 

Kita ketahui bersama jika inflasi pasti mempengaruhi banyak sektor termasuk ekonomi. Saat ini, sektor ekonomi sedang digemparkan dengan kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng Minyakita yang disebabkan oleh biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. 

Harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. Mendag Zulkifli Hasan mengumumkan bahwa kenaikan harga minyak goreng rakyat tersebut sudah berlaku dan aturan resminya akan dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).

Kenaikan HET MinyakKita di negara produsen minyak sawit terbesar di dunia membuat banyak pihak heran. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat bingung atas alasan Kemendag, harga eceran minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. 

"Dengan produksi CPO yang melimpah, alasan kenaikan biaya produksi yang dikaitkan dengan harga internasional dan nilai tukar rupiah tampaknya kurang tepat, karena sebagian besar bahan baku utama berasal dari dalam negeri," ia menambahkan. 

Meskipun ada justifikasi ekonomi di balik kenaikan HET minyak goreng, Achmad menilai kebijakan ini tidak tepat waktu dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. (Liputan6, 20/7/2024)

Kenaikan HET MinyakKita juga menunjukan jika peluncuran Minyak goreng ini sudah meleset dari tujuan. Sebab awalnya, Minyakita sendiri jadi salah satu terobosan yang dilakukan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Dia membawa inisiatif untuk mengemas minyak goreng curah agar proses distribusi ke masyarakat lebih mudah, sehingga dapat diserap. (Liputan6, 31/1/2023)

Kondisi ini menjadi ironi di Negara pengekspor minyak sawit mentah terbesar di dunia. Seolah memperjelas bagaimana pemerintah kapitalistik ini membuat aturan sesuka hati dan selalu berhitung untuk rugi kepada rakyat. 

Fakta kenaikaan HET pun menunjukan absennya peran negara dalam melakukan tata kelola pangan, baik dalan aspek produksi maupun distribusi. Padahal besarnya peran swasta dalam pengelolaan sawit sangat berpengaruh pada rantai pasokan minyak goreng serta distribusinya.

Akan berbeda keadaannya jika pengelolaan sawit diserahkan kepada negara. Dengan kekuasaan dan kemampuannya, negara akan mendistribusikan pasokan minyak goreng kemasan dengan biaya yang minimalis dan negara tidak boleh membebankan biaya operasional distribusi kepada rakyat. 

Lalu bagaimana peran negara seharusnya?

Dalam Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan cara yang mudah dan murah. Dalam pengelolaan sawit, negara akan menetapkan kebijakan dari aspek produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Negara berperan aktif dalam pengelolaan sawit, negara akan memastikan harga TBS (Tandan Buah Sawit) stabil dan petani tidak akan dipermainkan oleh korporasi. Lebih lanjut negara akan menetapkan kebijakan sebagai berikut:

Pertama, negara tidak akan melakukan ekspor sawit sebelum kebutuhan minyak sawit dalam negeri tercukupi.

Kedua, negara bertanggung jawab memastikan distribusi minyak goreng hingga menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat.

Ketiga, memastikan setiap pasar terpenuhi stok bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Negara dapat menunjuk hakim pasar (kadi hisbah) untuk mengawasi jalannya perekonomian di pasar dan menegakkan hukum bagi pelanggar muamalah, seperti pedagang curang, mafia atau kartel pangan, dan lainnya.

Dengan demikian, penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena negara menjadi pihak pengendali distribusi kebutuhan rakyat termasuk minyak.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar