Oleh : Wahyuni Mulya (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Jika sisa pangan yang masih layak dikonsumsi dapat dimanfaatkan, Indonesia tidak hanya bisa menyelamatkan potensi ekonomi yang hilang, tapi juga dapat memenuhi kebutuhan energi dan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengungkapkan bahwa jumlah makanan yang terbuang di Indonesia sangat besar, bahkan terbesar se-ASEAN. Adapun provinsi yang penduduknya paling banyak membuang makanan adalah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Jenis makanan yang paling banyak dibuang adalah beras atau jagung. Penyusutan dan sisa beras atau jagung yang terbuang mencapai 3,5 juta ton. Jika dibiarkan, beras atau jagung yang terbuang pada 2045 bisa mencapai 5,6 juta ton.
Temuan ini menunjukkan betapa gaya hidup masyarakat urban sangat gampang dalam membuang makanan. Akibat arus konsumerisme dan meredupnya pemahaman soal keberkahan rezeki, masyarakat urban makin konsumtif. Fenomena ini hanya salah satu serpihan kisah tentang konsumerisme, masalah sampah, dan lingkungan yang menjadi gejala umum masyarakat urban secara global. Ini tentu tidak bisa kita lepaskan dari cara pandang kapitalisme dan merek-merek besar global yang selalu memandang populasi sebagai target pasar, tidak berbeda dengan populasi di Asia.
Di satu sisi, banyak penduduk miskin dan miskin ekstrem yang tidak bisa makan nasi atau jagung karena tidak mampu membelinya. Namun, di sisi lain banyak beras atau jagung yang terbuang sia-sia. Ini sungguh nyata mencerminkan buruknya distribusi pangan yang menjadi penyebab banyaknya sampah makanan. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengatur distribusi pangan agar tidak menumpuk di gudang. Namun berbagai upaya distribusi tersebut tidak dilakukan karena dianggap akan merugikan industri, yakni merusak pasar. Para kapitalis lebih suka pangan tersebut dimusnahkan daripada dikonsumsi oleh warga miskin.
Masalah Teratasi dengan Distribusi
Distribusi merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh masyarakat sekarang. Kemiskinan pada dasarnya terjadi karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan, sedangkan konsumerisme terjadi karena cara pandang kapitalistik yang mengutamakan produksi, tetapi minus distribusi. Dalam sistem Islam, distribusi dilakukan secara ekonomis dan non-ekonomis. Mekanisme ekonomi diarahkan kepada sektor produktif, sedangkan mekanisme non-ekonomi tidak melalui aktivitas ekonomi produktif, melainkan melalui aktivitas nonproduktif.
Kapitalisme memang hanya mementingkan produksi dan abai pada distribusi. Akibatnya, bahan dan produk pangan banyak diproduksi, tetapi distribusinya tidak merata sehingga masalah kemiskinan dan kemiskinan ekstrem tidak kunjung selesai.
Negara Butuh Mengambil Solusi Segera
Masyarakat perkotaan dalam Islam tidak akan hidup dalam kabut gelap konsumerisme karena dijauhkan dari virus hedonisme dan dimotivasi untuk berlomba dalam sedekah dan wakaf sebagai amal jariyah untuk akhirat mereka. Harta mereka diinvestasikan untuk menyelesaikan urusan-urusan agung umat, seperti dakwah dan jihad, bukan semata demi gengsi dan status sosial.
Seorang muslim hendaknya senantiasa meyakini bahwa makanan yang ia miliki akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak pada hari akhir. Dengan begitu, ia tidak akan berlaku seenaknya dengan membuang-buang makanan.
Semua syariat terkait makanan tersebut tertuang dalam penerapan syariat Islam secara kafah melalui institusi negara. Negara Islam akan menanamkan kepribadian Islam melalui kurikulum pendidikan sehingga zuhud menjadi gaya hidup masyarakat. Masyarakat juga akan terpola untuk makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan.
Bagi kalangan miskin dan lemah, akan ada jaminan konsumsi kebutuhan pokok pada mereka sehingga warga desa tidak perlu berbondong-bondong ke kota hanya untuk mengisi perut mereka. Ini karena tidak sulit bagi mereka memenuhi kebutuhan keluarga meskipun berada di desa.
Negara juga akan mengawasi industri agar tidak ada praktik membuang-buang makanan. Di dalam negara dengan sistem Islam, makanan diproduksi secukupnya, sesuai dengan kebutuhan pasar yang dihitung secara cermat. Jika ada industri atau pelaku usaha yang terbukti membuang-buang makanan, Khalifah akan memberikan sanksi tegas.
Selanjutnya, negara akan segera mendistribusikan bahan makanan pada warga yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang miskin dan tidak bisa makan. Pada saat yang sama, negara menyediakan dana yang besar dari baitulmal, untuk memastikan tiap-tiap rakyat bisa makan secara layak. Dengan begitu, harapannya tidak ada orang yang kelaparan, juga tidak ada pangan yang menumpuk dan terbuang sia-sia.
Demikianlah sekilas gambaran Islam dalam menghapus konsumerisme pada masyarakat. Tentu upaya ini harus dimulai secara simultan, baik dari kesadaran individu, kontrol masyarakat, dan peran negara yang tidak mengabaikan hukum-hukum Allah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar