Pajak dalam Kapitalisme dan Islam


Oleh : Noviakurniati

Pemerintah kini telah memastikan besaran tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik jadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 mendatang. Dengan adanya kenaikan ini, maka jenis barang dan jasa yang tidak dikecualikan dalam pengenaan PPN bisa jadi lebih mahal.

Kebijakan kenaikan PPN jadi 12% ini telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Di mana sebelumnya, dengan UU ini tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% sudah diubah menjadi 11% mulai 1 April 2022 lalu.

Pemerintah sendiri memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

Direktur Ekonomi Digital dan ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda justru menilai kenaikan PPN 12% bukan sesuatu yang tepat. "Jika ada kenaikan tarif PPN, hampir semua barang akan terjadi kenaikan harga. Akan semakin susah menurunkan kemiskinan, apalagi kemiskinan ekstrem," ujarnya. Saat ini PPN merupakan sumber utama penerimaan pajak negara. Menurut Nailul, porsinya paling tinggi dibandingkan dengan penerimaan pajak nasional. PPN sama dengan PPh Karyawan yang merupakan pajak yang sudah tersistem, di mana pemerintah tidak perlu usah keras untuk menarik pajak kepada masyarakat. Artinya, PPN merupakan instrumen paling mudah untuk menaikkan penerimaan pajak guna mendorong program pemerintah ataupun meningkatkan rasio pajak. 

“In this world, nothing is certain except death and taxes.” (Benjamin Franklin, 1789). Di dunia itu tidak ada yang pasti kecuali kematian dan pajak. Demikian kata Benjamin Franklin, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pajak dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam sistem kapitalisme, pajak memiliki peran esensial dalam mengatur dan mempengaruhi sistem ekonomi. Salah satunya sebagai sumber penerimaan negara.

Pajak atau dhariibah dalam islam merupakan salah satu sumber penerimaan di dalam APBN Khilafah. Namun, karakteristiknya berbeda dengan pajak di dalam sistem kapitalisme. Pajak didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT atas kaum Muslim untuk menunaikan belanja pada kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang diwajibkan atas mereka, ketika tidak ada harta di Baitul Mal untuk memenuhi belanja tersebut. Belanja tersebut adalah untuk: jihad fi sabilillah, industri militer dan industri yang mendukung jihad fi sabilillah; santunan fakir, miskin dan ibnu sabil; untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru dan orang-orang yang memberikan pelayanan kepada kaum Muslim; kebutuhan pelayanan umum, seperti infrastruktur jalan, sekolah dan rumah sakit, yang dapat menyebabkan bahaya ketika jumlah dan kualitasnya kurang; dan  penanganan bencana alam, seperti kelaparan, gempa dan topan.

Karena itu pajak di dalam Islam merupakan sumber penerimaan insidental. Pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara, seperti zakat, ganimah, fai, kharaj, jizyah dan pendapatan dari harta milik umum tidak mencukupi untuk membiayai belanja yang wajib ditunaikan oleh kaum Muslim. 

Kemudian, objek pajak di dalam Islam hanya orang-orang Muslim yang kaya. Pasalnya, kebutuhan yang menjadi dasar penarikan pajak di atas merupakan kewajiban kaum Muslim. Batasan orang kaya di sini adalah kelebihan dari pengeluaran untuk kebutuhan primer dan sekunder. Dengan demikian orang-orang kafir dan orang-orang miskin tidak termasuk wajib pajak sehingga tidak akan dikenakan beban selain yang telah ditentukan  oleh syariat kepada mereka. Kemudian, jumlah pajak yang ditarik di dalam Islam hanya dibatasi berdasarkan jumlah yang dibutuhkan untuk membiayai belanja yang wajib ditanggung kaum Muslim, namun tidak dapat di-cover oleh Baitul Mal. Sebabnya, fungsi pajak bukan seperti di dalam sistem kapitalisme untuk meningkatkan penerimaan Baitul Mal  atau untuk membatasi kegiatan ekonomi tertentu, tapi semata-mata untuk menutupi kekurangan pembiayaan pos-pos yang wajib tersebut.  Karena itu penarikan tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan sebab bentuk kezaliman atas kaum Muslim yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat kelak.  Sebaliknya, jumlah pajak di dalam sistem kapitalisme hanya dibatasi oleh kemampuan pemerintah di dalam menarik pajak atas objek pajak sesuai dengan tarif yang berlaku atas mereka, sehingga kadang-kadang penerimaan pajak melampaui target pemerintah.

Wallahualam bishshawab...





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar