Oleh : Arini Fatma Rahmayanti
Polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus bergulir setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. PP 21/2024 itu menyempurnakan ketentuan dalam PP 25/2020, seperti untuk perhitungan besaran simpanan Tapera pekerja mandiri atau freelancer. Pada Pasal 5 PP Tapera itu telah diatur bahwa setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau yang sudah menikah dan memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum maka wajib menjadi peserta Tapera. Bahkan pada pasal 7, dirinci jenis pekerja yang wajib menjadi peserta Tapera tidak hanya PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN, Melainkan pegawai swasta dan pekera lain yang menerima gaji atau upah.
Nantinya para karwayan bakal mendapatkan potongan gaji sebesar 3% sebagai iuran Tapera, dengan rinciannya 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi kerja. Kewajiban iuran Tapera diyakini bakal menambah beban kelas menengah di Indonesia, lantaran daftar potongan gaji yang diterima karyawan semakin panjang.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyoroti, hitungan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) sebesar 3% yang menurutnya tidak masuk akal. Ia juga mempertanyakan kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung. “Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.
Iqbal mengungkapkan, sekarang ini, upah buruh Indonesia rata-rata adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan, maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," ujar Iqbal. “Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” lanjutnya.
Iqbal mengatakan, alasan lain mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Menurutnya, bila upah dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha. Iqbal juga menyebut program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Ia pun mewanti agar jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di Asabri dan Taspen.
Kebijakan pemerintah ini sekilas terlihat baik, sebab mampu mengatasi masalah hunian masyarakat negara ini, tetapi dengan dibatasinya peserta tapera menunjukkan bahwa iuran wajib ini hanya bisa dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat. Selain itu waktu pencairan dana sangat panjang, sehingga pemilik tabungan sulit memanfaatkan rumah yang merupakan kebutuhan pokok rakyat dengan cepat. Kehidupan dalam sistem kapitalisme memang cukup rumit dan sulit, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja rakyat harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan yang cukup, apalagi kebutuhan pokok, pelayanan pendidikan, dan kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalisme biayanya sangat mahal.
Kondisi tersebut membuktikan bahwa negara tidak becus dengan peran utamanya sebagai pengurus yang mengurusi seluruh kebutuhan rakyatnya, kebijakan tepera ini juga membuktikan bahwa negara hanya sebagai penyedia tanpa mempedulikan apakah rakyatnya mampu mengakses rumah yang layak ataukah tidak, sementara saat yang bersamaan proyek pembangunan KPR negara selalu mengandalkan pihak swasta, yang nantinya akan memberikan keuntungan cukup besar, oleh karena itu kebijaka tapera ini diduga kuat merupakan regulasi yang akan menguntungkan para korporasi sebab dananya akan mengalir kepada para korporasi, inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan negara sebagai pelayan para korporasi bukan pelayan rakyatnya.
Kondisi ini sangat berbeda denga sistem islam dalam negara islam, yang akan menjamin terwujudnya kesejahtraan dan keadilan bagi seluruh rakyat dalam negara islam. Islam memposisikan pemimpin sebagai pengurus dan pelayan rakyat, tuganya mengurus seluruh urusan rakyat bukan malah mengeruk keuntungan dari rakyat. Islam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap rakyatnya dengan mekanisme yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syariat. Rumah sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat maka sudah semestinya penyelenggaraan perumahan rakyat menjadi tanggung jawab negara, tanpa adanya iuran wajib dari rakyat untuk memampukan rakyat memiliki rumah. Islam memastikan terbukanya lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, dengan pendapatan yang berbeda-beda sesuai kapasitasnya, sehingga jika ada rakyat miskin yang sulit membeli rumah, maka negara akan bertanggung jawab sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok ini. Dalam hal ini khalifah tidak berperan sebagai regulator atau mengalihkan tanggung jawabnya kepada swasta. Untuk pembiayaan rumah bagi rakyat miskin diambil dari baitul maal yang pemasukan dan pengeluarannya telah diatur oleh syariat, sehingga pemerintah tidak menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja. Islam tidak menyerahkan dana pembangunan rumah bagi rakyat miskin kepada operator properti sehingga dengan leluasa mengkomersilkan hunian yang dibangun untuk mencari keuntungan, demikianlah jaminan terpenuhinya perumahan bagi rakyat dalam negara islam.
Wallahualam bi sawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar