Ulama Diberi Tambang, Kehancuran Terpampang Nyata


Oleh : Venny Swandayani (Aktivis Dakwah)

Baru-baru ini Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berencana untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Bahlil menegaskan, penerbitan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 terkait pemberian izin pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak bertabrakan dengan UU Minerba. 

Menurut Bahlil, pemberian izin usaha bagi para ormas tersebut sudah sesuai arahan presiden. Alasannya, organisasi Islam berikut tokoh-tokohnya dianggap telah turut berkontribusi atas kemerdekaan RI (Kompas.com, 7/06/2024)

Rencana pemberian izin pada ormas mengundang reaksi dari Kepala Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil. Ia menyebut kalau semua ormas bisa mengurus izin tambang tanpa kualifikasi yang jelas maka negeri ini dalam kebangkrutan ekologis dari ujung Sumatera hingga Papua. (tempo.com, (14/05/2024)

Pemberian konsensi pertambangan dengan asal dan tidak jelas akan memunculkan kerusakan lingkungan, apalagi dikhawatirkan akan mengambil hati ormas Islam dan tokoh-tokohnya. Tentu saja para ulama akan berada di dalam barisan kekuasaan dan akan lebih mudah mendapatkan legitimasi atas berbagai kebijakannya yang bisa merugikan masyarakat dan bertentangan dengan syariah Islam. Bisa saja fatwa ulama dipakai untuk menutupi keburukan diberbagai kekuasaan.

Rencana pemerintah membagikan WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) salah satu jurus politik balas budi karena para ormas mendukung rezim, pasalnya banyak kebijakan rezim yang merugikan masyarakat dan menguntungkan para oligarki. Contohnya pungutan Tapera, krisis rupiah terhadap dolar, judi dan pinjaman online yang semakin merajalela, dan sebagainya. Hal itu disebabkan oleh buruknya pengelolaan tambang oleh negara yang peruntukkannya justru menyalahi aturan syariah Islam.

Praktik penyalahgunaan kekuasaan ramai terjadi dan menjadi bencana bagi masyarakat jika para ulama menjadi stempel kebijakan zalim penguasa atau malah jadi benturan penguasa dalam menghadapi masyarakat. Baginda Nabi saw. mengingatkan bahwa golongan yang menjadi penyebab terbesar kerusakan umat adalah para ulama yang menjadi fasik. Sabda beliau: "Kerusakan umatku adalah oleh ulama yang jahat dan orang bodoh yang beribadah (tanpa ilmu). Seburuk-buruknya kejahatan adalah kejahatan ulama." (HR Ahmad)

Sebab itulah Rasulullah saw. mengingatkan umatnya untuk berhati-hati dalam berinteraksi dengan para penguasa, karena dengan mendekati penguasa akan memunculkan berita negatif dan mendatangkan fitnah. Kedekatan dengan penguasa dapat membuat para ulama jauh dari Allah Swt. Rasul saw. bersabda: "Waspadalah kalian terhadap pintu-pintu penguasa karena sesungguhnya hal itu akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan." (HR ath-Thabarani dan ad-Dailami)

Para ulama salafus-salih memberikan teladan dengan tidak gegabah mendatangi istana-istana para penguasa. Imam Malik misalnya, pernah menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid agar datang ke istana beliau untuk mengajarkan agama kepada keluarganya. Imam Malik mengeluarkan pernyataan yang masyhur yang ditujukan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid: Al-‘Ilmu yu'taa waa laa ya'tii' (ilmu agama itu didatangi, bukan yang mendatangi).

Bahkan para ulama terdahulu tidak suka mendatangi para penguasa apalagi untuk mendapatkan jabatan dan kekayaan. Mereka menggolongkan perbuatan itu sebagai perilaku yang menjijikkan. Meski begitu, bukan berarti tidak ada ulama yang mendatangi para penguasa. Namun, kedatangan mereka bukan untuk mencari harta dan jabatan, tetapi untuk melakukan amar makruf nahi mungkar serta mengoreksi sikap keliru dan zalim para penguasa.
 
Mengoreksi penguasa dan menyerukan Islam adalah sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk negeri ini. Terutama terkait persoalan kebijakan pertambangan, para ulama harus hadir menyampaikan dan mengoreksi kebijakan rezim atas peraturan pertambangan yang hanya menguntungkan para oligarki pemilik modal. Karena, dengan kebijakan tersebut masyarakat akan merasakan bencana dan kerusakan dimana-mana. Para ulama berkewajiban menyadarkan umat dan menjelaskan kepada mereka bahwa pangkal kerusakan pada hari ini adalah ketiadaan penerapan syariah Islam dalam berbagai bidang.

Hanya Islam yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan dengan tuntunan syariah. Sehingga para ulama tidak terjebak fitnah dengan kebijakan para penguasa yang membenarkan kedustaan dan kezaliman mereka. Dengan hadirnya ulama sebagai pendidik umat bukan kepanjangan tangan penguasa, dan umat harus membela serta menghentikan perampasan SDA oleh para oligarki yaitu dengan memperjuangkan penerapan Islam secara menyeluruh.

Wallahu a'lam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar