Banjir Produk China Dalam Negeri, Apa Kabar Industri Tekstil Lokal?


Oleh: Nindy

Bila kita memperhatikan pedagang-pedagang pakaian hari ini, tentu didapati banyak sekali produk pakaian impor yang berasal dari China dijual. Harganya memang relatif murah. Di tengah kondisi perekonomian yang tidak baik-baik saja, tentu masyarakat lebih memilih produk yang murah. Namun, fenomena tersebut justru menimbulkan masalah terhadap industri tekstil lokal. Banjir produk China di dalam negeri telah mengancam keberadaan industri tekstil lokal.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri tekstil terkontraksi minus 2,63% secara kuartalan pada kuartal II 2024. Sepanjang Januari-Juni 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) juga mencatat industri tersebut telah melakukan PHK terhadap 13.800 buruh. Fenomena ini tak lepas dari sepinya permintaan akibat maraknya produk impor yang harganya lebih murah. cnnindonesia.com (05/08/24)

Padahal bila ditelisik lebih dalam sebagaimana dilansir dari cnbcindonesia.com (10/08/24) saat berkunjung ke Pasar Tanah Abang, pakaian impor asal China tersebut banyak yang tidak dilabeli SNI atau penanda Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti baju anak dan bayi. Padahal, kedua jenis baju tersebut termasuk produk yang wajib memenuhi SNI. Selain tak memiliki label SNI, keterangan untuk metode pencucian di baju-baju tersebut pun juga berbahasa China. Spesifikasi baju impor tersebut juga kurang berkualitas. Jarak antar jahitannya renggang, sehingga mudah sobek. Bahan pakaian yang digunakan cenderung menggunakan bahan katun berkualitas standar. Jika dipegang, bahan itu terasa sedikit kasar dan tidak menyerap keringat. Namun memang tidak dapat dipungkiri jika dilihat dari segi motif, baju anak impor asal China lebih unggul ketimbang produk lokal. Baju impor lebih variatif dan menarik sehingga membuat konsumen tertarik untuk membeli.

Banjirnya produk China di Indonesia ini disinyalir terdapat barang ilegal yang juga masuk ke dalam negeri. Dilansir dari cnnindonesia.com (19/07/24) Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan pada akhirnya membentuk satgas pemberantas impor ilegal. Pembentukan satgas ini juga tak lepas dari desakan berbagai pihak yang mengeluh industri tekstil dalam negeri lesu, kalah saing dengan produk impor China. Zulhas mengatakan berdasarkan temuan awal, data impor dari BPS dengan data dari negara asal berbeda. Data ekspor ke Indonesia dari negara asal jauh lebih besar dibanding data impor di BPS. Artinya, terdapat barang ilegal yang masuk ke Indonesia. Berdasarkan data yang dipaparkan bahan paparan Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) pun menyampaikan bahwa data impor dan ekspor dari International Trade Center (ITC) dan BPS memang terlihat jomplang. Hal ini bahkan terjadi sejak 2004. Pada 2023, data impor pakaian jadi dari China berdasarkan data BPS mencapai US$118,8 juta atau sekitar Rp1,92 triliun. Sementara data ekspor dari China ke RI berdasarkan data ITC mencapai US$269,5 juta atau Rp4,36 triliun. Artinya, ada selisih sekitar US$150,7 juta atau Rp2,44 triliun barang China yang masuk ke Indonesia. 

Namun kehadiran satgas impor yang telah dibentuk tersebut menuai kritik. Berdasarkan analisis yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) terhadap respons masyarakat di media sosial X, ditemukan sebanyak 64,09% warganet tidak percaya dengan satgas tersebut efektif untuk mengatasi impor ilegal. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana juga mengkritik sikap pemerintah yang sedikit-sedikit melahirkan satgas untuk tindakan penanganan. Ia menilai hal ini hanya menjadi kebiasaan buruk bagi pemerintah. Ia berpendapat pembentukan satgas hanya dilakukan demi menyenangkan publik. Ia melihat belum pernah satgas yang dibentuk pemerintah benar-benar menghasilkan penuntutan penindakan hukum. cnnindonesia.com (09/08/24)

Suasana bisnis yang timpang ini memang tak dapat dipungkiri karena kondisi industri dalam negeri yang tertekan oleh berbagai hal seperti masalah biaya produksi, bahan baku, energi, upah, dsb. Pun termasuk berbagai pungutan seperti pajak yang semakin menjadikan mereka kalah saing. Setelah tahu bahwa China telah membanjiri produknya, negara seharusnya segera memberhentikan impor tersebut dan semakin memperketat pemeriksaan barang yang masuk. Namun apadaya, banjir produk China tak terelakkan. Indonesia yang merupakan salah satu negara yang bersepakat dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) meniscayakan lahirnya kebijakan perdagangan luar negeri yang semakin memudahkan arus perdagangan barang. Dampaknya, justru produk China semakin leluasa dan merajai pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah. 

Gayung bersambut, tingkat kemiskinan di Indonesia dan literasi finansial yang rendah menjadikan masyarakatnya lebih memilih untuk membeli produk China yang murah dibandingkan produk lokal. Inilah yang kemudian mengakibatkan tumbangnya industri dalam negeri yang berujung pada PHK karyawan, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Jelas, rakyat lagi yang terus menjadi korban kebijakan kapitalistik ini. Keuntungan yang sejatinya hanya dinikmati oleh para kapital lantas menelantarkan rakyat sendiri.


Hal ini tentu berbeda dalam sudut pandang Islam. Islam mewajibkan negara menyiapkan sistem ekonomi yang kuat dan sehat sehingga terjadi kompetisi yang sehat. Dalam menjalankan hubungan luar negerinya termasuk soal perdagangan, wajib dijalankan sesuai syariat dan demi terwujudnya kemaslahatan rakyat.  Negara memiliki pengaturan yang cermat dalam menjalin hubungan luar negeri yakni dengan melihat status negara yang bersangkutan. Apabila status negara tersebut kafir harbi fi’lan seperti AS dan Israel yang memerangi Palestina, China yang melakukan genosida terhadap muslim Uighur, maka negara tidak akan melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara tersebut. Apabila status negara adalah kafir harbi hukman (tidak memerangi umat Islam) dan mu’ahidun (terikat perjanjian damai), negara boleh melakukan kerjasama perdagangan luar negeri. Namun, dengan catatan tidak akan mengimpor produk yang haram dan aneka produk yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. 

Negara akan mendorong terwujudnya swasembada sehingga tidak tergantung pada impor yang dapat membahayakan kedaulatan negara. Industri dalam negeri akan dimudahkan dalam pemberian bantuan modal dan jaminan keamanan. Dengannya, industri dapat bergerak dengan optimal dalam menghasilkan berbagai kebutuhan rakyat. Pengawasan terhadap barang impor pun juga dilakukan ekstra ketat dan diberikan sanksi tegas bagi pelaku impor yang membahayakan. Wallahualam bissawab. 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar