Banjir Produk Cina, Industri Lokal Tidak Berdaya


Oleh : Ai Sopiah 

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah enggan mengambil risiko besar untuk menyelamatkan industri tekstil. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mulanya menyoroti kinerja industri tekstil dan industri pakaian jadi (wearing apparels) di dalam negeri yang terpuruk. Ia melihat pemerintah lebih memprioritaskan hilirisasi di bidang pertambangan dibanding mengurus industri tekstil dan industri pakaian jadi di Indonesia.

"Kita melihat arah kebijakan industri yang saat ini dilakukan pemerintah. Prioritas utamanya program hilirisasi, tapi sangat disayangkan sekali ketika kita berbicara lima subsektor industri. Terkait hilirisasi ini masih berat di hilirisasi pertambangan," jelas Andry dalam diskusi publik INDEF secara daring bertajuk 'Industri Tekstil Menjerit, PHK Melejit', Kamis (8/8).

Adapun lima subsektor industri yang berkontribusi di antaranya makanan, minuman, kimia, farmasi dan obat tradisional, logam, komputer, barang elektronik, optik, peralatan listrik, alat angkutan, termasuk industri tekstil dan pakaian jadi. (CNN Indonesia, 9/8/2024).

Pakaian impor asal Cina mengucuri Pusat Grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat. Hal ini terlihat jelas dari label pakaian yang bertulisan Cina serta dilengkapi tulisan “Made in China”. Produk pakaian impor itu di antaranya berupa pakaian bayi dan anak yang tidak berlogo Standar Nasional Indonesia (SNI), padahal pakaian anak dan bayi termasuk produk yang wajib SNI. Dan harganya pun terbilang sangat murah dengan nominal harga dari Rp. 50.000 ke bawah.

Hal ini tidak bisa kita biarkan. Kita tentu masih ingat dengan fenomena TikTok Shop beberapa waktu lalu yang menjadi toko daring produk impor dari Cina dengan harga super murah. Pembatasan TikTok Shop yang dilakukan pemerintah pun tidak efektif karena pada akhirnya platform toko daring tersebut melakukan merger dengan salah satu lokapasar (marketplace) yang sudah cukup eksis, yakni Tokopedia.

Saat itu, tidak sedikit pedagang di Pasar Tanah Abang yang mengeluhkan perihal TikTok Shop. Mereka sebenarnya sudah berusaha menjual produk secara daring, di samping menjual secara langsung di kiosnya. Namun, tetap saja mereka kalah bersaing dengan penjualan daring di platform media sosial yang berasal dari Negeri Tirai Bambu itu karena faktor harga yang sangat murah.

Berdasarkan data, sebanyak 90% barang murah di pasar digital berasal dari produk impor. Murahnya harga itu sendiri adalah bagian dari strategi predatory pricing sebagai konsekuensi laju ekonomi digital yang berdampak melemahkan iklim ekonomi masyarakat Indonesia. Praktik predatory pricing adalah mekanisme jual rugi yang dilakukan penjual demi membunuh pesaing. Ini terkait erat dengan besarnya potensi ekonomi digital di Indonesia yang mencapai US$146 miliar pada 2025. Potensi tersebut bisa meningkat dua kali lipat pada 2030 menjadi US$360 miliar.

Realitas yang tidak kalah miris adalah tumbangnya puluhan pabrik tekstil di dalam negeri karena kalah bersaing dengan produk impor dari Cina. Dampaknya adalah PHK massal di berbagai daerah, padahal industri tersebut adalah sektor padat karya. Otomatis, hal ini makin memberatkan ekonomi rakyat.

Sebagaimana kita ketahui, industri tekstil nasional terus melemah. Puluhan perusahaan tekstil gulung tikar dan 150 ribu pekerja terkena PHK. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Juli lalu mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan industri tekstil nasional sedang “tidak baik-baik saja”. Kondisi tersebut dimulai ketika terjadi pandemi Covid-19 yang mendorong peningkatan inflasi di seluruh dunia sehingga membuat daya beli atau permintaan global menurun. Bersamaan dengan itu, orang-orang lebih memprioritaskan makanan sebagai kebutuhan utama dibandingkan produk pakaian.

Kondisi ini membutuhkan kebijakan tegas dari penguasa karena banjir produk impor di pasar dalam negeri menunjukkan terjadinya liberalisasi pasar yang sudah menyentuh tingkat akar rumput. Lebih jauh lagi, banjir impor tidak akan terjadi tanpa keberpihakan pemerintah kepada para pengusaha importir. Hal ini sangat mungkin terjadi karena melalui impor, pemerintah akan mendapatkan renten impor.

Sayang, penguasa tidak berupaya lebih baik untuk melindungi perputaran bisnis rakyat. Tidak heran jika nasib pedagang di sektor fashion termasuk tekstil di dalam negeri masih saja merana, malah memburuk. Hal seperti ini saja negeri ini masih impor dari luar tanpa melihat dampaknya akan menumbangkan perdagangan dalam bentuk fashion di negeri ini.

Perdagangan luar negeri versi kapitalisme dinilai memiliki manfaat besar dalam perolehan devisa yang banyak. Di dalamnya berlaku politik perdagangan luar negeri yang tentu saja dibangun berdasarkan landasan tertentu yang sifatnya mengikat, yakni kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi. Selain itu, konsep perdagangan luar negeri versi kapitalisme meniscayakan mekanisme perdagangan bebas. Karakteristik ini sejatinya menginginkan hilangnya kontrol negara. Tidak heran, pemerintah seperti tenang-tenang saja meski produk impor sudah membanjir.

Semua ini menunjukkan kegagalan kapitalisme dalam menjaga daya beli dan tingkat ekonomi warga, serta iklim bisnis dan industri padat karya. Ketika pemerintah “membiarkan” produk impor membanjir, ini menegaskan arah keberpihakannya kepada pengusaha importir, bukan kepada pengusaha industri padat karya di dalam negeri, apalagi kepada masyarakat luas.

Peran negara semestinya adalah melindungi rakyat dan menjamin kebutuhan mereka, bukan menjadi kepanjangan tangan kepentingan korporasi. Sayang, negara justru berperan sebaliknya, yaitu memuluskan kepentingan korporasi dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Pada akhirnya, peran negara makin jauh dari fungsi hakikinya dalam melayani kepentingan rakyat. Nabi Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Seperti hadist diatas, Jika kita mencermati kondisi ini secara menyeluruh, sungguh penerapan sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah adalah solusi mendasar bagi perlindungan ekonomi warga. Khilafah menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan warganya secara individu per individu, tanpa membedakan kaya atau miskin.

Di sisi lain, warga juga membutuhkan jaminan perlindungan ekonomi dari khalifah agar tidak terjebak arus liberalisasi pasar sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalisme yang meniscayakan mekanisme pasar bebas. Untuk itu, Khilafah berperan menjamin berlangsungnya berbagai aktivitas transaksi ekonomi warga serta menyuburkan iklim muamalah/bisnis yang kondusif bagi mereka, tentu dengan cara-cara yang dibenarkan syarak. Pada saat yang sama, Khilafah wajib menutup berbagai celah transaksi ekonomi yang syarak haramkan.

Industri tekstil hanya salah satu contoh industri yang semestinya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, dalam hal ini Khilafah. Dalam Khilafah, fungsi negara sebagai ra’in (pengurus urusan rakyat) akan berjalan secara optimal dengan penerapan Islam kaffah. Negara menerapkan sistem ekonomi Islam, termasuk dalam pengaturan industri dan perdagangan.

Sebagaimana kutipan dari Muslimah News (2023), berikut ini adalah mekanisme Islam dalam mengatur perdagangan dalam dan luar negeri.

Pertama, negara tidak akan menjadikan UMKM sebagai sumber perekonomian. Negara juga tidak akan melarang secara mutlak aktivitas UMKM. Negara akan menjadikan industri strategis sebagai fondasi seluruh kebijakan negara di bidang industri, seperti industri alat berat, bahan baku, dan bahan bakar. Keberadaan industri ini akan lebih banyak menyerap tenaga kerja ketimbang UMKM.

Negara juga akan mengelola dan mengatur kekayaan alam milik umum, seperti tambang, minyak bumi, gas alam, dan sebagainya dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Dengan pengelolaan SDA ini saja, negara memiliki sumber pemasukan yang besar. Tidak seperti sekarang yang hanya dimiliki oleh individu saja.

Kedua, dalam buku Politik Ekonomi Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki dijelaskan bahwa aktivitas perdagangan adalah jual beli. Hukum-hukum terkait jual beli adalah hukum-hukum tentang pemilik harta, bukan hukum tentang harta. Status hukum komoditas (perdagangan) bergantung pada pedagangnya, baik ia warga negara dar Islam (Khilafah) ataukah dar kufur.

Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Khilafah adalah warga negara, meski ia bukan muslim. Sedangkan setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan Khilafah adalah orang asing, baik ia muslim atau nonmuslim. Ini karena Khilafah akan memberikan pelayanan dan pengurusan rakyat dengan syarat individu tersebut berstatus sebagai warga negara.

Ketiga, setiap pedagang yang merupakan warga negara boleh melakukan perdagangan di dalam negeri. Dalam berdagang, mereka harus tetap terikat syariat Islam dan memperhatikan syara, seperti larangan menjual barang haram, melakukan penimbunan, kecurangan, pematokan harga, dan sebagainya.

Keempat, pedagang yang merupakan warga negara boleh melakukan perdagangan luar negeri atau melakukan ekspor impor. Namun, jika ada komoditas ekspor impor yang berdampak buruk atau membawa mudarat bagi rakyat, komoditas ini saja yang dilarang. Khilafah akan menjamin iklim usaha yang kondusif dan aman untuk rakyat agar industri dalam negeri memiliki daya saing yang tinggi.

Kelima, Khilafah akan memberlakukan cukai pada negara kafir yang juga menarik cukai atas perdagangan Khilafah. Penarikan cukai tidak berlaku bagi pedagang warga negara Khilafah pada komoditas ekspor impor yang mereka lakukan.

Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah menginstruksikan kepada para pegawainya untuk mengambil cukai sebesar 5% kepada orang-orang kafir harbi yang membawa minyak dan biji-bijian ke Hijaz. Dalam keadaan tertentu beliau menginstruksikan kepada para pegawainya untuk membebaskan cukai sama sekali kepada mereka. (Al-Waie, 3-6-2019).

Demikianlah, Khilafah tidak akan membiarkan rakyat memenuhi kebutuhannya dengan berjuang sendiri. Namun, negara memberikan perlindungan, pelayanan, dan berbagai kemudahan agar mereka dapat memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan hidup. Demikian halnya dengan industri tekstil yang semestinya bisa subur dan berkelanjutan, bukan bertumbangan secara massal. Jika tampak gejala pelemahan industri secara umum di dalam negeri, Khilafah akan segera mengambil tindakan untuk menyuntikkan modal, juga memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana serta kebijakan dan birokrasi yang mudah. Mari kita bersama perjuangan kehidupan yang demikian dengan mengkaji Islam kaffah dan dakwah.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar