HANYA NEGARA YANG BERHAK DAN WAJIB MENGELOLA TAMBANG


Oleh : Sarah Puteri (Mahasiswi)

Sebelumnya dilaporkan bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) (Kompas.tv, 19/8/24).

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Beberapa ormas keagamaan telah ditawarkan IUPK oleh pemerintah, namun hingga kini hanya NU dan Muhammadiyah yang menerima tawaran tersebut dan menyatakan kesiapannya untuk mengelola tambang.

Lalu bagaimana tanggapan Islam terkait pengelolaan tambang ini?

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Syaikh Muhammad Husain Abdillah menjelaskan bahwa kepemilikan umum terbagi menjadi tiga kategori: pertama, hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat seperti air, padang rumput, dan api; kedua, barang-barang yang tidak dapat dimiliki oleh individu seperti jalan, jembatan, sungai, dan danau; dan ketiga, barang tambang dengan deposit besar seperti emas dan tembaga.

Dalam pandangan Islam, barang tambang dengan jumlah besar adalah milik umum atau milik rakyat. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan bahwa
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ: فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Para ulama sepakat bahwa sumber daya seperti air sungai, laut, dan padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dikuasai oleh individu. 

Meskipun Rasulullah saw. memperbolehkan kepemilikan sumur secara individu untuk menyirami kebun, hak ini tidak berlaku untuk sumber daya yang dibutuhkan oleh banyak orang. Hal ini menegaskan bahwa kepemilikan umum didasarkan pada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Semua barang yang memenuhi kriteria sebagai fasilitas umum, seperti air, padang rumput, energi, dan tambang dengan deposit besar, termasuk dalam kategori milik umum dan harus dikelola demi kepentingan masyarakat.

Selain itu, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh bin Hammal setelah mengetahui bahwa tambang tersebut memiliki deposit yang besar. Hadis ini menegaskan bahwa tambang dengan cadangan melimpah tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.

Dengan demikian, barang tambang dengan deposit besar seperti emas, perak, dan lainnya adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu, swasta, atau asing, termasuk oleh organisasi masyarakat. Sebaliknya, semua kepemilikan umum ini harus dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa barang tambang dengan cadangan melimpah adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Hal ini didasarkan pada tindakan Rasulullah saw., sebagai kepala Negara Islam di Madinah, yang menarik kembali tambang garam yang sebelumnya diberikan kepada Abyadh bin Hammal ra. setelah mengetahui bahwa tambang tersebut memiliki deposit yang besar. Dengan demikian, Rasulullah saw. menegaskan bahwa tambang dengan cadangan melimpah tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.

Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk tambang garam seperti yang disebutkan dalam hadis, tetapi juga untuk semua barang tambang. Alasannya adalah adanya ‘illat yang dijelaskan dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Oleh karena itu, semua barang tambang dengan deposit melimpah, termasuk yang dikelola oleh swasta atau asing, tidak boleh dimiliki oleh individu.

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa semua tambang dengan deposit besar haram dikuasai oleh individu, swasta, asing, maupun ormas. Semua tambang ini wajib dikelola oleh negara, dan hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Jika negara melibatkan pihak swasta, asing, atau ormas dalam pengelolaan tambang, mereka hanya boleh bertindak sebagai mitra pelaksana (operator) yang dikontrak, bukan sebagai pemilik atau penguasa tambang.

Oleh karena itu, ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI, dan lainnya seharusnya mendorong negara untuk mengambil alih kembali tambang-tambang yang telah diberikan kepada oligarki swasta dan asing, yang selama ini hasilnya hanya dinikmati oleh mereka. Ormas-ormas Islam ini juga harus mendesak negara untuk mengelola tambang dengan deposit besar demi kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan organisasi atau jamaah tertentu.

Sebagai kesimpulan, ormas-ormas Islam seharusnya tidak terlibat dalam penguasaan atau pengelolaan tambang. Terlibat dalam hal ini dapat menjadi jebakan politik bagi mereka. Sebaliknya, mereka harus tetap fokus pada amar makruf nahi mungkar, terutama dalam mengkritik kebijakan negara yang tidak sesuai dengan syariah Islam, termasuk dalam pengelolaan tambang yang selama ini sangat kapitalistik dan liberal. Kebijakan yang melenceng dari syariah hanya memperkaya oligarki, aseng, dan asing, sementara rakyat tetap miskin meskipun negara kaya akan sumber daya alam. Padahal, rakyatlah yang seharusnya menjadi pemilik sah dari semua tambang dan sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Wallahualam bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar