HET Minyak dan HAP Gula Naik, Untuk Kepentingan Siapa?


Oleh : Ummu Azam

Harga gula dan minyak dipastikan akan tetap tinggi hingga beberapa waktu ke depan. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 425/TS.02.02/B/06/2024, pemerintah memperpanjang lagi relaksasi harga acuan pemerintah (HAP) gula konsumsi yang naik dari Rp15.500 per kg menjadi Rp17.500 per kg.

Kepala Bapanas menjelaskan bahwa keputusan menaikkan HAP gula konsumsi bertujuan untuk menjaga ketersediaan stok dan pasokan sebelum tibanya musim giling tebu dalam negeri. Selain itu, kenaikan HAP juga didasari perkembangan nilai tukar rupiah yang makin melemah.

Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan HAP gula pada 5 April 2024 dari Rp15.500 menjadi Rp17.500 berlaku hingga 31 Mei 2024. Relaksasi ini diperpanjang hingga 30 Juni 2024 dan diperpanjang lagi Juli ini.

Sementara itu, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng juga naik. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sudah menetapkan kenaikan HET minyak goreng MinyaKita dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter.

Sebelumnya, harga minyak dan gula memang sudah naik di pasaran. Sejak HET MinyaKita masih Rp14.000, Namun harga di pasaran sudah Rp15.000, bahkan lebih.

Kenaikan harga gula dan minyak ini tentu akan menyulitkan masyarakat karena dua komoditas tersebut merupakan bahan pokok. Tidak hanya untuk konsumsi rumah tangga, minyak dan gula juga sangat dibutuhkan oleh usaha mikro dan kecil di bidang makanan.

Namun, alih-alih melakukan langkah-langkah untuk menjadikan harga dua bahan pokok itu turun, pemerintah justru menaikkan HET dan HAP. Hal ini pun seolah-olah menormalisasi kenaikan harga tersebut sehingga tidak ada kepentingan untuk mengupayakan penurunan harga.

Tidak hanya itu, kebijakan pemerintah menaikkan HET minyak dan HAP gula juga dipastikan menambah beban rakyat karena pengeluaran rakyat akan makin besar. Begitu pula dengan usaha mikro dan kecil di tengah masyarakat yang akan mengalami kenaikan biaya produksi.

Pasalnya, pemasukan masyarakat sedang dalam kondisi ekonomi yang sulit. Hal ini tampak dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), daya beli masyarakat yang menurun sehingga penjualan lesu, serta sulitnya mencari pekerjaan. Akibatnya, masyarakat makin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Meski ada harga acuan, nyatanya harga di pasaran bisa naik sesukanya. Di sisi lain, penetapan harga acuan itu toh tidak berpengaruh signifikan karena pemerintah juga melakukan relaksasi. Pada akhirnya, harga acuan jadi tidak ada artinya.

Lantas, penetapan HET dan HAP ini demi kepentingan siapa? Sebab, rakyat terbukti tidak mendapatkan kemaslahatan dari harga acuan karena harga di pasaran tetap tinggi. Dengan demikian, pada hakikatnya pemerintah tidak hadir ketika harga bahan pokok melambung.

Memang seperti inilah kondisi ketika negara menerapkan sistem kapitalisme. Negara dalam kapitalisme hanya berperan sebagai regulator, yaitu membuat regulasi. Namun, regulasi itu tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat bahkan menyengsarakan rakyat.

Sebaliknya, pihak yang lebih diuntungkan adalah para kapitalis oligarki yang menguasai distribusi bahan pokok di tingkat nasional. Mereka mendapatkan keuntungan yang besar dengan kenaikan harga bahan pokok. Tidak hanya mendapatkan keuntungan, para kapitalis oligarki ini bahkan bisa mengatur harga di pasar karena mereka melakukan praktik oligopoli. Sedangkan rakyat hanya bisa pasrah dengan kenaikan harga-harga bahan pokok. Dampaknya, mereka dipaksa memeras otak dan membanting tulang untuk menjaga dapur tetap ngebul.

Berbeda halnya ketika kita berada di sistem islam, seorang pemimpin ataupun penguasa akan mensejahterakan rakyatnya. Karena kesusahan rakyat adalah kesusahan pemimpin nya dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas kepemimpinan nya. Wallahu a'lam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar