Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Balikpapan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pemerintah Kota Balikpapan melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) semakin fokus dalam menangani masalah ini melalui berbagai program sosialisasi dan edukasi.
Menurut data DP3AKB, pada tahun 2023 terdapat 132 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, pada periode Januari hingga Juni tahun ini, jumlah kasus telah mencapai 116.
Kepala DP3AKB, Heria Prisni, menjelaskan bahwa kekerasan ini meliputi berbagai bentuk, dengan rincian sebagai berikut: 27 kasus kekerasan fisik, 4 kasus kekerasan psikis, 77 kasus kekerasan seksual, 4 kasus eksploitasi seksual, 1 kasus perdagangan orang, dan 2 kasus lainnya.
“Kasus kekerasan seksual mendominasi, dengan korban berusia antara 0 hingga 18 tahun,” kata Heria.
Untuk mengatasi hal ini, DP3AKB melakukan berbagai upaya, terutama melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif. Sosialisasi yang telah dilakukan akan ditingkatkan, dengan fokus pada masyarakat umum serta sekolah-sekolah di Kota Beriman.
“Kami akan memperbanyak sosialisasi, baik kepada masyarakat umum maupun secara khusus di sekolah-sekolah,” ucapnya.
DP3AKB juga melibatkan psikolog dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai narasumber dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di beberapa sekolah, seperti SMP 9, SMK Adzkiya, dan SMA 9.
Selain itu, DP3AKB bekerja sama dengan Rutan Balikpapan untuk memberikan materi tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) guna meningkatkan kesehatan mental warga binaan wanita.
Harapan DP3AKB, dengan langkah-langkah ini, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditekan. “Program sosialisasi harus lebih gencar lagi karena angka kekerasan perempuan dan anak mengalami peningkatan,” tuturnya.
Penerapan Sistem Rusak
Meningkatnya kasus kekerasan apalagi daerah perkotaan menunjukkan beban hidup semakin berat. Pelaku kekerasan anak, sekarang lebih sering dari orang terdekatnya, termasuk ayah, ibu, atau kerabat serumah. Tindak kekerasannya juga makin sadis, bahkan kadang di luar nalar. Ada orang tua yang tega membuang atau menelantarkan anak-anaknya yang masih balita, ibu yang tega menjual anak ke lelaki hidung belang, bahkan ada ibu yang tega mencabuli anak laki-lakinya yang masih di bawah umur demi uang.
Bukan hanya menjadi korban, tidak adanya perlindungan yang semestinya dari negara juga membuat anak-anak menjadi pelaku tindak kriminal. Anak-anak gadis melacurkan diri, remaja pelaku tawuran tega membunuh, bullying, pelaku pornografi, hingga menjadi pecandu narkoba.kehidupan yang permisif, liberal berakar dari sistem sekuler. Perlu surport sistem, terutama sanksi tegas bagi pelaku kekerasan.
Banyak pihak mencoba menganalisis faktor penyebab munculnya persoalan anak. Umumnya pihak-pihak terkait menuding kemiskinan, pola asuh, lingkungan (keluarga, masyarakat, dan sekolah), budaya, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan, menjadi faktor terjadinya berbagai masalah anak.
Pembahasan faktor yang memunculkan persoalan anak selalu terhenti di sini. Tidak ada yang membahas bahwa semua persoalan tersebut pada dasarnya adalah kegagalan negara dalam melindungi anak Indonesia. Tidak ada upaya untuk menelaah lebih dalam, peran negara yang minimalis dalam sistem kapitalisme berimplikasi besar dalam memunculkan kemiskinan, disfungsi keluarga, merebaknya tayangan merusak atau buruknya implementasi hukum.
Kemiskinan, misalnya. Diakui atau tidak, saat ini negara kita menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, akses terhadap sumber daya hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki modal. Sedangkan orang yang tidak atau hanya sedikit memiliki modal, menjadi makin miskin. Kesenjangan makin lebar antara yang miskin dan kaya. Kondisi ini bisa memicu stres orang tua yang berujung pada kekerasan terhadap anak, penelantaran, perdagangan anak, gizi buruk, dan stunting.
Disfungsi keluarga juga adalah akibat penerapan sistem yang salah. Negara kapitalis selalu mempromosikan partisipasi ekonomi perempuan sebagai bentuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan.[iv] Akibatnya, para ibu lebih sibuk dengan pekerjaan daripada mengurus keluarga atau pengasuhan anak.
Faktor-faktor lain yang memunculkan persoalan anak juga sekadar akibat. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu tanpa memandang lagi akibat yang ditimbulkan.
Begitu pula implementasi hukum yang lemah. Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi yang penyusunannya diserahkan kepada keterbatasan pikiran dan akal manusia. Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman mati, atau hukuman di hadapan khalayak, ditolak. Akibatnya, hukum menjadi mandul, tidak berefek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku kejahatan.
Dengan demikian, berbagai persoalan anak pada dasarnya penyebabnya adalah penerapan sistem yang rusak, sistem yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Selayaknya sistem ini kita tinggalkan, berpindah pada sistem yang memuliakan generasi yang telah terbukti saat diterapkan menghasilkan anak-anak berkualitas. Sistem ini adalah Islam.
Islam Melindungi Anak
Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan semua persoalan anak. Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiah. Islam juga merupakan akidah siyasi, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.
Islam memiliki mekanisme untuk melindungi anak secara total, dari tumbuh kembang fisik, kepribadian, dan kesejahteraannya. Islam menganjurkan para ibu menyusui bayinya hingga dua tahun. Untuk menyempurnakan penyusuan ini, ibu bahkan dibolehkan tidak berpuasa saat Ramadan.
Ayah diperintahkan untuk mencukupi nafkah ibu yang menyusui, bahkan apabila ibu dicerai saat menyusui, ayah wajib membayar upah penyusuan (QS Al-Baqarah: 234). Ini bertujuan agar ibu tidak perlu bekerja saat menyusui sehingga mengganggu hak anak mendapat penyusuan yang sempurna. Ayah yang mampu namun melalaikan kewajibannya bisa dilaporkan kepada hakim yang akan memaksanya untuk membayarkan nafkah dengan menahan hartanya atau memenjarakannya sampai ia mau membayar nafkah.
Perempuan boleh beraktivitas di luar rumah, tetapi setelah tugasnya sebagai ibu dan pengatur rumah telah ditunaikan secara sempurna. Mencari nafkah tidak diwajibkan atas mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi penuh menjalankan kewajiban mengurus dan mengasuh anak-anak. Inilah pencegahan stunting dan gizi buruk yang paling efektif pada anak karena tujuan pengasuhan anak dalam Islam adalah mencegah anak dari kebinasaan.
Islam juga melarang orang tua menyakiti anak saat mendidik mereka. Kebolehan memukul anak hanya setelah anak berusia 10 tahun saat tidak mau diperintahkan untuk salat. Itu pun hanya dengan pukulan ringan yang tidak berbekas, semata-mata bertujuan memberikan pendidikan, bukan menghukum, apalagi pukulan penuh emosi yang menyakiti anak.
Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warga negara termasuk anak, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan.
Islam juga menghargai kebebasan, tetapi tetap menjaga agar kebebasan tersebut bernilai positif untuk kehidupan. Media massa, internet dan sarana-sarana penyebaran pemikiran dan informasi dibatasi hanya boleh menyebarkan hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama dan bernilai produktif bagi umat.
Penerapan sistem Islam juga menjaga suasana takwa terus hidup di tengah masyarakat. Negara berkewajiban membina warga negara sehingga ketakwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu bertakwa tidak akan melakukan pelanggaran hukum terhadap anak-anak. Masyarakat yang bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, masyarakat menjadi pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syara'.
Pilar ketiga adalah penegakan hukum oleh negara. Negara menjalankan syariat secara sempurna dalam segala bidang untuk memastikan kesejahteraan dan keamanan warga negara. Negara juga menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi para pelanggar hukum seperti pemerkosa dicambuk 100 kali apabila belum menikah, dan dirajam apabila sudah menikah.
Penyodomi akan dihukum bunuh. Pembunuh anak akan dikisas, yakni balas bunuh, atau membayar diat sebanyak 100 ekor unta yang apabila dikonversi saat ini senilai lebih dari 1,2 miliar rupiah. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, 1990). Begitu pun tindak kejahatan lain, akan ditetapkan hukuman tegas yang membuat orang-orang yang akan melakukan kejahatan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
Penerapan sistem Islam secara utuh ini akan menyelesaikan masalah-masalah anak secara tuntas, bukan solusi parsial yang memunculkan berbagai persoalan baru. Penerapan sistem ini hanya bisa dilakukan dalam institusi negara Islam, yaitu Khilafah Islamiah yang akan menerapkannya secara sempurna tanpa diskriminasi, baik orang dewasa atau anak-anak, muslim atau nonmuslim, laki-laki atau perempuan, semua mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara.
Hanya dalam sistem yang telah terbukti dari sejarah penerapannya selama kurang lebih 13 abad inilah, anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang, dan calon generasi terbaik. Anak terlindungi, umat maju seluruhnya.
Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar