Keamanan Pangan, Tanggung Jawab Siapa?


Oleh: Nyimas Sitimasithoh

Baru baru ini media sosial ramai tentang pembahasan fenomena banyaknya anak cuci darah di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso menegaskan tak ada laporan peningkatan kasus gagal ginjal pada anak.

"Secara nasional tidak dilaporkan lonjakan kasus gagal ginjal yang signifikan sebagaimana tahun lalu ada kasus keracunan EG dan DEG (pada obat)," ujar Piprim dalam keterangan videonya, Kamis (26/7).

Hal di atas disampaikan Piprim merespons ramainya isu tentang banyaknya anak yang menjalani terapi cuci darah di  RSCM Jakarta. Terapi cuci darah pada anak, lanjut Piprim, sudah biasa dilakukan sejak lama. Namun, tak semua terapi cuci darah pada anak dilakukan karena gaya hidup. Menurut Piprim, ada banyak penyebab seorang anak harus menjalani cuci darah. Misalnya, kelainan bawaan pada ginjal dan saluran kemih yang telah dialami anak sejak lahir. Ada juga sindrom nefrotik yang memicu terjadinya gangguan pada ginjal.

Dokter spesialis anak di RSCM Eka Laksmi Hidayati mengakui bahwa pihaknya membuka layanan cuci darah untuk anak. Ada sekitar 60 pasien yang menjalani terapi cuci darah di RSCM.

"Rata-rata usia 12 tahun ke atas. Jadi memang masuk kategori remaja," ujar Eka dalam siaran langsung di akun Instagram ofisial RSCM, Kamis (25/7).

Senada dengan Piprim, Eka juga memastikan fenomena anak cuci darah di RSCM tak terkait dengan peristiwa gagal ginjal akut akibat obat sirup yang sempat ramai pada beberapa tahun lalu. Eka juga menjelaskan bahwa tak semua rumah sakit menyediakan layanan cuci darah. Oleh karenanya, banyak pasien yang akhirnya dirujuk ke RSCM hingga terlihat melonjak.

"Banyak yang rujukan, karena memang tidak semua provinsi memiliki fasilitas ini (hemodialisa)," ujarnya.

Namun, Meski tak ada lonjakan anak penderita gagal ginjal yang berujung cuci darah, keberadaan kasus ini perlu menjadi perhatian karena sebagian kasus erat kaitannya dengan pola konsumsi yang salah atau tidak sehat, dan ini yang mendominasi faktor penyebab gagal ginjal dan penyakit penyakit berbahaya lainnya. 

Lalu, kira-kira apa yang menimbulkan munculnya grafik tinggi penderita penyakit penyakit berbahaya yang 20 atau 30 tahun lalu belum tinggi dan belum banyak penderitanya? Dalam era modern, makanan dan minuman yang tinggi gula telah menjadi integral dari kehidupan sehari-hari. Namun, penelitian terbaru menyoroti konsekuensi kesehatan yang signifikan yang terkait dengan konsumsi gula berlebihan. 

Kelebihan konsumsi gula setiap hari dapat memiliki sejumlah dampak negatif pada kesehatan. Diantaranya: Obesitas, Resistensi insulin dan diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, penyakit hati berlemak non-alkoholik (NAFLD), resiko penyakit kanker, Hipertensi, sindrom metabolik, penurunan kesehatan mental, gangguan metabolisme lemak, penyakit ginjal, Gangguan pola tidur/ insomnia, penuaan dini dan kerusakan kulit, inflamasi, gangguan fungsi hati, dan penyakit autoimun.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) dan beberapa lembaga kesehatan lainnya memberikan pedoman terkait ambang batas konsumsi gula yang sehat. Berdasarkan rekomendasi WHO tahun 2015, ambang batas konsumsi gula yang disarankan adalah: Untuk dewasa kurang dari 10%  dari asupan energi harian sekitar 2.000 kalori, atau sekitar 50 gram gula bebas. Sedangkan rekomendasi idealnya adalah kurang dari 5% dari total asupan energi harian.

Rekomendasi ini didasarkan pada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa konsumsi gula yang berlebihan dapat berkontribusi pada risiko sakit yang sudah disebutkan di atas, dan kondisi kesehatan lainnya. Selain itu, batasan ini mencakup semua sumber gula tambahan dalam makanan dan minuman, termasuk yang ditambahkan selama proses produksi serta yang berasal dari makanan alami, seperti buah-buahan.

Namun, begitu banyak masyarakat yang awam akan hal tersebut. Dan banyak pula yang mengetahui tapi tidak menerapkan pola hidup sehat tersebut. Realitanya, hari ini begitu banyak produk berpemanis, yang merupakan produk industri makanan dan minuman di Indonesia. Sayangnya, produk tersebut mengandung gula yang  tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam angka kecukupan gizi. Bahkan terkadang banyak makanan yang sangat berbahaya, karena mengandung pemanis buatan yang  cukup tinggi.

Hal ini  memanglah wajar, dalam kehidupan yang diatur oleh sistem kapitalisme,  karena uang adalah tujuan utama dari berbagai proses produksi. Akibatnya, pengusaha atau penjual abai akan  aspek kesehatan dan keamanan pangan. Yang terpenting bagi mereka adalah usaha yang bermodal serendah-rendahnya dan menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tanpa memikirkan lagi apakah makanan itu halal dan thoyyib.

Begitupun dengan pembeli, saat ini masyarakat sedikit sekali yang berhati-hati dalam memilih makanan. Apalagi di kalangan menengah ke bawah, yang memiliki keadaan ekonomi yang sulit, dan memiliki anak yang banyak. Makanan yang halal dan thoyyib bukan lagi jadi tolak ukur asupan untuk keluarga dan anak-anak mereka. Tapi makanan yang murah, banyak, instan, dan rasanya enak adalah pilihannya. Bagi mereka yang terpenting anak-anak mereka kenyang, tanpa memikirkan lagi makanan itu baik atau tidaknya untuk kesehatan. Dan Sangat sedikit pula, orang tua yang teliti memilihkan jajanan untuk anak-anaknya, bahkan untuk sekedar mewanti-wantikan pada anaknya agar jajan makanan yang sehat, sehingga pada akhirnya anak-anaknya pun membeli jajanan dengan sembarangan.

Lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam hal ini? Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan ekonomi dan makanan halalan thoyyiban bagi masyarakatnya sesuai dengan perintah syari'at. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ 
“Makanlah apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu beriman.” (QS . Al-Maidah: 88).

Dan sudah seharusnya juga, negara mengontrol industri-industri agar memenuhi ketentuan aturan Islam tersebut. Dengan cara menyediakan tenaga ahli,  melakukan penelitian dan pengawasan, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pihak yang melanggar aturan.

Negara juga akan melakukan edukasi atas makanan halalan thoyyiban, melalui berbagai mekanisme  dan berbagai sarana untuk mewujudkan kesadaran akan pangan yang halal dan thoyyib di tataran negara dan masyarakat.

Lalu, sebagai pertanyaan nya, Apakah kesadaran akan pangan yang halal dan thoyyib akan terwujud ditengah-tengah sistem kapitalisme saat ini? Tentu itu akan sangat sulit. Karena apa?  Karena negara tidak menerapkan syariat Islam, dan tidak menggunakan hukum-hukum Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Ideologi dan aturan kehidupan selain Islam seperti kapitalisme atau sosialisme,  mungkin saja  bisa menghantarkan pada kemakmuran, ketertiban, dan penegakan hukum. Namun, Di mata Allah Subhanahu wata'ala hal itu adalah kemungkaran, yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam keterpurukan. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِ نَّ لَـهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Ta-Ha: 124).

Wahai kaum muslim! Marilah kita bersegera menuju perubahan yang hakiki. Dengan melepaskan diri dari hukum-hukum jahiliah, menuju penerapan hukum-hukum Allah dibawah naungan  khilafah Islamiyyah. Yang akan menghantarkan kita semua pada keberkahan hidup di dunia dan keselamatan diakhirat.

Wallahu A'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar