Kenaikan Pajak dan Utang: Saatnya Kembali pada Sistem Islam


Oleh : Fara Melyanda (Ibu Pembelajar)

Target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun (cnbcindonesia.com, 16/08/24).

Alasan kenaikan pajak adalah agar pemerintah dapat memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai program yang akan dijalankan di tahun depan. Diantaranya  seperti pembiayaan pembangunan dll.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah kembali mengalami peningkatan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun (kontan.co.id, 18/08/24).

Tahun ini saja secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut bertambah sekitar Rp Rp 57,82 triliun atau meningkat 0,68% dibandingkan posisi utang pada akhir Juni 2024 yang sebesar Rp 8.444,87 triliun. Ironinya, utang itu tidak dianggap sebagai beban. Buktinya, Pemerintah justru terus menumpuk utang. 

Sungguh wajar pajak dan utang meningkat, karena hari ini kita hidup di dalam sistem Kapitalisme. Paradigma pembiayaan Pembangunan dalam sistem ini adalah dari pajak dan utang. Berbagai macam pungutan pajak justru menjadi sumber utama pendapatan negara.

Namun sayang, rakyat juga menjadi sasaran pajak di antaranya PBB, PPN dan PPh,dll. Hal ini jelas memberatkan rakyat, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan malah makin ditambah.

Sebenarnya, melakukan berbagai pungutan pajak terhadap rakyat adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para raja, kaisar dan para pemimpin di luar Islam. Dulu, para raja biasa memungut pajak dan upeti dari rakyatnya. Ada pajak atas emas, hewan ternak dan juga budak. 

Pada era modern, negara-negara yang menganut ideologi Kapitalisme juga memungut pajak dari rakyat dengan lebih banyak lagi jenisnya seperti pajak kendaraan, rumah, tanah, dll. Parahnya lagi, sekarang direncanakan pula ada pungutan pajak atas sembako, sekolah bahkan pajak dari para ibu yang melahirkan. 

Pada saat yang sama, pengelolaan kekayaan alam dalam sistem kapitalisme yang sejatinya milik rakyat justru dikuasakan kepada pihak asing dan para kapitalis cukong. Kemudian, hasil dari pengelolaan juga harus dilakukan menurut mekanisme pasar. Belum lagi tata kelolanya juga banyak masalah, seperti keharusan menggunakan trader yang mematok margin sesukanya, adanya mafia, dll.

Akibat dari penerapan sistem kapitalisme ini kezaliman sistematis akan terus terjadi. Rakyat juga dikekang untuk menyampaikan aspirasinya. Hal ini justru berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan  Islam. Dalam pemerimtahan Islam negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak. Islam juga tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. 

Pasalnya, baitul mal atau kas negara dalam sistem pemerintahan Islam memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah, dsb. 

Pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Non-muslim (ahludz-dzimmah) tidak dikenai pajak. Akan tetapi dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam sistem pemerintahan Islam dibebankan hanya pada warga muslim yang kaya saja.

Oleh karena itu, mari kita buang sistem kapitalisme, dan kembali ke sistem Islam. Sejarah membuktikan 14 abad sistem Islam menguasai dunia, hanya dengan Islam keadilan akan tercipta.  Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Rakyat tidak dipersulit dengan berbagai pungutan dan segala problematika terselesaikan.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar