MinyaKita, untuk Siapa?


Oleh : Wahyuni Mulya (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng Minyakita naik dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 per liter. Kenaikan ini diumumkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat.

Harga Minyakita tembus Rp16.000 di pasar tradisional, salah satunya di Pasar Tradisional Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Harga ini lebih tinggi dari harga Minyakita terbaru yang diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas), yakni Rp15.700 per liter. Berdasarkan pantauan CNN dot com pada Sabtu (20/7), setidaknya ada lima pedagang yang menjual Minyakita dengan harga Rp16.000.

Zulhas menerangkan pertimbangan kenaikan harga Minyakita, salah satunya karena pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS. Selain itu Kemendag juga melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung HET Minyakita.

Harga Minyakita memang lebih murah dari merek minyak lain yang sering diiklankan di televisi. Meski begitu belakangan masyrakat juga mulai beralih dari Minyakita lantaran kualitasnya yang terlihat menurun. Salah satu warga mengaku menemukan merek minyak lain yang harganya tidak jauh beda, tetapi kualitasnya lebih baik.


Kok Bisa?

Produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50,07 juta ton. Naik 7,15 persen dibandingkan produksi 2022 yang mencapai 46,73 juta ton. Ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan minyak goreng sebenarnya Indonesia tidak perlu impor.

Dengan produksi CPO yang melimpah, alasan kenaikan biaya produksi yang dikaitkan dengan harga internasional dan nilai tukar rupiah tampaknya kurang tepat, karena sebagian besar bahan baku utama berasal dari dalam negeri. Meskipun ada justifikasi ekonomi di balik kenaikan HET minyak goreng, kebijakan ini jelas tidak tepat dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.

Kenaikan harga bahan pokok tersebut tampak “tidak banyak”, tetapi kalau kita melihat nominal harganya, tetap saja tergolong tinggi. Mayoritas masyarakat Indonesia sendiri adalah keluarga berpenghasilan menengah ke bawah. Ada kenaikan sedikit saja pada komoditas kebutuhan pokok, tentu akan menyusahkan mereka. Ini karena pengeluaran mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan makan. Mereka juga perlu membayar pajak, listrik, air, kontrakan, sekolah anak, ke dokter jika sakit, dan lain-lain

Adapun keberadaan HAP dan HET tidak ubahnya pistol tanpa peluru. Meski ada harga acuan, nyatanya harga di pasaran bisa naik sesukanya. Di sisi lain, penetapan harga acuan tidak berpengaruh signifikan karena pemerintah juga melakukan pembiaran. Pada akhirnya, harga acuan jadi tidak ada artinya.

Yang pasti kebijakan pemerintah menaikkan HET minyak dipastikan menambah beban rakyat karena pengeluaran akan semakin besar. Begitu pula dengan usaha mikro dan kecil di tengah masyarakat yang akan mengalami kenaikan biaya produksi


Kenapa Malah Menyusahkan?

Sebenarnya penetapan HET demi kepentingan siapa? Sebab rakyat terbukti tidak mendapatkan manfaat dari harga acuan karena harga di pasaran tetap tinggi. Dengan demikian, pada hakikatnya pemerintah tidak hadir ketika harga bahan pokok melambung.

Persoalan migor memang pelik, mulai dari hulu hingga strukturnya perlu dibenahi. Pangkal persoalan migor ini sebenarnya terletak dari tidak terpenuhinya kebutuhan pangan pokok rakyat.

Memang seperti inilah kondisi ketika negara menerapkan sistem kapitalisme. Negara dalam kapitalisme hanya berperan sebagai regulator, yaitu membuat regulasi. Namun, regulasi itu tidak berorientasi pada kepentingan rakyat bahkan menyengsarakan rakyat.

Sebaliknya, pihak yang lebih diuntungkan oleh adanya regulasi adalah para kapitalis oligarki yang menguasai distribusi bahan pokok di tingkat nasional. Mereka mendapatkan keuntungan yang besar dengan kenaikan harga bahan pokok.

Kondisi ini merupakan ciri khas sistem ekonomi kapitalisme. Betapa kebijakan yang dibuat terus berkutat pada pelibatan swasta. Padahal jelas jika sudah melibatkan swasta maka orientasinya adalah keuntungan, bukan untuk terpenuhinya kebutuhan umat secara merata.


Aturan untuk Kita

Islam memandang pemenuhan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sawit akan menjadikan minyak mudah didapat dengan harga murah.

Penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena negara menjadi pihak pengendali distribusi kebutuhan rakyat termasuk minyak.

Negara juga akan memastikan mekanisme pasar berjalan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan transaksi, khususnya terkait produksi, distribusi, perdagangan, dan lainnya. Negara pun berkewajiban menghilangkan distorsi pasar, seperti larangan penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar, serta pelaksanaan fungsi hakim pasar secara aktif dan efektif dalam memonitor pasar.

Namun yang terpenting, negara dengan kepemimpinan Islam bisa mencukupi kebutuhan pangan rakyat setiap individu. Negara memosisikan dirinya sebagai ra’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) rakyat, bukan sekadar regulator yang hanya bisa membuat regulasi, tetapi ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar