Persoalan Percepatan Penanganan Stunting, Islam Kaffah Penting


Oleh : Anita S.M (Aktivis Dakwah Muslimah)

Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur mengadakan rapat lintas sektor yang dihadiri oleh beberapa dinas, termasuk Dinas Pangan, Dinas Kelautan & Perikanan, Dinas Kesehatan, Kementerian Agama dan Poltekkes Kaltim serta Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Timur. Acara ini berlangsung, Kamis (8/08/2024), di Hotel Fugo Samarinda. dr.Resvianur selaku Kepala Seksi Gizi Kesjangor Dinas Provinsi Kalimantan Timur, menyampaikan materi terkait percepatan perbaikan gizi untuk penurunan anemia pada remaja putri. Gizi merupakan salah satu isu kesehatan prioritas, terutama pada tahun 2023-2024. Data menunjukkan bahwa 8% remaja usia 13-18 tahun menderita kurus dan lebih dari 25% mengalami stunting. Selain itu, 32% remaja putri mengalami anemia, jadi 1 dari 3 remaja putri menderita anemia.

Stunting adalah kurangnya asupan gizi pada anak sehingga terganggu pertumbuhannya. Adapun penyebab stunting ini di antaranya adalah pertama kurangnya nutrisi sejak dalam kandungan karena sang ibu tidak dapat mengonsumsi makanan sehat dan bergizi. Kedua, setelah lahir, bayi tidak mendapatkan asupan ASI yang cukup. Ketiga, buruknya sanitasi dan kurangnya akses air bersih. 

Stunting sangat berbahaya ketika menimpa anak-anak  notabene merupakan cikal bakal generasi masa depan kelak. Stunting tidak hanya menghambat pertumbuhan fisiknya (tubuh pendek/kerdil), tetapi juga mengganggu perkembangan otaknya. Kalau sudah begini, tentu generasi pembangun peradaban yang cerdas berkualitas tidak akan didapatkan.

Jika ditelusuri persoalan Stanting tidak kunjung terselesaikan berbagai pergram sudah di upayakan namun, tetap saja hingga hari ini kasus stanting tidak kunjung terselesaikan.

Percepatan penanganan stunting memang penting, namun jangan terjebak dengan hal praktis dan cabang. Perlu solusi tepat dan sistem yang mendukung, tidak ditemukan dalam sistem saat ini.Lantas apa sebenarnya persoalan pemicu stanting, tentu tidak lain, karena masalah kemiskinan sehingga masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan hajatul uduwiyyahnya atau kebutuhan pokoknya.

Inilah Penerapan Sistem kapitalisme hanya berpihak pada kaum yang bercuan. Boleh jadi suatu wilayah kaya SDA, tetapi yang menikmatinya bukan rakyat jelata. Siapa yang kuat dana, maka ialah yang berhak memiliki SDA. Karena itu SDA justru dikuasai dan dinikmati oleh pihak swasta baik lokal maupun asing. Kalaupun ada hasil SDA yang disalurkan kepada masyarakat, jumlahnya ala kadarnya, ibarat hanya sebatas pil penenang, sehingga tidak benar-benar memenuhi kesejahteraan rakyat banyak.

Dalam Islam, SDA merupakan milik umat. Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Manusia berserikat dalam 3 perkara, dalam hal air, padang dan api.” Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa tambang adalah representasi dari api. SDA adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti biasa pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. 

Dalam hadits tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat : “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)”. Rasul SAW kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya.” Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus-menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasul SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul SAW mencabut pemberian itu. 

Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, Beliau menarik kembali pemberian itu. 

Tidak ada larangan bekerjasama dengan perusahaan tertentu, tetapi hanya sebatas menggunakan jasanya, bukan sebagai pemilik. Mereka akan dibayar sesuai dengan jasa yang digunakan. Sehingga semua proses mulai dari pemilihan lokasi, aktivitas eksplorasi, distribusi, sampai pemulihan pasca tambang selalu dalam pengawasan ketat pemerintah. Sehingga pemerintah bebas menyalurkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau. 

Dengan demikian, ketika SDA tidak diatur berdasarkan ketentuan Islam, maka tidak akan banyak manfaatnya bagi masyarakat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya SDA, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Karena sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak swasta lokal maupun asing, bukan oleh rakyat kebanyakan. 

Alhasil, hanya sistem Islam yang mampu mengelola SDA dengan sempurna, karena Islam mempunyai sistem yang mumpuni dalam menjamin kesejahteraan manusia di segala sisi kehidupan. Penerapan sistem Islam secara keseluruhan dalam bingkai negara ialah solusi satu-satunya guna mengatasi berbagai permasalahan di dalam kehidupan dunia ini. Karena banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan SDA. Pengelolaan SDA sepenuhnya hanya ada di tangan negara, hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang maupun jasa yang murah bahkan gratis, seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan fasilitas umum.

Kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalisme, sistem yang memakmurkan oligarki dan para kapitalis. Sungguh miris, anggaran yang sejatinya disalurkan untuk rakyat, justru dinikmati oleh para birokrat.

Berbeda sekali ketika sistem Islam menaungi umat, baik muslim maupun nonmuslim. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, hampir setiap hari orang-orang ketika itu berbagi harta benda. Sampai-sampai ada yang memanggil-manggil, ‘Ke sinilah, wahai para hamba Allah, ambil madu bagianmu. Ke sinilah, wahai para hamba Allah, ambil harta benda baguanmu.” (Tahqiq Mawaqifsh Shahabah fil Fitnah).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau meminta gubernur membayar semua gaji dan hak rutin pegawai di Irak. Beliau juga memerintahkan untuk mencari orang yang terlilit utang—tetapi yang tidak boros—agar diberikan uang untuk melunasi utangnya. Sementara itu, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, dibangun rumah-rumah sakit lengkap dan canggih untuk melayani masyarakat dengan cuma-cuma.

Sungguh luar biasa jaminan kesejahteraan yang diwujudkan pemimpin dalam sistem Islam. Seharusnya, tidak ada lagi keraguan pada umat untuk mengembalikan penerapan syariat Islam kafah melalui tegaknya Khilafah. Persoalan kemiskinan dapat segera tuntas tanpa ada lagi penyelewengan anggaran. Dan masyarakat akan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya.

Wallahualam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar