Oleh : Venny Swandayani (Aktivis Dakwah)
Belakangan ini, anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais mengungkapkan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih meninggalkan celah untuk melakukan kecurangan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Khususnya jalur prestasi, baik akademik maupun nonakademik. Menurut Indraza, pada jalur prestasi akademik, Ombudsman menemukan kecurangan yang didukung sekolah asal siswa. Kecurangan yang ia maksud berupa mengganti nilai rapor muridnya dengan angka yang lebih besar.
Menurutnya, pendaftaran PPDB jalur prestasi akademik di hari pertama pasti akan sepi pendaftar. Namun, di akhir-akhir masa pendaftaran akan terjadi lonjakan. Hal ini disebabkan menunggu nilai passing grade atau nilai terendah berapa, lalu sekolah asal akan melakukan 'cuci rapor' dengan cara mengganti semua nilai-nilai muridnya agar bisa masuk. (SINDOnews, Sabtu 29/6/2024)
Persoalan cuci rapor ini tidak hanya terjadi di Depok, tapi juga di Bandung, Cileunyi Kabupaten Bandung dan Bogor. Dari kejadian tersebut sebanyak 51 siswa didiskualifikasi saat mendaftar ke sekolah negeri. Hal tersebut diduga ada campur tangan dengan pihak sekolah dan para orang tua. (Kompas.com, Rabu 17/7/2024)
Sepertinya, sistem PPDB saat ini harus dikaji ulang oleh pemerintah. Karena terbukti menimbulkan banyak masalah. Orang tua berkompetensi untuk memanipulasi nilai rapor yang didukung pihak sekolah. Padahal penerimaan siswa baru harusnya objektif, adil, dan transparan. Pemerintah pun harus mencegah terjadinya kecurangan serta menindak dengan tegas para pelakunya, baik di masyarakat maupun di instansi sekolah. Karena jika para pelaku dibiarkan akan merugikan siswa lain yang jujur dan berprestasi dan bisa melahirkan kecurangan lain. Apalagi pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan merupakan tanggung jawab negara dalam memenuhinya.
Sayangnya, persoalaan tersebut semakin hari tak kunjung usai. Pemerintah pun tampak membiarkan persoalan itu terjadi. Karena hingga hari ini belum ada tindakan tegas dari pemerintah dalam menyelesaikan hal tersebut. Ini merupakan sebuah fakta riil tatkala hidup dalam sistem kapitalisme. Maka pendidikan ala kapitalisme tak lebih sebagai sarana meraup untung jika cuci rapor dan suap menyuap terus dibiarkan. Jadi wajar bila pendidikan saat ini tidak membentuk siswa didik yang jujur, berprestasi, berakhlak mulia, dan kompeten.
Sistem pendidikan yang bersifat kapitalistik mendorong semua elemen yang terlibat di dalamnya berorientasi pada profit. Sedangka negara hanya sebagai regulator bagi aktivitas kapitalistik ini, bukan pengurus urusan rakyat. Sehingga dalam menyediakan fasilitas pendidikan pun, negara acapkali menggandeng pemodal swasta untuk terlibat aktif dengan dalih meningkatkan kualitas pendidikan.
Inilah yang menjadikan masalah pendidikan tak pernah selesai. Apalagi paradigma ala kapitalisme memandang bahwa, jika ingin sekolah berkualitas silahkan ikuti mekanisme pasar, cari sekolah swasta yang berkualitas meski terbilang mahal.
Berbeda dengan Islam. Islam mengatur dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kemanan merupakan upaya ikhtiar membentuk manusia dan umat berkualitas paripurna sesuai dengan misi penciptaan. Oleh karenanya, Islam juga menetapkan bahwa layanan publik tersebut merupakan hak seluruh rakyat yang wajib dipenuhi negara dengan sebaik-baiknya, sebagaimana hak dasar seperti pangan, sandang, dan papan.
Maka fungsi negara atau penguasa dalam Islam akan terwujud nyata. Yaitu mengurus dan menjaga rakyatnya, karena para penguasa kelak akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana sabda Nabi saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin (pengurus) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”. (HR Bukhari)
Islam pun memiliki strategi pendidikan seperti:
Pertama akidah Islam menjadi salah satu landasan dibangunnya sebuah metode pendidikan, baik dalam pelajaran maupun pembelajaran.
Kedua, negara harus memberikan kesempatan belajar pada semua rakyat dan menjamin pendidikan tersebut dapat diperoleh rakyat secara gratis.
Ketiga, negara harus memerangi buta huruf semaksimal mungkin dan berupaya mendidik mereka yang belum memiliki tsaqafah.
Keempat, negara wajib mengajarkan ilmu pengetahuan, industri, navigasi atau pelayaran, pertanian, dan sebagainya. Serta haram mengajarkan segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Selanjutnya, negara akan membangun infrastruktur pendidikan di tiap daerah (kota maupun desa) secara merata. Seluruh biaya pendidikannya berasal dari kas baitul mal. Karena Islam memiliki sumber pemasukan yang tetap. Seperti, ghanimah, jizyah, kharaj, usyur, Serta seluruh harta kepemilikan umum seperti pengelolaan SDA untuk kepentingan publik.
Inilah sekilas penjelasan tentang politik pendidikan dalam Islam. Islam ketika diterapkan secara sempurna di seluruh aspek kehidupan dalam sebuah bingkai negara khilafah, maka kesejahteraan, keamanan, dan pendidikan akan terjamin serta terpenuhi secara merata.
Anak-anak maupun para orangtua tidak akan kesulitan dalam segi ekonomi untuk biaya sekolah, yang berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang sekarang diterapkan. Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan memperjuangkan Islam diterapkan di tengah masyarakat agar umat paham bahwa hanya Islamlah solusi seluruh masalah kehidupan tak terkecuali dalam sistem pendidikan.
Wallahu a'lam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar