Sulitnya Mendapat Keadilan Dalam Sistem Demokrasi


Oleh: Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Hakim Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Erentuah Damanik, Heru Hanindio dan Mangapul menjatuhkan vonis bebas untuk Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan kasus pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti. Gregorius Ronald Tannur, yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menjalani hukuman penjara selama 12 tahun, akhirnya dibebaskan dari tuduhan tersebut. Karena hal tersebut diatas, pengacara keluarga mendiang Dini Sera Afrianti, mengumumkan akan membuat laporan kepada Hakim Pengawas (Bawas) di Mahkamah Agung. Selain berupaya mencari keadilan dengan melaporkan ke Mahkamah Agung, ia juga akan mendorong jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi. (surabayapostnews.com, 24/07/24)

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menyebut putusan vonis hakim PN Surabaya itu tidak berdasar hukum. Maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU), telah dikesampingkan majelis hakim yang menyidangkan perkara pembunuhan tersebut. Salah satu yang dikesampingkan majelis hakim adalah terkait dengan hasil visum et repertum oleh ahli yang telah disumpah sebelum memberikan keterangan atas keahliannya. Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya. (jpnn.com, 26/07/2024)

Akibat putusan tersebut, massa aksi yang tergabung dalam Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (TABUR PARI) menggelar demo di depan PN Surabaya, Senin (29/7/2024) siang. Pendamping Hukum Dini Sera Afrianti dari Biro Bantuan Hukum Damar Indonesia, Muhammad Sobur mengatakan, maksud kedatangan mereka ingin bertemu dengan Ketua PN Surabaya, Dadi Rachmadi dan mempertanyakan hasil vonis bebas Gregorius Ronald Tannur (GRT), terdakwa penganiaya Dini Sera Afrianti sampai meninggal dunia. Sobur menduga, dalam vonis bebas dari tuntutan JPU 12 tahun penjara ini ada transaksional antara terdakwa Ronald Tannur dengan pihak PN Surabaya. Sebab, anak mantan anggota DPR RI Edward Tannur itu bebas dari dakwaan tiga pasal berlapis. (rri.co.id, 30/07/2024)

Putusan bebas ini tidak hanya melukai perasaan korban dan keluarga, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia dan tentu sangat melukai akal sehat kita sebagai manusia, apalagi di dalam putusannya hakim mengatakan tidak menemukan bukti yang meyakinkan, padahal telah beredar luas di tengah-tengah masyarakat rekaman CCTV yang menunjukkan kekejaman terdakwa kepada korban.

Kriminalitas yang terjadi di negeri ini sulit untuk  mendapatkan sanksi tegas.  Tentu saja ini mengoyak nurani keadilan pada masyarakat, seperti kasus Gregorius Ronald Tannur. Hal ini menggambarkan sistem hukum yang jauh dari keadilan, bahkan tidak memberikan efek jera. Hukum menjadi tajam ke bawah tumpul ke atas serta tebang pilih. Demokrasi merupakan pemikiran yang lahir dari keterbatasan akal manusia. Ini menjadi bukti lemahnya hukum buatan akal manusia yang diterapkan hari ini. Wajar saja karena manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan sering terjebak pada koflik kepentngan, cenderung berpihak, serta berubah-ubah. Inilah gambaran sistem hukum dalam demokrasi, yang bahkan juga membuka celah terjadinya kejahatan. Tidak ada jaminan keadilan dan keamanan. Umat sulit mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.

Berbeda dengan sistem peradilan dalam Islam. Hukum Islam terbebas dari intervensi dan kepentingan manusia.  Kedaulatan tertinggi hanyalah berada pada hukum syara' yaitu Al-Qur'an dan hadist sebagai sumber hukum tertinggi sehingga standar baik dan buruknya sudah jelas yaitu halal dan haram.

Para qadi (hakim) diperintahkan untuk selalu berlaku adil dan sesuai dengan hukum syariat. Tidak boleh memutuskan perkara yang menyalahi Al-Qur'an dan hadist. Tidak berhak memilih atau menimbang keputusan dengan akalnya. Hukum tidak boleh tumpul bagi pejabat dan tajam pada rakyat biasa, harus tegas pada pada individu yang melanggar syariat.

Dan membunuh tanpa alasan yang syar'i adalah haram. Karena itu Allah menetapkan hukuman bagi orang-orang yang membunuh tanpa alasan syar'i dengan qisas. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian (melakukan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan…” (QS Al-Baqarah[2]: 178)

Qisas adalah hukuman yang Allah tetapkan bagi orang-orang yang membunuh tanpa sebab syar’i. Namun, jika keluarga korban memaafkan, pelaku harus membayar diat (denda) sebesar 100 ekor unta, 40 di antaranya sedang bunting.

Bagi pelaku kejahatan, hukuman ini akan memberikan efek jawabir yaitu menjadi penebus dosanya sehingga ia tidak akan diadili di akhirat kelak. Selain itu juga akan memberikan efek zawajir, yaitu mencegah orang lain untuk melakukan hal yang serupa.

Hanya hukum dan peradilan Islam yang yang memiliki kesempurnaan. Karena itu segera tinggalkan sistem hukum dan peradilan dalam sistem demokrasi dan bersegera menerapkan sistem dan peradilan Islam.

Wallahu a'lam bi ash-shawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar