TAPERA : TABUNGAN PERUMAHAN RAKYAT ATAU TAMBAHAN PENDERITAAN RAKYAT?


Oleh : Pathul Yani 

Tambahan Penderitaan Rakyat”, “Tagihan Peras Rakyat”, “Tabungan Pemalakan Rakyat”, atau “Tabungan Pejabat dari Rakyat”. Sejumlah pelesetan tersebut adalah respons masyarakat terkait kebijakan pemerintah baru-baru ini. Presiden Jokowi telah meneken PP No. 21/2024 yang mengatur tentang Perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Dalam PP tersebut, gaji pekerja di Indonesia seperti PNS, karyawan swasta, dan pekerja lepas (freelancer) akan dipotong 3% untuk dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera. Besaran iuran Tapera 3 persen dengan rincian 0,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung pekerja. Ini berarti, setiap bulan gaji peserta akan dipotong 2,5 persen untuk kebutuhan iuran Tapera. Sementara itu, para pekerja dan pemberi kerja juga masih dibebani sejumlah kewajiban iuran lainnya, seperti PPH 21 sebesar 5—35% sesuai penghasilan pekerja, BPJS Ketenagakerjaan (JHT) sebesar 5,7% yang ditanggung perusahaan 3,7% dan pekerja 2%. Belum lagi BPJS Kesehatan dengan besar potongan 5% dengan tanggungan perusahaan 4% dan pekerja 1%, serta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

Seluruh pekerja maupun pekerja mandiri wajib menjadi peserta Tapera dan membayar iurannya. Kalau peserta Tapera tidak membayar iuran, maka sanksipun telah disiapkan untuknya. Pada pasal 55 aturan tersebut, bagi pekerja mandiri (freelancer atau pekerja informal) yang sudah menjadi peserta Tapera namun tidak membayar iurannya akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. “Dalam pasal 56 ayat (1) PP 25 Tahun 2020, apabila pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerja menjadi peserta Tapera seperti yang tertuang dalam pasal 8 ayat (1) dan tidak membayarkan simpanan peserta sesuai dengan ketetapan yang berlaku (pasal 20 ayat (1) dan ayat (2)), maka akan dikenakan sanksi administratif berupa: peringatan tertulis, denda administratif, memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, dan/atau pencabutan izin usaha. 


Kezaliman
 
Tapera ini sebuah kezaliman berupa pemaksaan bahkan dapat dikatakan pemalakan harta rakyat. “Kezaliman yang nampak dalam isi PP No. 21/2024  perubahan atas PP No. 25/2020 tersebut, antara lain,

Pertama, pembayaran tabungan ini wajib atas semua pekerja di Indonesia yang memiliki penghasilan, bahkan yang sudah memiliki rumah sekalipun. Demikian pula bagi yang masih menyicil rumah tetap wajib setor Tapera.

Kedua, tidak ada jaminan setiap peserta akan memiliki rumah, karena targetnya adalah memberikan pinjaman kredit rumah hanya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berpenghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan untuk wilayah Papua dan Papua Barat, serta minimal harus sudah menjadi peserta selama 12 bulan. Itupun, masih harus memenuhi syarat-syarat yang bisa dikatakan memberatkan MBR, seperti pengembalian pinjaman disertai bunganya.

Ketiga, peserta akan kesulitan menarik tabungan yang telah disetorkan, karena ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sehingga tabungan bisa ditarik, seperti peserta meninggal dunia, telah pensiun atau telah berusia 58 tahun atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut. Artinya peserta harus menganggur sekian lama, barulah tabungannya bisa diambil.

Keempat, sanksi administratifpun akan dijatuhkan jika peserta tidak melakukan pembayaran.“Oleh karena itu bagi MBR hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) ini bukan memudahkan, tetapi tetap saja kesulitan mendapatkan rumah yang murah dan layak untuk ditempati. Sehingga dapat dikatakan Tapera hanya ilusi, bukan solusi bagi MBR untuk memperoleh rumah murah.

Kelima, rakyat miskin yang tidak memiliki penghasilan tetap, tidak termasuk di dalam target PP ini.“Tentu bagi mereka akan lebih sulit lagi. Lalu siapa yang menjamin terpenuhinya kebutuhan akan rumah bagi mereka? padahal merekalah yang paling membutuhkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa rumah dari pemerintah, namun pemerintah abai.  

Inilah akibat ketika kebijakan negara dibuat berdasarkan ideologi kapitalisme yang menuhankan keuntungan materi. Para penguasa membuat kebijakan bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi keuntungan pribadi dan pengusaha yang menyokongnya. Terkait pemenuhan kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan rumah, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan turun tangan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Pada akhirnya, rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya, itu pun masih dibebani dengan berbagai pungutan dari penguasa.


Solusi Islam

Sistem Islam menempatkan penguasa (imam) sebagai pe-ri’ayah (pelayan) urusan rakyat dengan landasan hukum syara’. Penguasa tidak dibolehkan menyimpang dari hukum syara’ karena alasan kemaslahatan tertentu, seperti memungut harta dari rakyat terus-menerus dengan alasan gotong royong. Penguasa juga tidak boleh mewajibkan sesuatu yang mubah, seperti mewajibkan menabung yang jika tidak, akan dikenai sanksi. Juga tidak boleh menghalalkan sesuatu yang haram.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).

Islam mewajibkan negara (Khilafah) untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah dengan mekanisme :

Pertama, negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewaan.

Kedua, negara melarang praktik ribawi dalam jual beli kredit perumahan. Riba untuk tujuan apa pun adalah dosa besar. Dalam sistem kapitalisme, banyak orang kesulitan memiliki rumah pribadi karena terhalang bunga/riba dalam kredit jual beli rumah. Sebagian lagi terlilit utang cicilan rumah yang mengandung riba.

Ketiga, negara harus menghilangkan penguasaan lahan yang luas oleh segelintir orang/korporasi. Saat ini sistem yang berlaku justru meniadakan batasan dan kontrol terhadap penguasaan lahan. Akibatnya, banyak pengembang besar menguasai lahan yang amat luas yang dibutuhkan rakyat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2019 melaporkan ada lima perusahaan pengembang besar telah menguasai 28 kota yang baru dibangun di kawasan Jabodetabek. Mereka juga memonopoli kepemilikan lahan. Fenomena ini disebut land banking, yaitu penguasaan atas lahan yang luas, tetapi belum digarap. Akibatnya, rakyat tidak bisa membeli tanah dan properti, kecuali melalui para pengembang tersebut dengan harga amat mahal. Syariat Islam mengatur bahwa lahan yang selama tiga tahun ditelantarkan oleh pemiliknya akan disita oleh negara untuk diberikan kepada orang yang sanggup mengelolanya. Hal ini ditetapkan berdasarkan ijmak Sahabat. Dengan cara ini praktik monopoli lahan bisa dihapuskan dan rakyat berkesempatan untuk memiliki lahan dan hunian dengan cara yang mudah.

Keempat, negara dapat memberikan lahan kepada rakyat yang mampu mengelola lahan tersebut. Negara juga dapat memberikan insentif atau subsidi kepada rakyat untuk kemaslahatan hidup mereka, termasuk untuk memudahkan mereka memiliki hunian. Nabi saw, selaku kepala negara, pernah memberikan lahan di tanah Al-‘Aqiq kepada Bilal bin Al-Harits; memberikan tanah kepada Wa’il bin Hujr di Hadhramaut; serta memberikan tanah kepada Umar dan Utsman serta para Sahabat yang lain. Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga pernah memberikan bantuan dari baitulmal untuk petani di Irak demi membantu mereka menggarap lahan pertanian, juga untuk hajat hidup mereka. Negara dalam hal ini dapat memberikan insentif atau bantuan kepada rakyat dari pos kepemilikan umum, jizyah, kharaj, atau ganimah.

Oleh karenanya, negara—yang diwakili penguasa—dalam sistem Islam akan berupaya optimal dalam melayani rakyatnya. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa papan/rumah bagi rakyat miskin yang jelas-jelas tidak memiliki kemampuan ekonomi. Tentunya harus dipenuhi prasyarat, yakni hunian layak (pantas dihuni oleh manusia), nyaman (memenuhi aspek kesehatan), harga terjangkau, serta syar’i.

Jaminan ketersediaan perumahan bagi rakyat miskin dapat terwujud hanya jika penerapan sistem Islam dilakukan secara kafah di bawah naungan Daulah Khilafah Islam. Dengan demikian, seluruh rakyat dapat merasakan kesejahteraan secara nyata dan senantiasa Allah Taala turunkan keberkahan.

Wallohu a’lam bi shawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar