Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos.
Sebagaimana diketahui oleh kita semua bahwa beberapa waktu banyak dari masyarakat Indonesia yang menolak revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada.
Atas hal itu, ribuan massa melakukan aksi demonstrasi di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat (DPR/MPR), di Senayan pada Kamis, 22 Agustus 2024. Massa mewakili berbagai elemen masyarakat termasuk di dalamnya buruh, mahasiswa, hingga komika, mereka menuntut pemerintah dan wakil rakyat untuk mematuhi putusan MK. (VOA Indonesia, 22/08/2024).
Tidak tertinggal media sosial juga dipenuhi dengan unggahan “Peringatan Darurat” hingga menjadi trending topic. Kata kunci lainnya pun yang digunakan adalah #KawalPutusanMK. Unggahan gambar burung garuda berwarna biru awalnya diunggah oleh akun kolaborasi @najwashihab, @matanajwa, dan @narasitv di Instagram. (Setelah itu banyak sekali masyarakat yang mengunggah ulang dan semakin menyadari akan persoalan genting yang sedang terjadi di negara ini.
Melihat hal itu, tentu ini memantik kita semua untuk berpikir bagaimana aturan di dalam sistem demokrasi dapat berubah-ubah sesuai kepentingan dan siapa yang berkuasa. Maka tidak aneh kita temukan pengesahan-pengesahan aturan yang justru hanya memberi sumbangsih bagi pemulusan jalan segelintir orang dan justru merugikan masyarakat secara menyeluruh.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bivitri Susanti selaku akademisi dan pakar hukum tata negara dalam tulisannya berjudul “Menolak Tunduk pada Hukum yang Jahat” di sana tertulis “Bahwa hukum negara memang tidak selamanya adil. Jangan lupa, hukum dibuat oleh penyelenggara negara yang tak lepas dari kepentingan diri dan jaringannya.”
Maka, saat ini masyarakat sudah mulai melihat dan melawan akan ketidakberesan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan yang berlaku di negeri ini. Namun, masyarakat masih belum memahami dengan hakiki apa pemantik utama yang mengakibatkan kerusakan di segala bidang terjadi secara terus menerus, terlebih rakyat sudah tidak mampu menerima imbas dari kerusakan ini, sudah waktunya perubahan itu hadir.
Jika menengok kepada landasan hari ini, demokrasi menjadi pijakan dan landasan negara yang sangat amat digenggam teguh. Namun, dalam kemunculan dan praktiknya nyatanya demokrasi adalah sistem yang rapuh. Bagaimana tidak? Di dalam demokrasi rakyat menjadi pemeran utama dengan slogan “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” atas hal itu rakyat menjadi sumber pembuat peraturan, sumber kekuasaan, bahkan rakyat pula yang menggaji kepala negara, menggantinya, dan mengubah aturan sesuai kehendaknya,
Dalam sistem demokrasi, rakyat dan kepala negara sebatas melakukan kontrak kerja untuk menjalankan pemerintahan sesuai apa yang dibuat oleh rakyat. Namun, ini menghasilkan setidaknya dua problem. Pertama, keputusan yang dihasilkan tidak akan pernah sepenuhnya menjadi gambaran utuh dari kemauan rakyat, sebab sosok-sosok yang ada di pemerintahan dipenuhi dengan asas kepentingan plus pesanan para elite dan inilah yang akan menambah kecondongan pada arah putusan aturan yang dihasilkan. Kedua, rakyat adalah sosok terbatas yang tentunya memiliki kekurangan, sehingga dalam pengusulan aturan sangat mungkin menghasilkan berbagai ketidaksempurnaan yang kurang efektif untuk mengatur masyarakat secara menyeluruh.
Sebagaimana yang tertulis pada artikel berjudul “Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme” (2018) bahwa secara umum populisme mengungkapkan antara rakyat kebanyakan yang tidak berkuasa versus segelintir elite yang berkuasa. Dalam demokrasi ada pertentangan yang tidak kunjung terselesaikan, para pemimpin populis termasuk rezim Jokowi gagal terlepas dan bebas dari cengkraman partai-partai oligarkis.
Untuk menelaahnya, tidak cukup hanya dengan mengkritisi aktor politik di dalamnya namun perlu juga memahami bahwa demokrasi adalah sistem yang rapuh yang dengan mudah menyuburkan berbagai permasalahan. Maka, untuk menghasilkan perubahan tidaklah cukup sekadar mengganti aktor politik di dalamnya, namun juga mencari alternatif sistem lain karena sistemlah yang menjadi pijakan. Bila ia kokoh maka ia akan mampu menopang negara dan bila ia rapuh maka hancurlah negara.
Bila kita kembali pada sejarahnya, ternyata ada aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan dan negara memposisikan diri sebagai pelayan umat. Aturan itu berlandas pada ideologi Islam. Sebagaimana Rasulullah SAW menjadi sosok teladan yang mempraktekannya dan mampu mengubah negeri yang jahiliyah menjadi negeri yang gemilang berlandaskan Islam sebagai landasan negara.
Berbeda dengan demokrasi, aturan Islam hadir dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui. Allah SWT menciptakan manusia sudah pasti seperangkat dengan aturannya, maka mencampakkan aturan-Nya hanya akan membuat masyarakat tersesat dan tenggelam dalam problematika hidup.
Pemisahan agama dari kehidupan dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengalihkan aturan sempurna yang Allah SWT turunkan ini. Masyarakat diarahkan untuk tidak yakin dengan aturan-Nya dan mendewakan aturan buatannya sendiri. Alhasil kebebasan dalam membuat aturan saat ini kita rasakan sangat merugikan dan jauh dari keadilan.
Untuk sampai pada penerapan dan pemahaman Islam inilah tentu diperlukan kelompok dakwah ideologis guna membina umat menuju pemahaman yang benar serta untuk berjuang menerapkan syariat-Nya di muka bumi. Sebagaimana fase kehidupan yang Nabi Muhammad SAW gambarkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut:
"Nubuwwah ada pada kalian sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian khalifah diatas manhaj nubuwwah sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian kerajaan yang menggigit sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian, kerajaan yang diktator sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian Khalifah di atas Manhaj Nubuwwah. Kemudian beliau diam." (HR Ahmad, Hadis Hasan).
Ustadz Budi Ashari pun menjelaskan ke lima fase itu, yaitu salah satunya adalah fase Mulkan Jabriyyah yang berarti kerajaan diktator. Ini adalah fase keterpurukan kaum muslim di muka bumi yang dikendalikan dengan tangan besi, di dalamnya ada kesemena-menaan, kezaliman, standar ganda dan itu menjadi pemandangan yang biasa. Bahkan para ulama ini menyebutkan sekaranglah kita hidup di fase ini. Dengan demikian kita masih berada di fase keempat, itu artinya fase kelima belum datang, tetapi pasti akan datang. (Kalam Sindonews, 08/09/2021).
Maka, sudah waktunya kita membuka mata dan pikiran atas kehancuran yang kian hadir dan bergegas menuju penerapan Islam sebagai pintu gerbang kedamaian di dunia dan akhirat. Jangan sampai kita hanya berjalan di tempat dengan melakukan upaya yang tidak efektif dan melanggengkan kerusakan ini lebih lama lagi.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar