Normalisasi Aborsi : Negara Butuh Solusi


Oleh : Wahyuni M (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pada Agustus 2024 sepasang kekasih berinisial DKZ (23) dan RR (28) ditangkap polisi karena melakukan aborsi di Pegadungan, Kalideres. DKZ diketahui telah mengandung delapan bulan. Tersangka DKZ yang sudah hamil sejak bulan Januari bersepakat untuk gugurkan kandungan. DKZ dan RR tinggal bersama di sebuah rumah kos di Pegadungan membeli obat penggugur kandungan secara daring sehraga Rp 1 juta. Keduanya menjalin hubungan gelap, karena RR sudah memiliki istri.

Kasus aborsi lain juga dilakukan oleh mahasiswi berinisial MS (22) dan mahasiswa berinisial KA (21) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng). Kedua sejoli ini ditangkap polisi karena menggugurkan kandungannya yang sudah berusia 8 bulan. MS mengkonsumsi 10 butir obat penggugur kandungan yang dibeli KA dari kawannya yang berkuliah di kesehatan seharga Rp 1.250.000, kemudian mereka menyewa penginapan dan merencanakan menggugurkan kandungan MS.

Kabar kurang menyenangkan sejenis pun tengah menimpa Nikita Mirzani, pasalnya anak gadisnya Laura Meizani Nasseru Asry atau akrab disapa Lolly dikabarkan telah hamil diluar nikah dan juga melakukan aborsi. Diketahui, sebelumnya hubungan Nikita dengan Lolly kurang baik semenjak anaknya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di luar negeri dan kabur dari asramanya.


Jangan Normalisasi Aborsi

Praktik aborsi di kalangan anak muda semakin tinggi seiring dengan maraknya pergaulan bebas. Berdasarkan data Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) pada 2017, BKKBN mencatat bahwa remaja pada usia 16-17 tahun, sekitar 60% melakukan hubungan seksual; usia 14-15 tahun 20%; dan usia 19-20 tahun 20%.

Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dilaporkan pada tahun 2020 terjadi di kalangan remaja berusia 15–24 tahun lebih dari 20% kasus baru. Sedangkan remaja yang berusia 10-19 tahun sebanyak 2,4% dan 8,6% jumlah remaja berusia 20-24 tahun yang belum menikah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan lebih banyak terjadi di perkotaan sebanyak 5,7% remaja menurut Data Survei Kesehatan Reproduksi Indonesia (SKRI) yang dilakukan pada tahun 2020-2021.

Dalam penelitian Nurhafni (2022), dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95% di antaranya terjadi pada remaja usia 15-25 tahun. Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus, dengan 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja. Banyak penelitian lainnya juga mengungkapkan eratnya hubungan antara pergaulan bebas dan aborsi.


Dampak Pergaulan Bablas

Ada banyak faktor yang terkait, diantaranya adalah rusaknya tata pergaulan, gagalnya sistem pendidikan dalam mencetak generasi berakhlak mulia, kebijakan negara yang memfasilitasi pergaulan bebas, sistem sanksi yang tak menjerakan juga maraknya tayangan yang menjerumuskan. Semua adalah buah dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme dalm kehidupan.

Pemerintah seperti abai terhadap permasalahan ini, sebagaimana tertuang dalam PP 28/2024 terkait pelaksanaan UU Kesehatan (UU 17/2023), dengan terbitnya kebijakan pemberian alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja, makin mempermudah anak-anak untuk melakukan pergaulan bebas. Sebagai contoh, kebijakan pendidikan kespro di sekolah-sekolah dianggap solusi pergaulan bebas, padahal sejatinya memicu remaja terlibat pergaulan bebas itu sendiri.

Sanksi dalam sistem hukum di Indonesia pun tidak menjerakan. Pelaku aborsi ilegal hanya dikenakan hukuman penjara maksimal 4 tahun, padahal mereka telah menghilangkan nyawa. Pelaku pergaulan bebas atau perzinaan tidak dihukum jika tidak ada unsur paksaan atau aduan perselingkuhan. Lebih dari itu, hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sehingga menimbulkan ketakadilan dan merugikan mereka yang tidak memiliki jabatan atau harta.


Negara Butuh Solusi

Islam mengharamkan pergaulan bebas/zina dan aborsi. Akar permasalahan dari semua ini adalah akibat tidak diterapkannya syariat secara kafah di negeri ini. Jika syariat Islam yang menjadi landasan dalam menetapkan kebijakan, pergaulan bebas akan diharamkan karena memuat pintu gerbang maupun perbuatan zina itu sendiri. 

Negara akan menutup semua celah melalui berbagai aspek, di antaranya penerapan sistem pergaulan Islam, menerapkan kurikulum yang berbasis akidah islam, juga menata media agar menginformasikan kebaikan dan ketakwaan. Dalam Islam, tidak ada persetujuan seksual. Aktivitas seksual hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri yang sah. Selain itu, hukum sanksi zina menurut Islam juga tegas dan menjerakan.

Semua upaya kuratif dan preventif ini akan optimal dengan memfungsikan tiga pilar, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Ketiga pilar tersebut tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan aborsi akibat pergaulan bebas, tetapi jika dapat berjalan optimal akan membentuk masyarakat yang beriman dan bertakwa.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar