Peringatan Darurat, Campakkan Demokrasi Segera!


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Efek seruan “peringatan darurat” yang menggema di dunia maya menyusul adanya dugaan DPR berupaya menganulir putusan MK melalui revisi UU Pilkada, yaitu demo besar-besaran di dunia nyata yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dalam rangka mengawal  MK perihal ambang batas parlemen dan syarat batas minimal usia calon kepala daerah. Peserta aksi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, warga sipil, selebritas, pekerja seni, buruh, komedian, hingga komika turun ke jalan menuntut DPR membatalkan revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan MK. Alhasil, DPR RI membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada dan pelaksanaan pilkada mengacu pada putusan MK.

Di antara putusan MK yang mengubah sebagian isi UU Pilkada ialah perihal ambang batas pencalonan kandidat yang semula 20% menjadi 6,5% sehingga memungkinkan bagi parpol yang tidak memperoleh kursi DPRD tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).

Selain itu, putusan MK menetapkan syarat berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota, terhitung sejak penetapan pasangan calon, 

Tidak sia-sia ternyata. Akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjamin pemerintah tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Pilkada. Jokowi bahkan tak kepikiran untuk membuat Perppu. "Nggak ada (rencana bikin Perppu), pikiran saja nggak ada," ujar Jokowi di Hotel Kempinski, Jakarta, Jumat (23/8/2024). Jokowi menjawab pertanyaan wartawan soal apakah dirinya akan membuat Perppu terkait Pilkada. Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas juga mengucapkan hal yang sama. Dia meminta masyarakat tak dramatis. (detik online, 23/8/2024).

Di laman online PSI (24/8/2024), juga memuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa Kaesang Pangarep Tidak Akan Maju di Pilkada 2024 dan semua proses administrasi (pengurusan persyaratan Pilkada) dihentikan setelah keputusan MK. 

Apakah dengan dikabulkannya apa yang memicu demo tersebut maka semua menjadi baik-baik saja? Setelah pendaftaran peserta Pilkada maka menjamin tidak akan ada lagi politik dinasti dan turunannya? Mampukah guyuran hujan semalam mengairi kemarau setahun? Dulu, ketika demo yang lebih besar dan dahsyat dari ini dilakukan hingga mampu menggulingkan rezim orde baru tapi nyatanya sekian lama berlalu tetap saja ganti pemimpin tidak menjadi lebih baik.

Secara, rezim saat ini “telah berhasil” memaksa rakyat untuk mengakui kekuasaannya dengan berbagai macam cara. Bahkan, semua pihak yang punya kekuatan telah berhasil dimobilisasi untuk menjadi pendukung dan pelindungnya. Sampai-sampai, semua lembaga dikooptasi, bahkan dilumpuhkan. Pihak yang tadinya kritis bahkan berubah haluan dan merapat pada kekuasaan. Sedangkan yang masih konsisten mengkritik, harus siap-siap disingkirkan atau terkena “alat pukul” Pancasila ataupun undang-undang dan peraturan lainnya. Itulah wujud asli politik demokrasi dalam sistem kapitalis.

Dan jika kita flashback lebih jauh lagi, sejak orde baru, presiden menguasai penuh panggung politik Indonesia. Selama 32 tahun Indonesia dipimpin oleh presiden yang sama. Begitupun dengan susunan kabinet dan menterinya. Tentu kita mengalami saat masih sekolah betapa mudahnya menghafal nama presiden beserta susunan kabinet dan menterinya karena namanya itu-itu juga. Paling tinggal menghafal nama wakil presidennya. Itu jugalah wujud asli politik demokrasi dalam sistem kapitalis. Meski sampai saat ini Indonesia enggan mengakui bahwa negaranya menganut sistem kapitalis.

Begitupun dengan arah kebijakan politik ekonomi Indonesia sebenarnya sudah mengadopsi sistem kapitalisme sebagai dasar mengatur negara. Berbagai kebijakan kapitalistik sudah ada sejak masa pemerintahan Soeharto. Bukti paling nyata ialah masuknya perusahaan asing pertama setelah dikeluarkannya Tap MPRS No. XIII/MPRS/1967 serta UU No. 1/1967  tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU PMA sekaligus menjadi titik awal masuknya investasi asing di Indonesia.

Setelah UU PMA lahir, pada 5 April 1967 Indonesia menandatangani kontrak karya PMA pertama kalinya dengan Freeport Sulphur Company(FSC/PT. Freeport Indonesia. Inc.) milik Amerika. Kontrak karya itu akan berlanjut sampai 2061. Wilayah yang ditambang berubah dari gunung emas menjadi lembah emas. Puluhan tahun tambang emas dikeruk hingga habis, rakyat Papua dapat apa? Sampai detik ini, kesejahteraan dan kemiskinan masih menjadi problem mengakar rakyat Papua. Inilah di antara dampak kapitalisme.

Pada masa pemerintahan Jokowi wajah kapitalisme makin liberal dan menyeluruh. Sebutlah UU Omnibus Law Cipta Kerja dan IKN yang menjadi megaproyek penguasa. Lahirnya UU Cipta Kerja banyak ditolak buruh lantaran UU ini membuka keran liberalisasi dan eksploitasi pekerja, seperti pemberian HGU kepada pengusaha hingga 190 tahun.

Pemerintahan Jokowi juga jorjoran memberi berbagai kemudahan pada investor asing, seperti pada proyek IKN. Sebagian besar IKN didanai dari investasi dengan porsi dana 20% dari APBN dan 80% dari swasta atau investasi asing. Demi IKN, masyarakat adat pun harus rela digusur tempat tinggalnya.

Sudah banyak konflik agraria meletus sepanjang pemerintahan Jokowi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2015—2022 ada 2.710 konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan sepanjang 2017—2022 terjadi 301 perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektare. Sebaliknya, pemberian tanah bagi pengusaha sawit terus meluas. Pemerintah disebut memberikan perluasan sawit hingga 5,6 juta hektare sepanjang 2016—2022. Dampaknya, kerusakan lingkungan kian melebar yang berakibat pada bencana alam akibat regulasi dan kebijakan kapitalistik.

Seyogianya kita sebagai rakyat harus lebih jeli dalam mencari akar masalah juga solusi hakiki. Kita juga harus lebih kritis, jangan mau diberi solusi pragmatis yang hanya akan menjadikan dilematis. Mari kita berpikir rasional dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kecerdasan kita. Mari kita manfaatkan sebaik-baiknya apa yang telah menjadi bekal kita sebagai manusia yang membedakan kita dengan makhluk lainnya. Mari kita ubah pemikiran kita dengan menggunakan akal sehat kita dan kebersihan hati kita.

Jangan-jangan selama ini kita malah salah dalam penyelamatan. Seperti halnya salah tangkap orang. Disangka pencuri padahal pahlawan, eeh giliran pencuri malah ditolong karena dianggap yang korban. Seberapa kenal kita dengan demokrasi? Mari kita berkenalan!

Demokrasi lebih familiar dengan sebuah sistem yang menuhankan suara rakyat alias manusia dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi nyatanya buah dari penerapan demokrasi selalu memberikan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat. Model pemerintahan yang digagas oleh Montesquieu ini tak lebih hanya menginginkan agar aturan manusia berada lebih tinggi daripada aturan Sang Pemilik manusia.

Suatu hal yang ironis, demokrasi yang hendak diselamatkan, realitasnya adalah sistem yang justru memproduksi kerusakan. Tidak hanya saat ini kerusakan itu terjadi, melainkan sudah sejak awal demokrasi diterapkan. Penguasa datang dan pergi silih berganti, tetapi tidak ada yang mampu mengubah keadaan. Kesejahteraan bagaikan mimpi bagi mayoritas rakyat Indonesia. Rakyat hanya diperhatikan saat suaranya dibutuhkan. Begitu berkuasa, semua hanya janji-janji kosong tanpa ada realisasi.

Utang juga makin menumpuk, lahan-lahan rakyat banyak yang dirampas, berbagai pungutan pajak makin mencekik, daya beli masyarakat melemah, layanan publik pun mahal dan kian sulit dijangkau. Berbagai masalah sosial mencuat, seperti meningkatnya angka kriminalitas, kenakalan remaja, merebaknya judol dan pinjol, dan lain-lain. Wajar jika demokrasi melahirkan kerusakan karena ia adalah sistem pemerintahan yang lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan yang merupakan asas ideologi kufur kapitalisme.

Bukan hanya menjadi sumber kerusakan, demokrasi hakikatnya adalah ide khayali yang belum pernah diterapkan secara nyata, bahkan di negara-negara asal demokrasi sekalipun. Menyitir tulisan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambil, Menerapkan dan Mendakwahkannya, praktik demokrasi sesungguhnya didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Demokrasi yang memiliki dua pemikiran dasar, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan, nyatanya tidak mungkin dipraktikkan.

Klaim kekuasaan di tangan rakyat sehingga kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, bahwa dewan perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat, juga bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Sebabnya, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Ini mengingat kedudukan seorang anggota di parlemen itu sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Oleh karena itu, suara para pemilih di suatu daerah harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Alhasil, orang yang meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut, melainkan hanya suara minoritas.

Kita juga bisa menyaksikan bahwa kepala negara dan anggota parlemen sesungguhnya mewakili kehendak kaum kapitalis—para konglomerat dan orang-orang kaya—dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Ini karena para kapitalis itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan, yang akan merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis tersebutlah yang telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen sehingga mereka memiliki pengaruh kuat atas presiden dan anggota parlemen. Fakta ini juga sangat nyata ada di negara-negara asal demokrasi, yakni di AS dan Inggris.

Demokrasi adalah sistem batil (salah). Kebatilan demokrasi dapat kita lihat dari dua pemikiran dasarnya, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pertama, konsep kedaulatan di tangan rakyat. Konsep ini batil karena manusia sangat lemah dan terbatas sehingga tidak akan pernah mampu menjadi pembuat hukum dan aturan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi masyarakat dan negara. Manusia juga tidak akan mampu menilai suatu hukum bermanfaat ataukah justru mendatangkan mafsadat. Seandainya pun manusia dibiarkan membuat hukum, pasti akan menghasilkan hukum yang berbeda-beda sesuai perbedaan karakter individu dan zamannya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
...ۚ ÙˆَعَسٰۤÙ‰ اَÙ†ْ تَÙƒْرَÙ‡ُÙˆْا Ø´َÙŠْــئًا ÙˆَّÙ‡ُÙˆَ Ø®َÙŠْرٌ Ù„َّÙ€Ú©ُÙ…ْ ۚ ÙˆَعَسٰۤÙ‰ اَÙ†ْ تُØ­ِبُّÙˆْا Ø´َÙŠْــئًا ÙˆَّÙ‡ُÙˆَ Ø´َرٌّ Ù„َّـكُÙ…ْ ۗ Ùˆَا للّٰÙ‡ُ ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ Ùˆَاَ Ù†ْـتُÙ…ْ Ù„َا تَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ
"... boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216).

Walhasil, yang berhak membuat hukum (Al-Hakim) hanyalah Allah Taala. Allah adalah Al-Mudabbir, Sang Maha Pembuat aturan. Allah Swt. berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’am: 57). Manusia juga harus tunduk patuh pada semua hukum dan aturan Allah, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208).

Adapun kebatilan konsep kedua, yakni bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan. Sebabnya, konsep ini memberikan kekuasaan kepada seseorang (penguasa) untuk menjalankan hukum dan aturan yang dibuat oleh manusia. Padahal, penguasa seharusnya dipilih rakyat untuk menerapkan hukum yang dibuat Al-Hakim, yakni Allah Taala, bukan hukum buatan manusia.

Konsep batil ini telah membingkai kekuasaan demi meraih kepentingan nafsu duniawi, serta membuang jauh kepentingan akhirat. Inilah yang selanjutnya memberi kesempatan kepada penguasa memanfaatkan kekuasaan demi meraih kepentingan pribadi seperti kondisi hari ini. Itulah gambaran penguasa yang buruk, jahat, dan bengis. Keberadaan penguasa semacam itu bukan sedang mengingkari atau menyalahi sistem demokrasi. Justru hakikatnya ia (penguasa) lahir dari rahim sistem demokrasi itu sendiri. Yakin masih mau menyelamatkan dan memperjuangkan demokrasi?

Seharusnya sistem demokrasi ini dibiarkan mati atau bahkan seharusnya dimatikan, dan sistem Islamlah penggantinya. Islam memiliki konsep yang jauh berbeda dengan demokrasi. Dalam Islam, kedaulatan adalah di tangan syarak. Islam menetapkan bahwa Allahlah Al-Hakim, Sang Pembuat hukum. Dialah Allah Al-Mudabbir, Sang Maha Pengatur. Dialah Al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), maka aturan-Nya pastilah aturan yang terbaik bagi manusia, makhluk ciptaan-Nya.

Adapun dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan. Konsep ini seolah mirip dengan demokrasi, tetapi sebenarnya sangat jauh berbeda. Perbedaannya, dalam sistem Islam, rakyat memilih penguasa bukan untuk menjalankan hukum dan aturan rakyat, melainkan demi untuk menjalankan hukum dan aturan dari Allah Taala, sedangkan dalam demokrasi justru sebaliknya.

Islam juga membingkai kekuasaan dengan tujuan mulia, yakni untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Taala. Alhasil, tidak akan ada penguasa di dalam sistem Islam yang menginginkan kekuasaan demi tujuan-tujuan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta, jabatan, ataupun kedudukan. Tidak akan ada penguasa dalam sistem Islam yang menyelewengkan kekuasaannya demi untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Syakhshiyyah Islamiyyah Juz 2, menjelaskan bahwa Asy-Syaari’ (Sang Pembuat hukum), yakni Allah dan Rasul-Nya, telah membatasi pertanggungjawaban umum yang wajib dipenuhi oleh penguasa dalam sistem Islam. Inilah yang akan menghindarkan penguasa dari berbagai sifat buruk, seperti zalim, kejam, diktator, korup, dan sebagainya. Hal ini tampak jelas dalam hadis yang menjelaskan sifat-sifat penguasa dalam Islam. Di antara sifat yang paling menonjol adalah kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati.

Tersebab di dalam kekuatan kepribadian yang dimiliki penguasa terdapat potensi munculnya hegemoni dan tirani, maka penguasa diharuskan memiliki sifat takwa yang akan melindunginya dari kejahatan tirani. Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Dahulu jika Rasulullah saw. mengangkat seorang pemimpin atas pasukan atau sariyyah, beliau berpesan kepadanya dengan ketakwaan kepada Allah dalam dirinya sendiri, dan agar ia memperlakukan kaum muslim yang bersamanya dengan baik.”

Asy-Syaari’ juga memerintahkan para penguasa melakukan berbagai terkait rakyatnya, yakni agar senantiasa memperhatikan rakyatnya dengan memberi nasihat, memperingatkan agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum, serta mewajibkan penguasa agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lainnya.

Allah mengharamkan surga bagi para penguasa yang menipu rakyatnya, alih-alih memperhatikan mereka dengan nasihat. Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda, “Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR. Bukhari).

Sedangkan terkait hukum yang harus dijalankan oleh penguasa, Asy-Syaari’ telah mewajibkan para penguasa untuk memerintah hanya dengan Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul-Nya. Juga memberikan kepadanya hak untuk berijtihad dalam keduanya, serta melarangnya untuk melirik kepada selain Islam (lihat QS. Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47).

Demikian detail dan runutnya Islam menjelaskan tentang bagaimana seharusnya penguasa memerintah dan dengan apa ia mengurus rakyatnya. Ketika ada penguasa yang melanggar ketetapan dan hukum Allah tersebut, Islam telah memerintahkan kepada kaum muslim untuk melakukan muhasabah (menasihatinya). Hal ini dijelaskan dalam banyak nas Al-Qur’an maupun Hadis.

Rasul saw. bersabda, “Pemimpin para syahid adalah hamzah bin Abdul Muthallib; dan seorang laki-laki yang menghadap imam yang zalim, lalu ia menyuruh dan melarangnya (imam), lalu imam itu membunuhnya.” (HR. Al-Hakim).

Jadi jelas, jika kita menginginkan perubahan hakiki, janganlah terbatas pada reaksi sesaat atas satu kebijakan penguasa. Memfokuskan perubahan hanya pada persoalan cabang tidak akan mengubah segalanya. Ini karena sumber masalah yang membuat negeri ini porak-poranda adalah penerapan sistem kapitalisme demokrasi.

Selama sistem kapitalisme demokrasi masih diterapkan, tidak akan ada yang berubah. Yang berubah hanyalah pemimpin dan pejabatnya. Sementara itu, sistem yang menaunginya masih sama. Ibarat kendaraan sudah usang, hanya mengganti sopir tidak akan menjadikan kendaraan tersebut berjalan dengan baik. Berganti mesin kendaraan dan sopir pun tidak akan membuat kendaraan tersebut bergerak cepat. Mengganti seluruh perangkat dan sistemnya, itulah perubahan sebenarnya, yaitu perubahan mendasar/revolusioner.

Marilah kita semuanya bersegera untuk mengamalkan, menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itulah bangsa dan negeri ini akan bisa meraih ragam keberkahan dari langit dan bumi. Sudah saatnya kita melakukan perubahan yang sifatnya revolusioner, yakni dari fondasi hingga kepemimpinan. Perubahan revolusioner haruslah dimulai dari visi perubahan yang sahih. Visi perubahan sahih dibangun di atas pemikiran ideologis dan metode sahih untuk menerapkannya, yakni ideologi Islam dan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah Saw. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar