Sistem Islam Tegas Mencegah Pelecehan dan Kekerasan Seksual


Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)

Sebuah aksi datang dari sejumlah lembaga mahasiswa Fahutan Unmul di depan Gedung Rektorat, Kamis (22/8) lalu. Dengan menggaungkan " Merdeka itu bebas dari kekerasan seksual", Aksi ini disinyalir buntut dari permasalahan dosen Fahutan, yang terlibat dalam kasus kekerasan pada beberapa tahun silam.

Dosen yang statusnya dinonaktifkan sebagai pengajar di Fahutan tersebut, diduga masih berseliweran di lingkungan unmul, salah satunya dengan munculnya sebuah poster yang menampilkan wajahnya sebagai narasumber dalam suatu agenda di lingkungan kampus. (sketsaumul.co) 

Perlu diketahui bahwa sanksi untuk tiga Dosen Universitas Mulawarman (Unmul) yang diduga melakukan kekerasan seksual hingga saat ini masih mengambang.

Meski dalam rilis Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unmul mengatakan terbukti, sanksi terhadap dosen tersebut tak kunjung keluar. 

Selain dari tiga dosen tersebut, satu dosen berasal dari Fakultas Kehutanan Unmul yang tengah diproses hukum masih menjadi sorotan. 

Kepada Kaltim Post, Kamis (22/8), Menteri Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM Unmul, Devy Khusnul Khotimah angkat bicara. Dia mengatakan, setelah Satgas PPKS Unmul mengeluarkan rilis terkait kejadian kekerasan seksual di lingkungan kampus, dirinya ingin mengetahui kasus di dalam rilis tersebut. 

“Ternyata setelah kita bicara bersama, salah satu dari permasalahan ini adalah kode etik Unmul yang tak kunjung disahkan. Bayangin, kode etik itu aturan penting untuk spesifikasi mengatur bentuk sanksi dan pelanggaran, tapi malah belum disahkan,” ucapnya.

Peran Rektor dalam permasalahan ini sangat dibutuhkan. Bukan sebaliknya, menyerahkan kepada Kementrian Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi (Kemendikbudristek). 


Kerusakan Sistematis

Tingginya kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lembaga pendidikan tinggi tentu menjadi catatan tersendiri. Mengingat kampus sebagai tempat kaum terpelajar, kasus seperti ini harusnya terminimalisasi. Mengapa kasus ini seakan terus ada dan sulit tereduksi? 

Di tengah sistem yang menganut prinsip kebebasan, membahas kasus kekerasan seksual membutuhkan kemampuan kita untuk memahami realitas sosial masyarakat. Sistem sosial dan pergaulan di kehidupan masyarakat kita tidak memiliki batasan mengenai interaksi antara lawan jenis. Di sisi lain, prinsip kebebasan telah memberikan celah bagi setiap individu untuk berbuat sesuka hati. Ini tentu sebuah dilema sosial.

Meski undang-undang mendefinisikan pelecehan seksual sebagai ‘perbuatan yang melanggar nilai kesusilaan dan kesopanan’, tetapi di tengah sistem yang mendewa-dewakan kebebasan, definisi tersebut menjadi elastis. Ini menjadikan kasus serupa terus terulang, tidak pernah selesai secara tuntas. 

Permasalahan mendasar dari hukum hari ini dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual, sesungguhnya terletak pada konsep-konsep kehidupan yang lahir dari hukum itu sendiri.

Sistem sekuler nyatanya telah menghasilkan pemikiran liberal yang mengakomodasi kebebasan berekspresi. Di satu sisi, negara menginginkan masyarakat terbebas dari kekerasan seksual. Di sisi lain, ada jaminan kebebasan bagi setiap individu, padahal prinsip kebebasan ini yang menjadi trigger munculnya problem dalam kehidupan sosial masyarakat.

Atas dasar kebebasan berekspresi, individu bebas mempertontonkan aurat, sedangkan mata para lelaki bebas melihatnya. Sementara itu, media juga tidak tinggal diam. Visualisasi yang membangkitkan syahwat meneror pikiran siapa saja hingga tergerak melakukan perbuatan tidak senonoh. Tentu fakta ini tidak hanya terjadi di perguruan tinggi. Nyaris di setiap komunitas masyarakat mudah kita temukan kasus serupa.

Sungguh kondisi ini merupakan blunder sistemis dan berpotensi merugikan korban hingga masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, sistem hari ini tidak memiliki langkah preventif dan terarah untuk menangkal berulangnya kasus pelecehan seksual.

Terlebih lagi, sanksi yang diberikan kepada pelaku sama sekali tidak berefek jera. Merujuk pada Pasal 5 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual nonfisik bisa dipidana penjara maksimal 9 (sembilan) bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta. Untuk pelecehan seksual yang bersifat fisik, sanksinya beragam. Mulai dari kurungan penjara selama 4—12 tahun dengan denda Rp50 juta—Rp300 juta.

Jika melihat dampak bagi individu dan masyarakat, sanksi ini jelas tidak berefek jera bagi pelaku. Akhirnya, besar peluang kasus serupa terus bermunculan di tengah masyarakat. Di sisi lain, sanksi ini tidak bisa mengganti trauma korban akibat pelecehan seksual dan pelaku masih berpeluang melakukan hal serupa. Lantas, bagaimana solusi Islam atas hal ini?


Islam Melindungi Mahasiswa dari Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Islam bukanlah ideologi reaktif yang memunculkan regulasi hanya saat muncul persoalan. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang memberikan rahmat atas alam semesta melalui hukum-hukum Allah Ta'ala. Tentunya, rahmat dari aturan Islam akan terasa dan melindungi tatkala diadopsi oleh negara bersistemkan Islam.

Negara dengan sistem Islam akan menetapkan visi Perguruan Tinggi yang berasaskan akidah Islam untuk mencetak intelektual muslim berkepribadian Islam dan melahirkan pemimpin umat yang akan mengatasi masalah masyarakat. Kurikulum dan arah kebijakannya akan melindungi mahasiswa dari segala bentuk aktivitas yang merusak kepribadian dan karakter identitasnya sebagai muslim. 

Berikut ini di antara mekanisme sistem Islam dalam memutus rantai kekerasan seksual.

Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Ini karena kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Selain itu, kehidupan berjemaah akan diatur terpisah, baik di sekolah, perguruan tinggi, hingga layanan publik. Tidak akan kita jumpai kasus pelecehan seksual di kampus akibat kehidupan campur baur atau khalwat.

Kedua, salam aspek i’lamiyah (media dan informasi), Khilafah berfungsi strategis untuk membangun masyarakat Islam yang kukuh. Tidak akan dijumpai informasi atau media massa yang merusak iman dan akhlak masyarakat. Ini juga menjadi jaminan perlindungan bagi mahasiswa dari kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagaimana kerap terjadi pada media online sekuler kapitalistik saat ini.

Ketiga, sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Masyarakat akan saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi segala bentuk kemaksiatan, termasuk di lingkungan kampus. Semuanya akan dilakukan dengan cara yang baik. Pelaporan dan penjagaan berbagai aktivitas maksiat di lingkungan kampus semata karena dorongan ketakwaan.

Keempat, sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Sanksi tegas ini akan berefek jera (zawajir) bagi si pelaku sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumulhisab kelak.

Demikianlah, mahasiswa akan terbebas dari kekerasan seksual hanya dengan  menerapkan syariat Islam kaffah, bukan sistem yang lain.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar