WAJAH BURUK DEMOKRASI


Oleh : Ummu Miqdad

Sejak Rabu (21/8/2024) media sosial dihebohkan dengan beredarnya gambar garuda berlatar biru dengan tulisan “Peringatan Darurat”. Peringatan ini dipakai warganet sebagai simbol perlawanan terkait rencana revisi UU Pilkada oleh DPR yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas minimum usia calon kepala daerah. Hal ini disusul dengan aksi demonstrasi masyarakat di berbagai daerah pada hari Kamis dan Jumat untuk menuntut DPR agar mengurungkan aksinya menganulir putusan MK tersebut. Kabarnya DPR lebih memilih menggunakan putusan MA yang menyetujui untuk mengabulkan gugatan Partai Garuda agar batas usia kepala daerah 30 tahun saat dilantik. Meskipun dengan adanya aksi masyarakat turun ke jalan membatalkan revisi tersebut, kini DPR kembali berulah dengan menggelar rapat untuk mengevaluasi wewenang MK. 

Peristiwa ini mengingatkan kita pada putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres yang diubah agar calon yang berusia dibawah 40 tahun bisa mengikuti kontestasi pemilu capres-cawapres 2024.  Tak ketinggalan isu tiga periode yang sengaja digulirkan melalui Apdes. Ketika isu ini tak berhasil, maka strategi berikutnya, yakni wacana penundaan pemilu 2-3 tahun dengan alasan banyak program pemerintah yang belum selesai. Penolakan pun datang dari berbagai pihak, sehingga wacana ini urung dilaksanakan. 

Beginilah wajah asli sistem demokrasi yang digadang-gadang pro rakyat. Kenyataan yang terjadi dalam perpolitikan di Indonesia, prinsip demokrasi yang mengusung rakyat sebagai pemilik kekuasaan dan kedaulatan tidak mendapatkan porsi untuk menentukan nasibnya. Bahkan check and balances dengan trias politica pun tak berjalan. Masing-masing lembaga saling sikut. Presiden sebagai eksekutif mengobrak-abrik aturan yang telah dibuat badan legislatif. Jika tak sesuai keinginannya, presiden bisa dengan mudah mengubah aturan perundang-undangan tersebut dengan menempatkan kaki tangannya di lembaga legislatif dan yudikatif. Praktik electoral authoritarian dan autocratic legalism disikat semua.

DPR yang merupakan badan legislatif bahkan tidak mengerti posisi putusan MA dan MK, mana yang harus mereka patuhi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hampir seluruhnya tidak berpihak pada rakyat. Justru berpihak pada oligarki kapitalis, meskipun harus mengorbankan rakyat. Diantara produk perundang-undangan yang kontroversial saat ini adalah UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba, dll. Kerusakan demokrasi bukanlah disebabkan oleh buruknya tabiat orang yang berkuasa saja. Bahkan banyak di antara mereka awalnya adalah orang baik yang masih terjaga. Ketika masuk ke dalam sistem, maka sistem ini sedikit demi sedikit menggerogoti idealisme mereka. Niatnya ingin mengubah keadaan, justru keadaanlah yang membentuk mereka menjadi manusia-manusia rakus. Sistem ini memang rusak dari akarnya.

Perilaku politik Machiavelli yang dipraktikkan oleh pemerintah Indonesia saat ini bukanlah tanpa alasan. Pemisahan moral dari politik dan penghalalan segala cara untuk meraih tujuan memanglah asas dari politik ala demokrasi. Sebab itu, demokrasi sangat kontradiktif dengan Islam. Pertentangan itu antara lain tampak dalam sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta dalam berbagai ide dan aturan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, demokrasi adalah sistem kufur. Kaum muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, apalagi menerapkan dan menyebarluaskannya. Demokrasi adalah bagian dari produk akal manusia, bukan berasal dari Allah swt. Sedangkan manusia secara fitrah adalah makhluk lemah, terbatas, serba kurang, dan membutuhkan yang lain. Manusia tidak mampu memahami hakikat dirinya sendiri tanpa petunjuk penciptanya. Maka aturan apapun yang dibuat manusia yang bertentangan dengan petunjuk Allah pasti akan menyebabkan kerusakan. Demokrasi lahir dari akidah sekuler yang memisahkan agama dari negara. Demokrasi secara riil dalam arti sebenarnya tidak pernah sekalipun dan tidak mungkin diterapkan di manapun di dunia. 

Berbeda dengan demokrasi, politik dalam Islam memiliki konsep dan dasar yang jelas, telah terbukti keunggulannya. Politik atau siyasah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Islam telah menetapkan asas bagi sistem politiknya, yang terdiri dari empat macam, yaitu a) kedaulatan di tangan syara’, b) kekuasaan di tangan ummat, c) pengangkatan khalifah untuk seluruh kaum muslimin hukumnya wajib, serta d) Khalifahlah satu-satunya yang berhak untuk mengadopsi hukum syara’ untuk dijadikan undang-undang. Jika salah satu dari keempat asas ini tidak ada, maka politik Islam akan hancur. Karena itu, keempat asas tersebut harus ada dalam sistem politik Islam. Bentuk negara dalam Islam juga khas, tidak mirip dengan bentuk negara manapun di dunia, yakni khilafah. Keberadaan majelis ummat dan partai politik di dalamnya adalah sebagai fungsi kontrol bagi khalifah. Bukan menjadi kendaraan untuk menguasai pemerintahan maupun meraup keuntungan pribadi.





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar