Anggaran Pendidikan Dianggap Beban, Bagaimana Bonus Demografi Bisa Digapai?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Masih ingat saat peluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mewujudkan visi “Indonesia Emas 2045” oleh Presiden RI Joko Widodo didampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Djakarta Theater, Jakarta, Kamis, 15 Juni 2023? Hal ini berkaitan dengan bonus demografi yang akan diperoleh Indonesia. Bonus demografi, menunjukkan bagaimana 60% penduduk Indonesia dalam dua dekade ini menjadi tenaga usia produktif yang siap mengembangkan inovasi-inovasi baru, bagi kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. 

Sayangnya, itu hanya sebuah cita-cita atau lebih tepatnya harapan palsu atas sekedar janji semu sebab tidak dibarengi dengan usaha untuk menggapainya. Setahun berlalu saat janji manis diucapkan, sebuah wacana berbahaya datang dari pemerintah di ujung kekuasaan Presiden Jokowi. Pemerintah akan mengubah alokasi wajib anggaran pendidikan dari berbasis belanja negara menjadi berbasis pendapatan negara. Pemerintah berargumen bahwa ketentuan anggaran pendidikan 20% dari APBN yang mengacu ke belanja negara yang cenderung fluktuatif telah menyulitkan pengelolaan keuangan negara. Ketika terjadi guncangan eksternal yang membuat belanja negara membengkak, seperti kenaikan subsidi energi akibat kenaikan harga minyak dunia, anggaran pendidikan harus naik demi mematuhi ketentuan minimal 20% dari APBN. Selain anggaran pendidikan akan sulit dibelanjakan secara efektif dalam waktu singkat, hal ini juga akan menyulitkan pemerintah yang harus menjaga defisit anggaran agar tetap di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). (kompas, 16/9/2024).

Wacana ini mencuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan basis 20% mandatory spending dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Usulan ini pun tentunya berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (mengacu pada belanja negara) dapat turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (mengacu pada penerimaan negara).

Motif mewacanakan mandatory spending berdasarkan pendapatan adalah akibat kondisi fiskal yang tertekan oleh utang yang menggunung, bukan berdasarkan kepentingan pendidikan itu sendiri. Wacana ini juga dipicu oleh kebutuhan pemerintah mendatang yang telah berjanji untuk menyediakan makan bergizi gratis (MBG) yang terdapat dalam fungsi pendidikan sebesar Rp722,6 triliun. Seharusnya, dana tersebut dialokasikan untuk gaji guru honorer dan pembangunan fasilitas belajar yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, agar lebih bermanfaat.

Menilik dari UUD negara ini, wacana tersebut melanggar Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Jika dengan skema anggaran 20% saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis atau murah, adil dan merata apalagi jika anggarannya dikurangi. Jika dinilai tidak tepat sasaran atau bahkan berpotensi dikorupsi, tentu harus ada penyelesaian khusus pada problem ini dengan memperbaiki efektivitas program. Bukan malah mengurangi anggarannya. 

Salah satu bukti ketakefektifan anggaran pendidikan saat ini adalah tidak terserapnya anggaran pendidikan hingga Rp111 triliun atau hanya terserap sebesar 16% dari pagu APBN 2023. Padahal, masalah pendidikan akibat kurangnya biaya masih menjadi pekerjaan rumah, seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin tidak terjangkau, gedung sekolah yang rusak, dan nasib guru honorer yang digaji tidak memadai.

Andai saja Rp111 triliun itu dapat terserap dengan baik, masalah-masalah tersebut mungkin bisa berkurang. Belum lagi, korupsi dan anggaran tidak efektif lainnya seperti perjalanan dinas dan penyelenggaraan rapat di hotel mewah seharusnya dihindari mengingat dana pendidikan yang terbatas.

Seharusnya pemerintah meletakkan kekuasaan penuh terhadap guru untuk menyusun kurikulum serta mengevaluasi. Untuk mencapai generasi emas Indonesia maka diperlukan juga Usaha meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia seperti: meningkatkan anggaran pendidikan, memperbaiki manajemen pengelolaan pendidikan, membebaskan sekolah dari suasana bisnis, memperbaikan kurikulum, menguatkan pendidikan agama dan pendidikan yang melatih kesadaran kritis, serta pemberdayaan guru.

Sayangnya, negara ini mengadopsi sistem sekular kapitalisme yang jauh dari paradigma mengayomi dan menjadi perisai bagi rakyat. Wakil rakyat tidaklah berfungsi sebagai abdi rakyat yang senantiasa mengabdi kepada rakyat sebagai majikan/atasannya. Wakil rakyat dalam sistem ini benar-benar wakil yang mewakili kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat sehingga hanya penderitaan dan kesengsaraanlah yang dirasakan rakyat sebab untuk dua hal ini mereka enggan mewakili. Demikian pula pada aspek pendidikan. Seharusnya menjadi kewajiban negara dalam penyelenggaraannya, namun diperjualbelikan demi mendapatkan keuntungan. 

Berbeda dengan Islam, Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Pembiayaan pendidikan tidak didasarkan pada pendapatan atau belanja negara, melainkan pada kebutuhan pendidikan itu sendiri. Pembahasan anggaran fokus pada kemaslahatan umat, bukan semata kemudahan perhitungan apalagi berdasarkan kepentingan penguasa. Seluruhnya akan ditanggung negara tanpa ada campur tangan pihak lainnya. 

Negara yang memakai sistem Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Pembiayaan pendidikan akan diambil dari salah satu pos pemasukan Baitul Mal. Terlebih di negeri yang kaya akan SDA, regulasi kepemilikan dalam Islam mengharamkan pihak swasta memiliki dan mengelola SDA sehingga pemerintah akan mandiri mengelola SDA tersebut. Inilah yang akan menjadi pemasukan utama baitulmal dan menjadi bekal untuk terwujudnya sistem pendidikan terbaik dan berkualitas. 

Dengan kas negara yang memadai, negara dapat mengelola pendidikan secara mandiri, sehingga pendidikan bisa tersedia secara murah atau bahkan gratis. Individu juga bisa berkontribusi dalam pembangunan pendidikan dengan dorongan keimanan, dengan syarat seluruh pengelolaan pendidikannya tetap berada di bawah kontrol negara. Demikianlah sistem Islam menjadikan rahmat bagi seluruh alam. Negara akan berupaya untuk menyediakan anggaran pendidikan dengan optimal. Bukan hanya pendidikan, seluruh kebutuhan umat bahkan akan terpenuhi dengan layak. Mari bersama-sama kita sambut bonus demografi dengan menerapkan sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar