Oleh : Ai Sopiah
Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga, kebijakan pemberian tunjungan perumahan Anggota DPR Periode 2024 s.d. 2029 tidak memiliki perencanaan mengingat besarnya pemborosan anggaran atas tunjangan tersebut. Peneliti ICW Seira Tamara mengatakan, total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Karenanya, ia menduga kebijakan tunjangan tersebut hanya untuk memperkaya Anggota DPR. "ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik," kata Seira dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/10/2024).
Seira mengatakan, pemborosan anggaran didapat dengan membandingkan antara pola belanja untuk pengelolaan Rumah Jabatan Anggota (RJA) pada periode 2019 s.d. 2024 dengan penghitungan tunjangan perumahan bagi anggota DPR selama satu periode. (Kompas online. 12/10/2024).
Fakta miris lainnya, menurut catatan Pinhome dan YouGov (2024), sekitar 41 juta generasi sandwich Indonesia, baik yang vertikal (menopang anak dan orang tua) maupun horizontal (menopang orang tua dan saudara), tercatat tidak memiliki rumah. Banyaknya juga diluaran sana orang yang memiliki rumah yang sudah rusak dan tidak layak pakai padahal tunjangan perumahan yang akan diberikan kepada DPR bisa diberikan terlebih dahulu kepada yang sangat membutuhkan untuk rakyat. Juga tingginya harga rumah berikut kebutuhan hidup lainnya menjadi alasan mereka kesulitan untuk mempunyai hunian. Cita-cita mereka untuk memiliki rumah terkendala oleh kebutuhan keluarga sebesar 49% dan stabilitas ekonomi 48%.
Mencermati ini semua, pengalihan fasilitas rumah dinas anggota dewan menjadi pemberian uang tunjangan rumah dinas itu adalah kebijakan yang kontraproduktif dengan realitas pahit banyaknya tunawisma di luar megahnya gedung wakil rakyat, apalagi rakyat secara umum juga sedang mengalami berbagai kesulitan hidup. Di sisi lain, para anggota dewan juga nantinya mendapatkan fasilitas rumah dinas di IKN. Dengan kata lain, tunjangan tersebut tentu saja tidak pantas diberikan, tetapi diwajarkan dalam demokrasi mengatasnamakan “wakil rakyat”.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para anggota dewan dalam sistem demokrasi bekerja hanya demi uang, fasilitas, dan tunjangan. Ini semua merupakan konsekuensi logis atas politik transaksional yang menjadi mahar dalam rangka mengantarkan mereka mencapai kursi di Senayan. Belum lagi maraknya politik dinasti di sana yang jelas-jelas meningkatkan potensi bancakan uang negara. Lagi-lagi rakyat hanya sekadar penggembira dalam ajang pesta demokrasi, alih-alih menjadi perhatian utama dalam masa jabatan para anggota dewan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, Islam sebagai ideologi sempurna yang telah mewajibkan negara (Khilafah) melindungi kebutuhan rakyat dan menjamin kehidupan mereka. Rakyat adalah amanah. Mereka layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. Rasulullah Saw. bersabda,
الإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Imam (Khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).
Dahulu Rasulullah Saw. sebagai kepala Negara Islam di Madinah, juga Khulafaurasyidin, selain menerapkan hukum-hukum Allah SWT. juga diperintahkan untuk menjaga hak-hak kaum muslim beserta seluruh rakyat untuk menjamin kebutuhan hidup mereka.
Begitupun wakil rakyat sejatinya memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam Khilafah terdapat struktur bernama Majelis Umat, yaitu majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat serta menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan.
Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah Saw. yang sering meminta pendapat/bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum muhajirin dan anshar yang mewakili kaum mereka. Ada orang-orang tertentu di antara para sahabat yang Rasulullah meminta masukan dari mereka, di antaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah. Kaum muslim pun melanjutkan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa khulafaurasyidin dan para Khalifah setelahnya.
Rasulullah Saw. tidak memilih orang yang menjadi rujukan beliau dalam masalah pendapat berdasarkan asas kemampuan, kapabilitas, dan kepribadian mereka, melainkan berdasarkan dua asas. Pertama, mereka adalah para pemimpin kelompok mereka, tanpa memandang kapasitas dan kemampuan mereka. Kedua, mereka adalah representasi dari kaum muhajirin dan anshar.
Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukkan. Mereka adalah wakil-wakil masyarakat dalam mengemukakan pendapat serta menjadi representasi masyarakat, baik individu maupun kelompok, dalam mengemukakan pendapat. Kalangan nonmuslim yang menjadi warga Khilafah boleh menjadi anggota Majelis Umat. Hal itu dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, keburukan penerapan Islam terhadap mereka, juga dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan publik bagi mereka, dan yang semisalnya.
Posisi Majelis Umat ini jelas berbeda secara diametral dengan para wakil rakyat di dalam sistem demokrasi. Ini terlihat jelas dari peran mereka. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat memiliki peran untuk melegislasi hukum perundang-undangan dan menetapkan anggaran. Fungsi ini tidak terdapat dalam Majelis Umat. Mereka mewakili umat murni dalam rangka melakukan muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-hukkam) serta syura (musyawarah). Jika ada legislasi hukum, itu adalah wewenang Khalifah selaku kepala negara, melalui adanya ijtihad dan dalam konteks tabani (adopsi) hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan penetapan anggaran negara juga merupakan wewenang khalifah yang berada dalam pengelolaan baitulmal.
Satu hal yang harus kita ingat, anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Jika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan yang jumlahnya fantastis. Demikian halnya jika ada dari mereka yang mendapatkan fasilitas dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga.
Jika kita mencermati gambaran para anggota Majelis Umat pada masa peradaban Islam, sungguh motivasi mereka untuk mewakili rakyat/warganya sangat jauh berbeda dengan para anggota dewan saat ini. Anggota Majelis Umat berperan mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena hal itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa maupun memperkaya diri.
Sebaliknya, upaya untuk riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat) begitu kuat di dalam Khilafah. Demikian halnya motivasi untuk muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Ini semua karena landasannya adalah amar makruf nahi mungkar sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan dalam konteks pelaksanaan dan penerapan syariat Islam kaffah. Sungguh kita merindukan kehidupan yang benar-benar diurusi, untuk itu mari kita kembalikan kehidupan Islam dengan mengkaji Islam kaffah dan memperjuangkannya.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar