Oleh : Wina Apriani
Berbicara rumah adalah tempat tinggal bagi manusia, karena dengan adanya rumah manusia bisa terlindungi dari panas maupun hujan. Persoalan kepemilikan rumah di negeri ini ternyata masih banyak masyarakat yang belum mempunyai rumah. salah satu alasan sulitnya membangun rumah, karena masyarakat di negeri ini masih sulit memiliki tanah dan uang untuk membangun sebuah rumah.
Ada juga masyarakat yang bisa membangun rumah mereka termasuk di kategori beruntung, tetapi belakangan saat ini di pemerintah baru saja merilis peraturan yaitu yang membangun rumah dikenai di kenai pajak. Kok bisa rumah dengan biayaya sendiri tapi dikenai pajak, sebelumnya memang terkait pajak ini tahun 2021 pernah dibahas akan kenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP mengatur kenaikan tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya 2,2% menjadi 2,4% per 1 Januari 2025.
Kita ketahui bahwa membangun rumah sendiri adalah kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan tersebut digunakan sendiri atau oleh pihak lain.tapi mengapa saat ini harus dikenai pajak?
Membahas Ketentuan Terkait PPN KMS
Tarif PPN membangun rumah sendiri diatur secara rinci di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Pasal 2 Ayat (2) PMK tersebut menyatakan bahwa PPN terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Kegiatan membangun sendiri yang dimaksud di dalam aturan tersebut mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru.
Tidak semua rumah yang dibangun atau direnovasi sendiri akan dikenakan PPN. Pada Pasal 2 ayat (4) dijelaskan, rumah yang dikenai PPN adalah bangunan yang berdiri di atas bidang tanah dan/atau perairan dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja. Selain itu, bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha dan luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 meter persegi.
Kemudian Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, “Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% dengan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.” Dengan demikian, tarif PPN KMS saat PPN masih 11% yang berlaku saat ini adalah 2,2% dan saat PPN naik menjadi 12% mulai Januari 2025 adalah 2,4%.
Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo menyatakan, PPN KMS bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kemenkeu. Pajak ini sudah ada sejak 1995, yakni diatur di dalam UU 11/1994. Ia menjelaskan bahwa tujuan pengenaan PPN atas KMS adalah agar semua proses pembangunan, baik yang dibantu oleh kontraktor maupun sendiri, mendapatkan tanggungan yang sama. Tujuannya untuk menciptakan keadilan karena kalau membangun rumah dengan kontraktor, terutang PPN, membangun sendiri pada level pengeluaran yang sama mestinya juga diperlakukan sama. Namun demikian, benarkah itu semua adil?
Berbicara problematika Rumah, Akibat Kapitalisme
Rumah merupakan masalah besar yang dihadapi masyarakat saat ini. Banyak sekali orang yang tidak memiliki rumah. Sebagian lagi memiliki rumah, tetapi kondisinya tidak layak. Belum lagi Sulitnya kepemilikan rumah sejatinya akibat distribusi kepemilikan harta yang timpang sehingga segelintir orang bisa punya banyak rumah, sedangkan yang lainnya tidak punya rumah. Tidak hanya rumah, distribusi tanah juga sangat timpang.
Seperti yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah rumah tangga yang belum punya rumah dalam lima tahun terakhir mencapai belasan juta. Mereka tidak tinggal di rumah milik sendiri, melainkan di kontrakan, rumah orang tua, atau menumpang pada keluarga lainnya. Pada 2021 ada 14,3 juta rumah tangga yang tidak tinggal di rumah sendiri. Jumlah itu setara dengan 18,9% dari total rumah tangga di Indonesia yang jumlahnya sekitar 75,6 juta. Jakarta menjadi wilayah dengan tingkat kepemilikan hunian terendah di Indonesia. Data BPS 2022 menunjukkan bahwa hanya 56,13% rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah.
Data tersebut menunjukkan betapa timpangnya kepemilikan rumah di Indonesia. Ketimpangan ini adalah kemerosotan dalam sistem kapitalisme karena kapitalisme menganut liberalisme ekonomi yang melegalkan para pengusaha bermodal besar untuk menguasai tanah seluas-luasnya. Negara bahkan memberikan kemudahan dan insentif pada perusahaan properti sehingga mereka leluasa menguasai tanah seluas apa pun.
Sebaliknya, rakyat kecil kesulitan memiliki rumah. Bagi mereka, membeli satu rumah saja butuh biaya yang sangat besar, begitu juga dengan membangun rumah. Harga tanah dan material seperti semen, batu, bata, pasir, kayu, dan cat melejit tinggi. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menyebabkan harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan yang sangat mahal. Hal ini membuat rakyat kesulitan untuk memiliki rumah.
Sistem ekonomi kapitalisme ini telah gagal menyediakan lapangan kerja dengan upah yang layak bagi masyarakat. Akibatnya, lapangan kerja yang tersedia tidak memungkinkan rakyat untuk bisa membangun rumah yang memadai. Sementara itu, rakyat yang bisa membangun rumah yang layak malah dipajaki tinggi oleh pemerintah.
Dari semua ini tampak jelas bahwa pemerintah tidak berusaha untuk meringankan beban rakyat agar bisa punya rumah. Pemerintah malah makin lepas tangan dari tanggung jawab menyediakan papan (rumah) bagi rakyat, padahal rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara.
Sistem Dzalim
Alih-alih membantu rakyat agar memiliki rumah, pemerintah justru berusaha merogoh dana rakyat dari segala sisi. Selama ini rakyat sudah dikenai PPh, PPN, PBB, PKB, maupun jenis pajak lainnya, tetapi pemerintah masih saja merasa kurang untuk menyedot dana masyarakat sehingga terus melakukan perluasan subjek dan objek pajak demi mengejar target penerimaan negara dari pajak.
Pemerintah sangat getol mengejar pajak sebagai konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Setiap tahun target pajak selalu dinaikkan. Subjek dan objek pajak juga diperluas. Ini artinya rakyat makin diperas untuk membayar pajak.
Sungguh, ironis yang begitu miris negara telah mengambil uang rakyat secara paksa atas nama pajak. Padahal di sisi lain kekayaan alam diserahkan secara gratis pada swasta kapitalis asing. Bahkan para pengusaha besar itu mendapatkan keringanan pajak. Ini jelas-jelas dzalim dan tidak adil. Namun, begitulah akibat penerapan sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat.
Mengenai klaim pemerintah bahwa penerapan PPN KMS untuk mewujudkan keadilan karena orang yang membeli rumah kena pajak, ini juga tidak berdasar. Jika ingin adil, seharusnya negara menyediakan rumah murah bagi rakyat, tanpa pajak pembelian rumah maupun PPN KMS. Itu baru adil karena penyediaan rumah bagi rakyatnya adalah tugas negara. Sayang, jaminan penyediaan rumah tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme. Yang ada, rakyat justru dipalak di berbagai sisi.
Jaminan Perumahan dalam Sistem Islam
Sesungguhnya jaminan penyediaan perumahan hanya ada dalam sistem Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat secara orang per orang. Negara (Khilafah) menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat dengan gaji yang layak sehingga rakyat hidup sejahtera dan bisa membeli sandang, pangan, dan papan.
Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan papan masyarakat dengan membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat untuk memiliki rumah. Kebijakan tersebut antara lain penerapan sistem ekonomi Islam yang mewujudkan stabilitas harga rumah, tanah, dan material bahan bangunan sehingga biaya membangun rumah bisa terjangkau oleh rakyat.
Dan Khilafah juga menyediakan rumah subsidi bagi rakyatnya dengan dua model. Pertama, negara menyediakan rumah murah atau bahkan gratis sehingga rakyat mudah untuk memilikinya. Kedua, negara mensubsidi biaya pembangunan rumah sehingga rakyat yang memiliki tanah tidak kesulitan untuk membangun rumah.
Adapun soal tanah, rakyat tidak harus membeli untuk bisa memiliki tanah. Mereka bisa memiliki tanah secara gratis dan sekaligus legal. Hal ini karena Khilafah mempermudah rakyat memiliki tanah dengan penerapan hukum-hukum seputar tanah.
Tidak boleh ada tanah yang telantar, melainkan harus dikelola. Tanah yang telantar lebih dari tiga tahun akan disita negara dan diberikan pada yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu atau ia berikan tanah tersebut kepada orang lain. Jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya.” (HR Bukhari).
Oleh karena itu tidak akan ada orang yang menguasai tanah yang sangat luas, tetapi dibiarkan (ditelantarkan), sedangkan orang lain ada yang membutuhkan tanah, tetapi tidak memilikinya. Aturan ini akan memberikan solusi persoalan ketimpangan pemilikan tanah.
Untuk memiliki tanah pun rakyat tidak harus membeli. Mereka bisa memiliki tanah dengan cara menghidupkan tanah mati. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang, tetapi hanya mengeluarkan tenaga untuk menghidupkan tanah mati. Dari situ mereka memperoleh tanah untuk membangun rumah. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa menghidupkan tanah yang mati maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Bukhari).
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh satu orang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan cara menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apa pun yang bisa menghidupkannya. Dengan adanya upaya seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti upaya seseorang tadi telah menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya.
Dengan kebijakan tersebut, rakyat akan mudah untuk memiliki rumah, baik dengan membeli ataupun membangun sendiri. Jika membeli, harganya murah dan bahkan bisa gratis. Jika membangun sendiri, tanahnya disediakan oleh negara dan bisa diperoleh tanpa mengeluarkan uang, cukup dengan tenaga. Harga material bahan bangunan juga terjangkau karena ada subsidi dari negara. Bahkan negara bisa memberi dana pada rakyat yang membutuhkan untuk membangun rumah.
Adanya kebijakan tadi menunjukkan bahwa sistem islam serius menjamin kepemilikan rumah bagi rakyat. Segala sesuatu yang rakyat butuhkan untuk memiliki rumah dijamin oleh negara. Khilafah leluasa memberi jaminan kepemilikan rumah bagi rakyat karena baitulmal Khilafah memiliki banyak sumber pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum seperti tambang, hasil laut, hasil hutan, dan lainnya.
Pemasukan negara dari kekayaan alam itu sangat besar sehingga mampu mencukupi kebutuhan rakyat, termasuk perumahan. Dengan besarnya pemasukan negara tersebut, negara tidak butuh pajak. Khilafah tidak akan membebani rakyatnya dengan pajak, kecuali pada kondisi tertentu (tidak permanen) dan terbatas pada rakyat yang kaya dari kalangan kaum laki-laki saja. Demikianlah jaminan kesejahteraan dalam Islam Khilafah yang memastikan tiap-tiap rakyat memiliki rumah. Maka sudah saatnya kita mewujudkan sistem Islam secara kaffah. Wallahu alam bi ash shawab []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar