Oleh: Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Anggota DPR RI periode 2024–2029 tidak akan lagi mendapatkan fasilitas rumah dinas atau yang biasa disebut Rumah Jabatan Anggota (RJA). Fasilitas tersebut diganti dengan uang tunjangan rumah dinas atau rumah jabatan yang besarannya sekitar Rp 50 juta per bulan. Hal itu diketahui dari Surat Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor B/733/RT.01/09/2024 perihal penyerahan kembali rumah jabatan anggota. Surat yang ditandatangani pada 25 September 2024 itu memerintahkan anggota DPR yang terpilih maupun yang tidak untuk meninggalkan rumah dinasnya masing-masing. (kompas.com,07/10/2024)
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Seira Tamara memandang kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR Periode 2024-2029 tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Ada pemborosan anggaran sekitar Rp 1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Selain itu, ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik. Peralihan pemberian rumah fisik menjadi tunjangan akan menyulitkan pengawasan atas penggunaan tunjangan tersebut. Terlebih, tunjangan itu akan ditransfer secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. (kompas.com, 11/10/2024)
Kebijakan tersebut merupakan pemborosan dan tentu akan menambah beban anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat. Menjadi hal yang kontraproduktif ketika banyak rakyat yang tidak bisa membeli dan memiliki rumah karena harga rumah yang tinggi. Kebutuhan hidup yang tinggi dan penghasilan minim menjadikan masyarakat kesulitan memiliki rumah. Disamping itu PHK besar-besaran menambah jauhnya angan rakyat akan bisa memiliki rumah. Sementara itu perumahan yang ada untuk anggota dewan tidak lagi difungsikan atau dikosongkan malah diganti dengan uang tunjangan perumahan. Rumah dinas tersebut tentu akan menjadi mubazir.
Kebijakan tersebut juga akan menguntungkan anggota dewan yang sudah memiliki rumah pribadi. Juga bila suami-istri menjadi anggota dewan, tentu akan mendapatkan uang tunjangan perumahan ganda yang akan makin memperkaya mereka. Disisi lain rakyat yang hidupnya sudah susah masih harus dibebani dengan iuran Tapera.
Dalam sistem demokrasi, anggota dewan bekerja hanya demi uang, fasilitas dan tunjangan. Hal tersebut akibat politik transaksional yang diterapkan untuk dapat menjadi anggota dewan. Terlebih lagi kentalnya politik dinasti memperkuat bagi-bagi kue kekuasaan. Urusan rakyat bukan lagi menjadi prioritas.
Dalam sistem pemerintahan Islam, Dewan Perwakilan Rakyat disebut disebut Majelis Umat. Majelis Umat dalam sistem Khilafah memiliki dua peran. Peran pertama adalah menjadi rujukan khalifah dalam meminta nasihat atas berbagai urusan. Dalam hal ini, Majelis Umat memberikan pendapat atau dimintai pendapatnya oleh khalifah dalam berbagai hal praktis terkait dengan pengaturan urusan umat.
Peran kedua adalah mewakili umat dalam memberikan muhasabah lil hukam, yaitu mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Majelis Umat mengontrol dan mengoreksi pelaksanaan tugas dan kebijakan penguasa. Tentu saja yang menjadi standar adalah aturan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunah. Majelis Umat mengingatkan penguasa apabila mereka melanggar hak rakyat, melalaikan kewajibannya terhadap rakyat, menyalahi hukum Islam, atau menggunakan hukum selain yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Anggota Majelis Umat mengabdikan hidupnya untuk beramal saleh dan menjaga tegaknya aturan Allah. Kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di akhirat akan menjadi benteng penjaga para anggota Majelis Umat agar selalu berada dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Keberadaan Majelis Umat sebagaimana dalam tuntunan Islam akan menjaga tegaknya aturan Allah dan Rasul-Nya, dan menjadikan pengurusan rakyat sebagai prioritas dapat berjalan dengan semestinya.
Dengan demikian, tidak ada gambaran wakil rakyat sebagaimana hari ini, apalagi politik dinasti untuk kepentingan individu dan partai yang bersifat duniawi.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar