Emas Indonesia Digasak Warganegara Cina, Kok Bisa?


Oleh : vieDihardjo (Alumnus Hubungan Internasional) 

Seorang warganegara Cina berinisial YH terendus melakukan penambangan emas illegal di wilayah Ketapang, Kalimatan Barat sejak Mei 2024. Terungkap dalam penyelidikan, YH telah menjual sebanyak 774,74 kg emas dan 937,7 kg perak (www.money.kompas.com 27/9/2024). Ditaksir kerugian negara mencapai 1.020 trilliun. Diduga YH mengkoordinir 80 tenaga kerja asing (TKA) Cina dan dibantu oleh beberapa warga lokal untuk kegiatan non inti, seperti pemompaan, house keeping dan katering. Modus operandi YH adalah mencuri dari kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik dua perusahaan yaitu PT. BRT dan PT.SPM yang sedang dalam pemeliharaan (belum dieksploitasi) karena menunggu persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2024-2026 dari pemerintah. 

Di kawasan IUP PT.BRT dan PT.SPM itulah YH menggasak emas dengan menggali lubang (tunnel)sepanjang 1.648,3 meter dengan volume 4.467,2 m3. Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Direktorat Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi menceritakan ‘Kegiatan di tunnel (lubang tambang dalam) itu dengan blasting atau pembongkaran dengan menggunakan bahan peledak, kemudian mengolah dan memurnikan bijih emas. Hasil pekerjaan itu dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore bullion (olahan dari bijih emas). (www.money.kompas.com 27/9/2024)

YH dan komplotannya dituntut sanksi pidana selama 5 tahun penjara dan denda 50 milliar, subsider 6 bulan kurungan. Apakah sanksi ini sepadan dengan kerugian yang telah ditimbulkan oleh YH dan komplotannya? Dirjen Minerba dan Batubara menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan didalam tunnel (underground mining) menggunakan bahan peledak untuk mencerai-beraikan bijih emas lalu dimurnikan dengan merkuri didalam tanah. Sementara penggunaan merkuri untuk pengolahan emas sangat berbahaya bagi lingkungan, jika sisa buangan merkuri tersebut mengenai media air, tanah dan udara, zat tersebut akan mencemari medianya. Misalnya tanaman, biota laut seperti ikan yang menjadi bagian dari rantai makanan manusia. 

Banyak spekulasi berkembang, bagaimana bisa seorang WNA bisa mencuri emas Indonesia sebanyak itu? Apakah tuntutan sanksi yang dikenakan sepadan dengan kejahatan yang dilakukan? 


Pengelolaan Sumber Daya Alam Kapitalistik Melahirkan Banyak Bahaya!

Pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan pada individu atau sekelompok orang yang memiliki modal adalah aturan yang dilahirkan oleh sistem kapitalistik, negara hanya sebagai regulator yang membuat aturan agar para kelompok pemilik modal ‘aman’ mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam. Karena pemilik modal diberi hak untuk mengelola sumberdaya alam maka lahirlah banyak kegitan pertambangan illegal atau pertambangan tanpa izin (PETI). Berdasarkan data Ditjen Minerba Kementerian ESDM, hingga kuartal III 2021 PETI mencapai 2.700 lokasi. YH dan komplotannya masuk dalam pertambangan tanpa izin karena melakukan penambangan (produksi) di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang masih dalam fase pemeliharaan milik orang lain (PT.BRT dan PT.SPM).

Pakar hukum pertambangan. Ahmad Redi menyatakan bahwa maraknya pertambangan illegal (PETI) karena nilai ekonomi yang bisa didapatkan oleh masyarakat dan banyak masyarakat yang menggantungkan mata percahariannya pada kegiatan penambangan, terutama di wilayah-wilayah yang ditemukan potensi sumberdaya mineral. Sementara pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa ‘bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’. Negaralah yang diberi amanah untuk megelola sumberdaya alam, jadi keliru jika negara hanya mengambil posisi sebagai regulator bagi para pemilik modal. Solusi menertibkan PETI (Pertambangan Tanpa Izin) bukan dengan menertibkan perda tentang pertambangan rakyat tetapi kemballi kepada aturan yang mengembalikan negara pada fungsinya sebagai pengelola sumberdaya alam dan menggunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. 

Selama pengelolaan sumberdaya alam dikelola dengan sistem kapitalistik maka eksploitasi tambang oleh para pemilik modal sulit dihapuskan sebagaimana Sosiolog Prancis, Henri Lefebvre, dalam teorinya yang terkenal di antara para pengkritik ideologi kapitalisme, yaitu teori “La production de l’espace”4 atau teori produksi ruang, mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya agar tak hancur seperti yang diramalkan Karl Marx, adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global.

Jika negara terus memfasilitasi para pemilik modal bersatu dalam oligarki maka akan semakin banyak bahaya yang terus terjadi. Pertama, konflik antara rakyat dengan oligarki pengelola tambang yang akan bereskalasi menjadi konflik kekerasan. Tetapi, justru dalam Undang-Undang Minerba No.3 tahun 2020 menghapuskan tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum dan difokuskan pada individua atau perorangan, Kedua, terjadi statecaptured corruption, yaitu berkuasanya oligarki atas birokrasi negara. Pengelolaan sumberdaya alam yang dikelola oleh perorangan atau sekelompok orang adalah salah satu peluang besar terjadinya tindak kejahatan korupsi, jual beli perizinan pertambangan menjadi satu peluang terjadinya potensi korupsi, Ketiga, terjadi kesenjangan ekonomi yang luas biasa anatara si kaya dan si miskin karena si kaya (pemilik modal) mampu menguasai aset-aset dengan uangnya yang sebetulnya itu adalah kepemilikan umum yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh semua rakyat. 


Sistem Islam Mengatur Pengelolaan Sumber Daya Alam 

Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud). 

Menurut Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisî, bahan-bahan galian tambang, beserta hasil usaha pertambangan yang didambakan dan dimanfaatkan oleh manusia tanpa banyak biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya). Bahan-bahan tersebut menjadi milik seluruh kaum Muslim. Bahan galian tambang menjadi perhatian dalam Al qur’an dan hadist, karena penting, mineral dan beberapa jenis tambang yang depositnya cukup banyak menjadi kepemilikan umum dan wajib dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada individu ataupun kelompok. 

Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warganegara semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. 

Pengaturan kepemilikan didalam islam sangat jelas. Pengaturan ini menjadi solusi terhadap potensi konflik yang akan terjadi dan potensi kerusakan tambang yang merugikan bagi lingkungan dan rakyat. 

Kepemilikan dibagi menjadi, 
Pertama, kepemilikan individu (private property). Kedua, kepemilikan umum (collective property). Ketiga kepemilikan negara (state property). Dari ketiga bentuk kepemilikan tersebut, bahan galian tambang adalah merupakan hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu/korporasi.
Suatu hari Rasulullah saw didatangi oleh Abyadh bin Hammal, salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari wilayah di pedalaman Yaman yang disebut dengan Ma`rib. Pada pertemuan tersebut, ia meminta untuk dipatenkan baginya hak milik tanah di wilayah Ma`rib tersebut, dan Rasulullah menetapkan untuk Abyadh. Selang beberapa waktu kemudian, ada seseorang mendatangi Rasulullah, Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi, sosok sahabat yang terhormat dari kalangan Bani Tamim dan berkata “Wahai Rasul, tahukah tanah jenis apa yang telah engkau tetapkan untuk Abyadh? Aku pernah melewati tambang garam pada masa jahiliyah dulu. Tambang tersebut terdapat di suatu daerah yang tidak berair. Siapa pun yang mendatanginya, ia bebas untuk mengambilnya, ia layaknya air yang mengalir tak terbatas. Sungguh engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam. ” Mengetahui kabar tersebut, Rasulullah saw menganulir kepemilikan tanah yang telah ia tetapkan atas Abyadh bin Hammal.

Selain pengaturan kepemilikan, negara juga mengatur pemanfaatan kepemilikan umum (collective property), 
Pertama, sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat, misalnya, padang rumput, api, air, sungai, laut, samudra, jalan umum, dan sebagainya. Negara mengawasi penggunaannya agar tidak terjadi perselisihan antar masyarakat tetapi kemaslahatan yang dapat dimanfaatkan bersama. 
Kedua, sumberdaya alam yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat karena membutuhkan teknologi tinggi, keahlian atau kepakaran dan biaya besar untuk mengelolanya, maka negaralah yang mengelola, bisa jadi dengan menyewa atau membayar teknologi atau tenaga ahli kemudian hasil pengelolaannya dimasukkan ke Baitul mal. Khalifah berhak menggunakan dan menditribukan hasil pengelolaan tersebut berdasarkan ijtihadnya untuk kemashlatan rakyat. 

Pengaturan, pngelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dengan sistem islam akan mendatangkan ridho Allah dan menghilangkan bahaya-bahaya yang akan muncul akibat pengelolaan berbasis sistem kapitalistik. Institusi yang dapat menerapkan aturan islam adalah institusi Khilafah’ala minhajin nubuwwah.

Wallahu’alam bisshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar