Gelombang PHK Indikator Gagalnya Sistem Kapitalisme Dalam Menjamin Kesejahteraan Pekerja


Oleh : Ressy Nisia (Pemerhati Pendidikan dan Keluarga)

Dilansir dari data Kemenaker, sebagaimana dikutip Kontan, pada September 2024, tercatat ada tambahan jumlah korban PHK sebanyak 6.753 orang. Sehingga, bila dalam rentang waktu Januari hingga September total pekerja yang terkena PHK mencapai 52.933 orang.

"Total PHK per 26 September 2024 52.993 tenaga kerja, meningkat (dibanding periode yang sama tahun lalu),” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Indah Anggoro Putri, dalam keterangannya pada Minggu (29/9/2024).

Apabila diurutkan berdasarkan sektornya, kasus PHK terbanyak berasal dari sektor pengolahan yang mencapai 24.013 kasus, disusul sektor jasa 12.853 kasus dan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan  mencapai 3.997 kasus.

Provinsi yang menyumbang jumlah PHK terbanyak yaitu Jawa Tengah 14.767 orang, Banten 9.114 orang dan DK Jakarta 7.469 orang.

Gelombang PHK memberikan dampak yang luar biasa dalam bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat dan peningkatan jumlah pengangguran. Peningkatan jumlah pengangguran secara otomatis akan berdampak kepada krisis ekonomi bagi banyak individu dan keluarga sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.


UU Cipta Kerja dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme

Badai PHK yang terjadi secara kontinu dan berkesinambungan dapat mengancam kelangsungan hidup para pekerja. Tidak adanya jaminan dan perlindungan para pekerja dari perusahaan tempatnya bekerja membuat para pekerja bisa kehilangan pekerjaan kapan saja.

UU Cipta Kerja 2023 atau Omnibus Law yang ditetapkan pemerintah dan digadang-gadang akan mendongkrak peningkatan investasi serta pengingkatan jumlah PDB agar Indonesia menjadi negara maju, pada faktanya memberikan karpet merah bagi para investor asing dan aseng melalui FDI (Foreign Direct Investment). Akibatnya rakyat terpinggirkan dan hanya menjadi buruh di negerinya sendiri.

Alih-alih memberikan angin segar dengan terbukanya lapangan kerja dan kesempatan kerja, beberapa pasal dalam Omnibus Law ini dinilai menguntungkan para kapitalis (pemilik modal) dan tidak pro pekerja. 

Pada Pasal 64, adanya ketentuan tenaga alih daya atau outsourcing, ketetapan tersebut dikhawatirkan kalangan kelas pekerja yang akan menjadi buruh kontrak selamanya. Berikutnya Pasal 79, cuti dan waktu istirahat yang diberikan perusahaan hanya istirahat antar jam kerja, cuti mingguan dan cuti tahunan, sementara istirahat panjang menjadi pilihan perusahaan atau tidak wajib. Adapun Pasal 88, terkait upah minimum, adanya klausul baru ketentuan upah minimum berdasar “indeks tertentu” dinilai condong terhadap perusahan, yang mana dalam kondisi krisis, perusahaan yang tidak mampu boleh memberikan upah "seadanya" bagi pekerja.

Substansi makro dari Omnibus Law terkesan memberi keuntungan pada kepentingan kapitalis (pemilik modal) seperti misalnya peningkatan ekosistem investasi secara bebas, pemberian berbagai fasilitas bagi para investor di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta Klaster Investasi Pusat dengan adanya pelepasan BUMN menjadi Lembaga Pusat Investasi (LPI) yang berdampak terbentuknya negara Oligarki-Korporasi yang membentuk berbagai instrument UU yang sekuler-liberal-represif.

Dalam substansi meso-mikro, Omnibus Law ini meminggirkan kepentingan kelompok rentan (buruh, petani dan masyarakat adat) hingga berdampak peningkatan potensi pemiskinan individu dalam jangka panjang sekaligus menjadi indikator nihilnya Pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam sistem Kapitalisme, kaum buruh atau pekerja merupakan salah satu komponen produksi yang harus diminimalisir pengeluaranya untuk menghemat ongkos produksi. Di sisi lain, buruh merupakan faktor produksi yang harus dimaksimalkan demi tercapainya target produksi.

Sistem Kapitalisme menekankan pada kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar bebas, dan minimnya intervensi negara dalam kegiatan ekonomi. Sehingga individu atau swasta bebas "bermain" dalam ranah tersebut.

Dalam sistem Kapitalisme, negara abai terhadap kesejahteraan dan kepentingan pekerja. Membebani perusahaan akan hak-hak pekerja yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Misalnya jaminan kesehatan pekerja, dan lainnya. Di sisi lain, perusahaan memiliki kebebasan penuh untuk mengelola tenaga kerja, menetapkan kebijakan perekrutan dan menentukan PHK berdasarkan kebutuhan bisnis dan keuntungan, bukan berdasarkan jaminan kesejahteraan tenaga kerja. Perusahaan berorientasi pada efisiensi dan keuntungan sehingga cenderung melakukan PHK kepada pekerja ketika ekonomi sedang tidak baik, permintaan menurun atau menggantikan tenaga kerja manusia dengan teknologi mesin. Tujuannya untuk mengurangi pengeluaran dan biaya produksi.


Sistem Ekonomi Islam sebagai Solusi

Dalam sistem Islam, gelombang PHK harus diselesaikan secara mendasar dan fundamental, karena hal ini berkaitan dengan kesejahteraan pekerja dalam pemenuhan semua kebutuhannya.

Pertama, Islam membagi kepemilikan menjadi 3, yaitu kepemilikan umum, kepemilikan individu dan kepemilikan negara. Dengan kejelasan kepemilikan, kepemilikan umum akan dikelola oleh negara untuk kemashlahatan rakyat, tidak diserahkan pada individu atau swasta. Dengan aturan ini, negara akan membangun industri strategis semisal pengilangan minyak, tambang, alutsista, pertanian dan sebagainya sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Tentunya dengan pembekalan peningkatan keterampilan dan kemampuan.

Kedua, negara akan memberikan modal atau insentif bagi rakyat agar rakyat bisa memulai usaha. Negara akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan sebagai bekal bagi rakyat agar mampu bekerja dalam berbagai industri dan pekerjaan sehingga tidak ada rakyat yang menganggur.

Ketiga, menetapkan standar gaji berdasarkan manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan biaya hidup (living cost) terendah. Dengan begitu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan.

Jika terjadi perselisihan antara buruh dan majikan dalam menetapkan upah, pakar (khubara’) yang dipilih dari kedua belah pihak akan menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, negara memilihkan pakar dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan upah minimum regional (UMR). Penetapan UMR tidak diperbolehkan karena dianalogikan pada larangan penetapan harga. Harga maupun upah sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Hanya saja, harga adalah kompensasi atas barang, sedangkan upah merupakan kompensasi atas jasa.

Demikianlah sistem Islam mengatasi masalah PHK dengan baik dan tepat melalui penerapan Islam secara kaffah. Sebaik-baik aturan adalah aturan dari Sang Pencipta, maka solusi tuntas atas setiap persoalan harus dikembalikan pada aturan Sang Pencipta, Alloh swt.

Wallahu a’lam bisshawaab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar