Oleh: Poppy Agita
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z. Dengan kehadiran teknologi digital, terutama media sosial, kecenderungan untuk merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam kegiatan yang dianggap penting menjadi semakin nyata.
Pengaruh dari media sosial memainkan peranan penting mendorong seseorang bersikap fomo merasa tidak ingin ketinggalan dan selalu ingin mendapatkan pengalaman baru seperti orang lain.
Menurut Pengamat Sosial Devie Rahmawati, FOMO dapat menyebabkan dampak buruk. “Kalau kemudian, untuk mengejar perhatian dia menggunakan segala cara yg termasuk menggadaikan kehormatan. Itu menjadi masalah,” ujarnya ketika diwawancarai Kompas.com, belum lama ini. Di mana seseorang yg FOMO dapat menggadaikan harga dirinya, keluarganya, juga bangsanya untuk mendapatkan hal yg sedang tren, (Kompas.com, 21/09/2024).
Gaya hidup FOMO terus menggejala sebab munculnya dari gaya hidup sistem liberal kapitalis. Gaya hidup ini membuat gen Z bergaya hidup bebas, narsistik, hedonistik dan konsumerisme. Membuat gen Z tersibukkan dengan kesenangan sesaat yg mendominasi dan menjadi prioritas utama.
Gaya hidup FOMO ini kerap memicu perilaku konsumtif sehingga membuat gen z senang belanja melebihi dari kemampuan financialnya.
Fenomena pembelian boneka viral dengan gaya hidup konsumerisme mendorong individu untuk mengidentifikasi diri melalui barang yang dibeli. Produk-produk konsumer dapat menjadi simbol status dan tren yang memberikan nilai tambah bagi pemiliknya.
Sistem ini telah menciptakan standar sosial yang berorientasi pada kemewahan materi. Kondisi ini membuat gen Z berlomba-lomba untuk mengejar kebahagiaan yang bersifat semata. Tujuannya tidak lain untuk mendapatkan pengakuan di tengah masyarakat. Akhirnya, membuat dirinya merasa lebih menonjol dari orang lain sehingga muncul perilaku narsistik.
Fenomena FOMO ini akhirnya memicu pengabaian potensi gen Z untuk berprestasi dan berkaya juga menghalangi potensinya sebagai agen perubahan kebaikan. Apalagi regulasi dalam sistem hari ini tidak memberikan perlindungan bagi gen Z. Namun justru menjerumuskan gen Z pada lingkaran materialistik melalui sosial media yang menciptakan gaya hidup FOMO.
Islam memandang bahwa generasi merupakan potensi besar dan kekuatan yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan. Berada pada usia produktif menjadikan para gen Z memegang peranan penting dalam menciptakan model masyarakat yang tidak hanya sibuk perkara duniawi saja sebaliknya gen Z memiliki kontribusi besar mengarahkan masyarakat untuk memahami pentingnya dimensi ukhrawi dalam menjalani kehidupan.
“Tidaklah pada tempatnya memperbaiki generasi muda hanya dengan perbaikan akhlak, alih-alih revolusi mental. Justru hal ini butuh revolusi ideologis dan politis berdasarkan Islam, sebagai konter terhadap arus deras penyesatan generasi muda dari potensi besarnya.” mengutip pesan Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan Al-Hakim.
“Dari Ibnu Abbas, manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang kematianmu”.
Sudah seharusnya gen Z terfokus untuk memaksimalkan potensin yang dimilikinya untuk membangun kembali peradaban Islam dan Islam memiliki sistem terbaik untuk melejitkan potensi gen Z, mengarahkan hidupnya sesuai denga tujuan penciptaan dan mempersembahkan karya terbaik untuk umat Islam. Potensi ini dibutuhkan untuk membangun kembali peradaban gemilang Islam yang pernah di dapat umat Islam sebelumnya.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar