Oleh : Ulianafia (Pemerhati Politik)
Kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang diungkap Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara fantastis Rp 217 triliun, kini muncul kasus baru. Kasus baru tersebut adalah pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp 300 triliun. (CNBCindonesia, 12/10/2024)
Terkuat adanya kebocoran anggaran negara akibat pengemplang pajak ini merupakan akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak. Kondisi ini menjadi bukti bahwa negara memberi keistimewaan pada pengusaha. Ini menambah daftar kebijakan negara yang cenderung bersikap lunak terhadap para pengusaha. Dengan berbagai program keringanan pajak, seperti teks holiday, amnesti dan lain-lain.
Hal ini berbeda dengan kebijakan pajak atas rakyat, di mana rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak dan terus mengalami kenaikan. Rakyatpun terus di jejali dengan slogan, "Orang bijak taat bayar pajak". Sehingga penerapan kebijakan yang berbeda antara perusahaan dan individu ini -terlepas dari pandangan atas hukum pajak- jelas sewenang-wenang dan menzalimi rakyat.
Pajak Tumpuan Pendapatan
Pajak memang terus digenjot oleh pemerintah dengan berbagai langkah termasuk sanksi bagi yang tidak bayar pajak. Hal ini tiada lain karena sistem kapitalisme yang diterapkan lebih dari seabad lamanya di negeri ini. Kapitalisme menjadikan pendapatan negara hanya tergantung pada pajak dan utang. Maka, tiada jalan lain untuk meningkatkan pendapatan negara kecuali dengan meningkatkan pajak dan ditutup dengan utang.
Padahal, kedua hal ini jelas-jelas sangat menrugikan dan menyengsarakan rakyat. Meski pajak yang diwajibkan atas rakyat, digadang-gadang untuk pembangunan infrastruktur bagi rakyat. Namun faktanya, berbagai pembangunan yang ada justru merugikan rakyat. Seperti pembanguan jalan tol misalnya. Dimana sebagian rakyat harus kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran paksa. Belum lagi rakyat tetap harus membayar mahal atas fasilitas tol yang ia gunakan di negeri sendiri. Ditambah harus bayar pajak tiap tahunnya serta harus menanggung utang negara atas investasi yang tentunya berbunga tinggi.
Lain lagi bagi rakyat yang tidak menggunakan fasilitas jalan tol. Rakyat sudah tidak menggunakan fasilitas, namun harus tetap bayar pajak ditambah tanggungan hutang dipundaknya yang belum tentu sampai anak buyutnya mampu terlunasi. Hal ini berbeda dengan para investornya, bagaimana keuntungan akan terus menerus didapatkan dari penarikan uang pengguna jalan selama tol itu tetap beroperasi.
Belum lagi berbagai proyek-proyek yang di klaim sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang mangkrak. Yang mana diperkirakan ada 58 PSN yang terancam mangkrak per Juli 2023. Yang akhirnya beralih ke dalam skema normal dalam arti tidak lagi jadi daftar PSN. Seperti, MRT Fase II, Kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, Pelabuhan Ambon, Tol Trans Sumatra tahap II, Tol Bocimi hingga Sukabumi, dan lainnya. Hal ini tentu hanya menambah beban berat bagi rakyat. Sudah rakyat tidak mendapatkan fasilitas namun beban hutang harus tetap ditanggungnya, akibat mindset penguasa kapitalisme.
Utang dalam sistem kapitalisme memang digunakan sebagai penutup pendapatan negara saat pajak tidak memenuhi APBN. Maka, negara mau tidak mau harus terus meningkat pendapatan pajak, seperti kenaikan PPN menjadi 12% serta objek pajak yang terus dilebarkan. Padahal pendapatan rakyat tidak ada peningkatan, sedangkan kebutuhan hidup semakin mahal, ditambah beban aneka rupa pungutan atas nama asuransi, seperti kenaikan iuran BPJS, Tapera dan lain lain.
Akar Masalah
Kesengsaraan hidup yang demikian sistematis bukan disebabkan oleh miskinnya negara. Melainkan karena sistem kapitalisme menjadikan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator belaka. Sehingga berbagai sumber daya alam (SDA) dan berbagai sektor strategis seperti kebutuhan pokok beras dan minyak, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bisa dikuasai oleh swasta maupun asing, tentunya yang memiliki modal besar. Dari sini makan nampak nyata bahwa kekayaan hanya akan dikuasai oleh para kapital atau pemilik modal. Sedangkan rakyat atau orang-orang miskin akan tetap terus miskin. Inilah yang akan menjadikan kemiskinan tercipta secara sistematis dan menjadikan jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu curam.
Lihat saja bagaimana melimpahnya SDM negeri ini, baik dari tambang emas, nikel, batubara, minyak, hasil laut, hutan ditambah suburnya tanah negeri ini. Yang harusnya bisa menjadikan negeri ini sebagai negeri adidaya dan mandiri. Namun, faktanya malah menjadikan negeri miskin dengan ketimpangan yang luar biasa.
Solusi Hakiki
Permasalah yang sistemis, tentu hanya bisa diselesaikan dengan cara sistemis pula. Yang artinya tidak bisa diselesaikan hanya dalam ranah teknis maupun strategis belaka. Seperti pemberian HET pada harga kebutuhan pokok tertentu, pemberian bansos, ataupun bantuan-bantuan lain yang hanya bisa dirasakan oleh segelintir rakyat yang tentunya tidak menyelesaikan permasalahan hidup mereka.
Maka, islam sebagai sistem kehidupan yang lahir dari sang maha pencipta alam, tentu satu-satunya sistem yang layak untuk menjadi naungan kehidupan. Sistem Islam telah memberikan solusi secara menyeluruh dan totalitas atas segala persoalan kehidupan. Sebagaimana Islam akan menjadikan kepala negara atau khalifah itu sebagai junnah dan raa'in yaitu penjaga dan pengurus terhadap segala urusan rakyatnya.
Selanjutnya sistem kepemilikan dalam Islam, menjadikan kekayaan tidak akan dapat dikuasai oleh orang-orang kaya saja. Islam menjadikan kepemilikan harta dibagi menjadi tiga yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi. Yang mana SDA merupakan harta kepemilikan umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Sehingga SDM akan dikuasai oleh negara dan sebesar-besarnya dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan, keamanan dan lainnya. Maka, dalam hal ini rakyat akan mendapatkan fasilitas yang murah bahkan gratis dengan kualitas yang terbaik pada masanya.
Selanjutnya semua sektor strategis tentu akan berada di bawah tangan penguasa dalam arti tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun asing. Seperti misalnya dalam pertanian maka negara wajib menyediakan pupuk, pengairan yang cukup, serta menyediakan bibit yang unggul tanpa harus bergantung kepada pemasokan dari luar. Hal ini tentu akan menjadikan negara kuat dan mandiri dalam ketahanan pangan.
Selain itu masih banyak sumber pemasukan negara dalam sistem Islam, seperti fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat. Harta-harta ini diambil secara kontinu (tetap), sama saja apakah ada keperluan atau tidak yang dimasukkan ke dalam Baitul mal. Dengan demikian negara tidak akan memungut pajak kepada rakyat. Sebab, Nabi saw bersabda, "Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka". (HR Ahmad).
Namun, Negara Khilafah dibolehkan mengambil pungutan/pajak dari kaum Muslim yang kaya untuk menunaikan berbagai kepentingan yang menjadi hajat umat ketika Baitul Mal atau Kas Negara mengalami kekurangan (defisit). Misalnya, untuk membiayai penanganan bencana alam; untuk fakir miskin; untuk kemaslahatan umat yang mendesak seperti pembangunan rumah sakit, jalan, jembatan, sekolah-sekolah; untuk keperluan jihad fi sabilillah, gaji pegawai negara, tentara, dsb (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah Al-Khilâfah, hlm. 162-168).
Wallahu'alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar