Kapitalis Paksakan Fleksibilitas Undang-Undang Demi Tertancapnya Kekuasaan


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Sebulan menjelang pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Revisi tersebut memberikan fleksibilitas kepada Presiden dalam menentukan jumlah kementerian. Pengesahan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (19/9/2024). Banyak pengamat yang mengkhawatirkan anggaran negara akan habis untuk menggaji menteri hingga rawan korupsi. (kompas online, 24/9/2024).

Secara blak-blakan Prabowo memastikan bahwa tidak ada partai pendukung yang ‘tertinggal’ dalam pembagian jabatan setelah pemilu! Kabinet baru, jumlah kementerian baru! Dari 34 ke 44. (merdeka online, 27/9/2024). 

Memang presiden terpilih Prabowo Subianto mencanangkan pembentukan zaken kabinet, yaitu kabinet yang diisi oleh kalangan profesional. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kabinet seperti itu hanya terjadi beberapa kali. Yang sering terjadi, kabinet tetap saja diisi oleh para kolega dan pendukung, baik dari sesama anggota koalisi maupun pihak-pihak lain. Beberapa parpol sudah terang-terangan meminta jumlah kursi menteri kepada Prabowo.

Tidak mengherankan, bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan proyek pembangunan merupakan hal lumrah dalam politik hari ini tersebab mahalnya ongkos meraih kursi kekuasaan yang membuat praktik politik menjadi sangat transaksional. Semakin dibuat lumrah pula karena kenyataannya baru kali ini pemerintahan tegak tanpa oposisi. Meskipun satu partai masih dalam upaya pendekatan lewat rencana pertemuan Prabowo dengan ketua umum partai tersebut.

Dengan berbagai alasan dan pertimbangan semua partai ramai-ramai masuk ke Koalisi Indonesia Maju (KIM). Dukungan sebuah partai terhadap pemegang kekuasaan dianggap sebagai investasi yang menguntungkan karena posisinya seperti utang yang harus dibayar. Sedang KIM menganggap bahwa koalisi dibutuhkan untuk meraih kekuatan politik mutlak yang lebih besar, sekaligus untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas. 

Selama ini jabatan yang diberikan terbukti menjadi alat parpol dan elitenya untuk menarik keuntungan. Jabatan-jabatan strategis dan nonstrategis di bawah kementerian, menjadi ajang pemetaan potensi kader partai, bukan hanya di level pusat, tetapi hingga di level daerah. Sampai-sampai sebaran manfaat kebijakan pun ditentukan berdasarkan itung-itungan politik kepentingan.

Dari tahun ke tahun kasus korupsi semakin merajalela, mulai yang dilakukan oleh menteri, kepala daerah, hingga pejabat-pejabat dinas di bawahnya. Adapun untuk level yang lebih rendah lagi sudah tidak terhitung banyaknya, bahkan bisa jadi sudah pada taraf membudaya.

Dalam laporan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch, tren korupsi 2023 yang dirilis 19 Mei 2024, menunjukan jumlah kasus korupsi melonjak nyaris tiga kali lipat dari hanya 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus pada 2023. Setidaknya ada enam menteri dan satu wakil menteri, serta sebelas gubernurnya yang terjerat kasus korupsi jumbo alias megakorupsi.

Dan sudah dapat ditebak, bahkan oleh masyarakat awam sekalipun bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara rezim sekarang dengan rezim yang akan datang yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024. KIM plus akan menjadi KIM minus karena tidak berpihak kepada rakyat.

Hal ini terjadi sebab dalam demokrasi ada dua pilar yang senantiasa berbeda antara konsep dengan fakta. Pertama, ketika mereka mengeklaim kedaulatan di tangan rakyat, yang terjadi sebenarnya kedaulatan bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan para pemodal. Kedua, kekuasaan katanya di tangan rakyat, padahal kekuasaan itu ada di tangan segelintir oligarki.

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem ini tegak di atas tiga pilar, yakni individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang melaksanakan amar makruf nahi mungkar, serta negara yang konsisten menerapkan aturan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Penguasa hanya menjalankan aturan yang berasal dari Allah SWT. sehingga tidak perlu membuat UU atau mengubahnya demi kepentingan sekelompok orang.

Landasan akidah yang menjadi fondasi tegaknya negara dan kepemimpinan akan menjadi faktor utama yang menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan. Islam menetapkan, penguasa adalah pelayan (rain) sekaligus pelindung (junnah) bagi satu per satu rakyatnya. Mereka bertanggung jawab atas terjaganya nyawa, harta, akal, kehormatan, dan akidah setiap warga negaranya. Pertanggungjawaban tersebut akan dihisab kelak di akhirat dengan pertanggungjawaban yang berat.

Dalam sistem pemerintahan Islam tidak dikenal sistem kementerian. Khalifah di bawah tuntunan akidah dan syariah bertanggung jawab atas semua tupoksi kepemimpinan. Ia boleh mengangkat para pembantunya sesuai kebutuhan, apakah untuk melaksanakan fungsi kekuasaan, seperti kepala daerah (wali atau amil), fungsi keamanan atau militer seperti amirul jihad, fungsi peradilan seperti para hakim atau kadi, maupun fungsi administrasi atau nonkekuasaan lain, seperti para duta, pengurus baitulmal, kepala departemen kemaslahatan umat, departemen kemediaan, dll. Semuanya benar-benar diangkat sesuai kebutuhan, sehingga amanah kepemimpinan berjalan efektif dan efisien.

Sistem pengangkatan khalifah dengan tugasnya yang berdimensi akhirat tersebut secara alami mencegah peluang konflik kepentingan dari siapapun yang mewakili umat untuk mengangkatnya, baik para tokoh umat, partai politik, atau siapapun yang terlibat dalam proses kontestasi khalifah. Hal ini dikarenakan jabatan Khilafah dan para pembantunya bukan jabatan “basah”. Melainkan amanah berat yang cuma layak diterima oleh mereka yang memenuhi syarat-syarat in’iqad, yakni seorang muslim yang bertakwa, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan punya kapabilitas untuk melaksanakan tupoksinya berdasarkan tuntunan syariat.

Para pejabat pembantunya akan dipilih oleh khalifah dengan syarat-syarat yang ketat dengan prinsip “menyerahkan amanah pada ahlinya”. Hal ini mengingat fungsi mereka adalah tangan kanan yang baik buruknya akan ia pertanggungjawabkan sehingga jabatan apa pun dalam sistem Khilafah juga jauh dari makna duniawi, apalagi material. Oleh karenanya, tidak akan ada fenomena perburuan jabatan sebagaimana yang terjadi sekarang.

Demikianlah sistem yang dibuat berdasarkan hukum Allah SWT. akan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sudah saatnya kita mencampakkan sistem yang semena-mena membuat aturan, sebab tidak ada yang lebih mengerti makhluk-Nya selain Penciptanya. Mari kita bersama-sama meraih rahmat-Nya dengan melaksanakan ketaatan terhadap seluruh aturan-Nya.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar