Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) saat ini menyasar Gen Z. Terlebih semakin canggihnya teknologi dan kencangnya arus media sosial membuat banyak Gen Z tidak ingin tertinggal dengan yang lainnya. Banyak hal-hal trending seolah harus segera diikuti dan dibagikan di media sosial untuk menunjukkan eksistensi.
Di sisi lain dalam sudut pandang komunikasi, media sosial tidak hanya menjadi alat untuk berkomunikasi, tetapi juga platform di mana identitas, status sosial, dan pengalaman dibentuk dan ditampilkan. Gen Z yang tumbuh bersama dengan perkembangan media sosial, sering kali merasa tertekan untuk terus mengikuti tren dan perkembangan terkini yang terlihat di media. Berita, cerita, dan konten dari teman atau selebriti menciptakan tekanan tersendiri untuk selalu berada dalam lingkaran informasi. Jika tidak, mereka merasa tertinggal dan terisolasi. Inilah yang memicu FOMO. (kumparan.com, 12/09/2024).
Pengamat Sosial Rahmawati juga mengatakan bahwa FOMO dapat menyebabkan dampak buruk. “Kalau kemudian, untuk mengejar perhatian dia menggunakan segala cara yang termasuk menggadaikan kehormatan. Itu menjadi masalah,” (kompas.com,21/09/2024).
Dampak negatif FOMO lainnya diungkapkan oleh Sosiolog Sunyoto Usman bahwa FOMO dapat membuat seseorang menjadi narsistik yaitu merasa dirinya lebih dari orang lain dan kerap menunjukkan kehidupan dan kelebihannya di media sosial. (kompas.com,21/09/2024).
Di sisi lain Public & Government Relation Manager 360Kredi Habriyanto Rosyidi S mengatakan, “Gaya hidup FOMO, YOLO (you only live once), dan FOPO (fear of other people’s opinion) menjadi salah satu faktor bagi permasalahan finansial anak muda hari ini jika tidak dapat dikelola dengan baik dan bijak,” (kompas.com, 11/10/2024).
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), generasi milenial dan generasi Z memang menjadi penyumbang utama kredit macet pinjaman online (pinjol). Pada Juli 2024, tingkat kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP 90) di perusahaan pinjol atau peer to peer (P2P) lending mencapai sebesar 2,53 persen. (kompas.com, 11/10/2024).
Permasalahan ini muncul bukanlah tanpa sebab, gaya hidup FOMO yang mengantarkan pada kultur materialistik hadir dari sistem liberal kapitalisme yang memantik Gen Z hidup serba bebas, hedonistik, dan konsumerisme. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama Gen Z.
Gen Z rela melakukan segala cara untuk mengikuti trend yang ada guna mencapai eksistensi, pujian, dan ekspektasi sekitar. Padahal hal ini tidaklah penting sama sekali bila dibandingkan dengan potensi luar biasa lainnya yang seharusnya dioptimalkan untuk meraih kehidupan yang lebih produktif.
Mirisnya, pandangan pada gaya hidup FOMO ini merenggut potensi Gen Z untuk bisa dan mau berprestasi plus berkarya yang lebih baik. Inilah yang menjadi penghalangan potensi generasi muda untuk menjadi agen perubahan menuju kebaikan.
Tentu hal tersebut tidak terlepas dari regulasi di sistem hari ini yang tidak memberikan fasilitas yang memadai untuk menunjang potensi Gen Z dan tidak pula menjaga Gen Z dari lingkaran materialistik yang makin subur melalui media sosial dan lain sebagainya.
Padahal bila kita mau menggali lebih dalam ada Islam yang memandang bahwa pemuda memiliki potensi luar biasa dan kekuatan yang dibutuhkan umat. Terlebih pemuda adalah sosok yang sedang memasuki fase kuat dan kritis yang pastinya bisa dioptimalkan untuk memperjuangkan kebangkitan.
Sudah jelas sistem liberal kapitalisme tidak dapat mengoptimalkan peran Gen Z, justru ia menjerumuskan Gen Z pada situasi yang bisa kita lihat hari ini, yaitu sebatas menjadi followers euforia hingar bingar dunia, asik pada urusan pribadi, dan jauh dari upaya peduli apalagi membenahi.
Sedangkan Islam memiliki sistem terbaik yang dapat melejitkan potensi Gen Z, mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan Sang Pencipta, dan diarahkan untuk mempersembahkan karya terbaiknya untuk umat dan Islam. Potensi ini tidak dapat dengan mudah tergadaikan oleh dunia karena di benak kaum muslim di bawah kepemimpinan Islam akan terus terjaga dengan keimanan yang kokoh sebab negara memang mengupayakan itu.
Dengan itu, persoalan Gen Z bukan semata-mata persoalan individu tetapi juga faktor sistemik yang mendasarinya. Untuk itu saatnya kaum muslim membangun kembali standar Islam, menyebarkannya, dan memperjuangkan peradaban yang gemilang bagaimana peradaban yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu.
Maka, bila aturan-Nya telah tegak kembali kita tidak akan menemukan potensi pemuda yang hilang, justru pemuda akan berbondong-bondong mengambil peran untuk melakukan perbaikan, perubahan, dan meraih ridha Allah sebagai cita-cita luhur.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar