Menguak Misteri di Balik Pencabutan 3 Tap MPR


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut sejumlah Ketetapan (Tap) MPR ihwal putusan perundang-undangan terhadap tiga mantan Presiden RI yaitu Sukarno, Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Aturan yang dicabut adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara. 

Pertama, TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, pada Rabu, 25 September 2024. Keputusan ini disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024 di Gedung Nusantara MPR.

TAP MPR Nomor II/MPR/2021 berisi tentang pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia. TAP MPR ini juga menegaskan bahwa Gus Dur telah melanggar haluan negara. Dikutip dari Hukumonline, 17 Juli 2000, Abdul Qadir Djaelani, anggota DPR RI dari Fraksi Bulan Bintang (FBB) menilai, Presiden Abdurrahman Wahid telah banyak melakukan pelanggaran hukum. Abdul Qadir menyampaikan pandangannya itu pada seminar Evaluasi Kinerja Pemerintahan Abdurrahman Wahid di Bidang Politik di Jakarta. Sebagai pembicara, ia menyorot khusus kinerja Gus Dur dari aspek hukum.

Berdasarkan fakta selama delapan bulan pemerintahan Gus Dur yang dikumpulkannya, Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran, baik UUD 1945, GBHN, UU, Konvensi-konvensi, maupun sumpah jabatan yang diatur pada pasal 9 UUD 1945. Jumlah kasus pelanggaran, ada 13 yang sangat prinsipil, baik substansi maupun formalnya. Pelanggaran UU meliputi, pembubaran Departemen Penerangan, pembubaran Departemen Sosial, pencabutan TAP MPRS XXV/MPRS/1966, pembukaan hubungan dagang dengan Israel, dan mengubah nama propinsi Irian Jaya menjadi Papua.

Menurut Abdul Qadir, Gus Dur melakukan intervensi pada penahanan Syahril Sabirin dan kantor berita LKBN Antara. Selain itu, Gus Dur dianggap melakukan kolusi dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Yang juga mencolok adalah nepotisme dengan mengangkat teman-teman dan orang-orang dekatnya di pemerintahan, seperti Agus Wirahadikusuma, Bondan Gunawan, Marsilam Simanjuntak, Rozi Munir, Luhut B. Pandjaitan, dan Hasyim Wahid.

Berkaitan kasus penahanan Gubernur BI Syahril Sabirin, Abdul Qadir menilai dan pemberhentian Parni Hadi sebagai Pimpinan LKBN Antara telah melanggar UU No.23/1999 tentang BI dan UU No.53/1999 tentang Pers. Dalam kasus Buloggate dan Bruneigate, Presiden melanggar UU No.28/1999 tentang pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.

Namun dengan adanya surat dari fraksi PKB perihal kedudukan ketetapan MPR nomor ll/MPR 2001 tentang pertanggungjawaban presiden KH Abdurrahman Wahid dan berdasarkan kesepakatan rapat gabungan MPR dengan pimpinan fraksi kelompok DPD pada tanggal 23 September yang lalu, pimpinan MPR menegaskan ketetapan MPR Nomor 2/MPR 2001, tentang pertanggungjawaban presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi.

"Begitu besar jasa-jasa Gus Dur dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi, demokrasi, dan keadilan sosial. Karena itu, rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid dipertimbangkan oleh pemerintah mendatang untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta selaras dengan martabat kemanusiaan, jasa-jasa, dan pengabdiannya pada bangsa dan negara," kata Bamsoet.

Kedua, bersamaan hari dengan pembatalan TAP Nomor II/MPR/2001, MPR juga mencabut nama Presiden Kedua RI Soeharto dari Pasal 4 dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah penyelenggaraan negara yang bersih tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR 11/1998 itu merupakan mengamanatkan tindak lanjut dari Surat dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Adapun TAP MPR 11/1998 soal Soeharto tersebut diteken pada 13 November 1998 di bawah pimpinan Ketua MPR Harmoko.

"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Bamsoet.

Bunyi Pasal 4 yang secara terang menyebut nama Soeharto tersebut, yaitu:
"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia."

Ketiga, TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Presiden Pertama RI Sukarno dikenal sebagai seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, namanya juga tercoreng akibat terbitnya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. Beleid itu secara tersirat menuding Bung Karno- sapaan Sukarno, terlibat agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.

Surat pencabutan dari pimpinan MPR RI itu telah diserahkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo kepada keluarga Bung Karno, di antaranya Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

"Saudara-saudara yang hadir pada pagi hari ini akan menjadi saksi sejarah secara langsung untuk mengikuti acara penyerahan surat pimpinan MPR RI kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia serta kepada keluarga besar Bung Karno," kata Bamsoet.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham Supratman Andi Agtas mengatakan tuduhan keterlibatan Sukarno dengan gerakan pemberontakan PKI pada penghujung September 1965 itu tidak terbukti setelah TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tidak berlaku lagi. Selain menghapus tuduhan terhadap Bung Karno, pencabutan TAP MPRS Nomor 33 juga untuk penghargaan dan pemulihan martabat Sang Proklamator.

Ya benar. Dibalik upaya pemutihan dan pemulihan nama baik ketiga mantan presiden tersebut, tersimpan rencana besar yang sebenarnya, yaitu pemberian penghargaan sebagai "Pahlawan Nasional" bagi ketiganya. Tidak mengapa, toh itu hanya gelar. Hanya saja, akankah dengan pencabutan tersebut, tercabut pula kesalahan-kesalahan besar yang telah mereka lakukan? Apakah dengan pemulihan martabat ketiganya, mampu memulihkan luka-luka keluarga para korban? 

Dapatkah pemutihan tersebut menghapus dosa-dosa mereka? Apalagi ini adalah dosa yang menyangkut dengan manusia. Tentu tidak cukup hanya dengan penghapusan TAP. Bahkan permohonan maaf sekalipun tidak bisa menjamin terhapusnya dosa tanpa dibarengi dengan penghapusan atau perbaikan dari apa-apa yang telah dilakukan.

Peristiwa G30S PKI adalah peristiwa tragis yang menimpa negeri ini. Banyak perwira dan rakyat tak berdosa menjadi korbannya. Kitab suci Al-Quran diinjak dan dibakar, kaum muslim yang sedang melaksanakan shalat ditembak secara membabi-buta. Maka wajar organisasinya kemudian dilarang.

Hanya saja keputusan pewarisan dosa juga tidak dibenarkan apalagi dengan penghakiman sampai 7 turunan berupa pembatasan aktivitas sosial, pendidikan, dll. Iya kalau dia benar-benar bagian dari PKI, kalau salah tangkap atau seenaknya dijadikan pelaku? Kasihan anak keturunannya menanggung dosa yang tidak pernah diperbuat oleh orang tuanya. Tidak bisa sekolah tinggi-tinggi, tidak bisa menjadi ASN, bahkan ada diantaranya yang sampai mengalami depresi hingga akhirnya gila karena gagal meraih gelar kehormatan ketika ditelusuri adalah keturunan PKI. Padahal bukan.

Lain lagi yang dialami Sumarsih. Sumarsih adalah ibu dari Wawan, mahasiswa yang tewas dalam Tragedi Semanggi I pada November 1998, peristiwa itu ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Sumarsih bercerita, anaknya melakukan demonstrasi untuk menjatuhkan Soeharto dan mengawal agenda reformasi. Sumarsih terus berjuang mencari keadilan untuk anaknya dan korban lain dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Keadilan tak kunjung didapat, sebaliknya upaya memulihkan nama Soeharto semakin gencar.

Sementara korban bapak Pluralisme juga banyak. Pembentukan Departemen Penerangan merupakan konvensi sejak Kabinet Syahrir I, tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946 dan telah mengangkat M. Natsir sebagai Menteri Penerangan. Sehingga presiden tidak bisa membubarkan begitu saja Departemen Penerangan.

Sementara Departemen Sosial (Depsos) berdiri sejak Dekrit 5 Juni 1959 pada Kabinet Juanda dengan menterinya Mulyadi Dwijomartono. Depsos telah mengemban amanat sebagaimana diatur dalam UUD 45 Pasal 34 abhwa anak telantar menjadi tanggung jawab negara. Selain itu disebutkan dengan jelas di GBHN sebagaimana diatur dalam Tap MPR No.4/1999 Bab IV bidang Sosial Budaya Poin satu.

Sesungguhnya TAP MPRS telah dikukuhkan sebagai hukum positif sebagaimana diatur dalam UU No 23/1999 tentang larangan kegiatan penyebaran dan penghidupan ajaran/ideologi marxisme dan komunisme dengan hukuman mulai dari 12 tahun sampai 15 tahun. Ini secara materil diatur dalam KUHP Pasal 17 Ayat A,B,C,D,E,F. Usulan pencabutan itu berarti telah melanggar MPRS, KUHP, dan Pasal 9 UUD 45.

Menyangkut hubungan dagang dengan Israel, Gus Dur telah melanggar komunike bersama yang diamanatkan pada 24 April 1955 bahwa Israel adalah penjajah. Dan dalam pembukaan UUD 45 disebutkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Begitu juga dengan pengubahan nama Irian Jaya menjadi Papua oleh Gus Dur telah melanggar UU dan GBHN. Gus Dur telah melanggar keputuskan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang kemudian diatur dalam Keppres No.201/1953 bahwa nama kepulauan tersebut adalah Irian Jaya. Nama Irian Jaya juga masih dimuat dalam GBHN 1999-2004.

Demikianlah hukum yang dibuat manusia, mudah berubah sesuai suasana dan kepentingan sang penguasa. Tidak heran, toh selama ini banyak ijazah yang dipalsukan, banyak gelar yang disematkan begitu mudahnya kepada orang-orang yang pro penguasa. Tanpa perlu susah-susah atau berlama-lama duduk di bangku kuliah. Tring! Dalam hitungan detik gelar bisa didapat. Apalagi ini, hanya masa lalu. Ditambah dalih dari pemalsuan dalil yang direkayasa demi kepentingan, "tidak baik mengingat kejelekan orang yang telah meninggal. Ingatlah hanya kebaikannya".

Berbeda dengan sistem Islam. Islam mempunyai aturan yang begitu sempurna dan tetap yang berasal dari Sang Pencipta manusia. Dari sejak diturunkannya tidak ada yang berubah dan akan selalu terjaga. Tidak perlu ditambah atau dikurangi.

Allah SWT. berfirman:
وَاَ نْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِا لْحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَا حْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ ۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَا جًا ۗ وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمْ اُمَّةً وَّا حِدَةً وَّلٰـكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَاۤ اٰتٰٮكُمْ فَا سْتَبِقُوا الْخَـيْـرٰتِ ۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ 
wa angzalnaaa ilaikal-kitaaba bil-haqqi mushoddiqol limaa baina yadaihi minal-kitaabi wa muhaiminan 'alaihi fahkum bainahum bimaaa angzalallohu wa laa tattabi' ahwaaa-ahum 'ammaa jaaa-aka minal-haqq, likulling ja'alnaa mingkum syir'ataw wa min-haajaa, walau syaaa-allohu laja'alakum ummataw waahidataw wa laakil liyabluwakum fii maaa aataakum fastabiqul-khoiroot, ilallohi marji'ukum jamii'ang fa yunabbi-ukum bimaa kungtum fiihi takhtalifuun

"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan," (QS. Al-Ma'idah: 48).

Allah SWT. pernah beberapa kali menegur Rasulullah Muhammad Saw. untuk menjaga perilakunya. Meskipun demikian, kesalahan dan dosanya langsung dihapus atau diampuni Allah. Rasulullah Muhammad Saw. adalah manusia yang ma'shum, dilindungi oleh Allah SWT. dari kesalahan dan dosa. Salah satu kisahnya diabadikan dalam Al-Quran surat 'Abasa.

Rasulullah Muhammad Saw. juga tidak malu ketika turun ayat Al-Quran tentang pamannya, Abu Lahab yaitu dalam Al-Quran surat Al-Lahab. Beliau sama sekali tidak menyembunyikan satu ayat Al-Quran pun demi menjaga nama baik beliau atau keluarganya.

Begitupun dengan para pemimpin setelahnya. Mereka pernah melakukan kesalahan dan tidak ada dalam riwayat dibuat pelurusan sejarah dengan menghapus kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat agar tetap menjadi terhormat. Semua itu dijadikan cermin bagi generasi berikutnya agar tidak melakukan kesalahan serupa.

Demikianlah Islam begitu indahnya, begitu adilnya. Tidak perlu campur tangan manusia dengan membuat hukum untuk menjadikannya lebih indah atau adil. Dengan penerapan sistem Islam semua akan merasakan kebenaran dan kesejahteraan. Mari bersama-sama kita mewujudkannya.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar