Miris, Tunjangan Rumah DPR Disaat Banyak Rakyat Bergelar Tunawisma


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Anggota DPR RI periode 2024-2029 tak lagi mendapatkan fasilitas rumah dinas, tapi diganti dengan uang tunjangan hunian. Alasannya, selain karena efisiensi anggaran, menurut Sekjen DPR Indra Iskandar, dikarenakan rumah dinas anggota DPR di Jakarta sudah dinilai tidak layak untuk ditinggali. Hal itu terjadi merata baik rumah dinas DPR di daerah Kalibata maupun di Ulujami. (Liputan6 online, 7/10/2024).

Namun ternyata, tidak semua rumah dinas DPR bisa disebut tidak layak huni. Sebab kondisinya masih terbilang kokoh dan utuh, seperti genteng, kaca, dan tembok yang masih dalam keadaan baik. Hal tersebut turut dibuktikan dengan masih adanya sejumlah penghuni yang mendiami rumah dinas tersebut.

Sementara itu, bagi rumah dinas anggota DPR yang sudah dalam kondisi rusak, lebih karena tidak terawat. Sebab rumah-rumah tersebut sudah dalam keadaan kosong. Akibatnya, perawatan terbengkalai seperti plafon bocor yang dibiarkan, cat dinding mengelupas, tembok retak, lampunya mati, hingga bau, dan lembab.

Sebagai informasi, rumah dinas anggota DPR memiliki luas tanah 188 m2 dan luas bangunan 100 m2. Rumah dinas dibangun 2 lantai. Pada lantai satu, denah ruang berisi satu kamar tidur dan toilet, ruang tamu, ruang kerja, ruang keluarga (living room) dan dapur. Selain itu, ada juga toilet umum untuk tamu. Pada area depan atau teras terdapat garasi yang bisa diisi dua mobil. Sedangkan di halaman belakang terdapat ruang terbuka atau taman.

Pada denah lantai dua rumah dinas tersebut, terdapat 4 kamar tidur dan 2 toilet. Ada juga ruang cuci jemur pakaian atau area service lengkap dengan mesin cucinya. Diketahui, tiap kamar dilengkapi pendingin ruang (AC), lengkap dengan furniturnya seperti dipan, kasur, lemari, meja dan kursi.

Sebelumnya diberitakan, Sekjen DPR RI Indra Iskandar membenarkan, adanya surat pemberitahuan kepada para anggota DPR RI terpilih untuk tidak lagi mendapat fasilitas rumah dinas atau rumah jabatan anggota selama mereka menjabat sebagai wakil rakyat. Menurut dia, hal itu sudah sesuai hasil rapat pimpinan DPR dan para pimpinan fraksi pada pekan kemarin.

Indra menambahkan, nantinya kepada anggota DPR RI periode sebelumnya, baik yang terpilih kembali atau pun tidak, Kesekjenan DPR RI meminta mereka untuk mengembalikan hunian tersebut sesuai daftar inventaris tercatat paling lambat tanggal 30 September 2024 kepada unit Pengelola Rumah Jabatan dengan dilengkapi daftar barang inventaris rumah jabatan.

Indra mengungkap, keputusan untuk tidak lagi memberikan fasilitas rumah jabatan anggota disetujui dalam rapat pada 24 September 2024. Sebagai gantinya, lanjut Indra, mereka para anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029 akan diberikan tunjangan perumahan. Dia memastikan, tunjuangan mulai berlaku sejak mereka resmi dilantik sebagai anggota dewan terpilih 1 Oktober 2024. Tunjangan tersebut boleh dipakai untuk menyewa atau menyicil rumah.

Sah-sah saja mau itu pemberian rumah dinas ataupun tunjangan rumah, jika hal tersebut untuk memudahkan mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan/wakil rakyat. Hanya saja hal ini sangat bertolak belakang dengan nasib atasannya/yang diwakilinya, yaitu rakyat. Saat ini masih banyak rakyat yang belum memiliki rumah, dan banyak pula diantaranya terpaksa menempati rumah yang sudah tidak layak.

Permasalahan backlog (kebutuhan rumah yang belum terpenuhi) dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2023, angka backlog perumahan di Indonesia mencapai 12,7 juta. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 1,7 juta dari tahun sebelumnya. Pada 2022, dengan angka backlog perumahan sebesar 11 juta, sebanyak 93% berasal dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Selain itu, sebanyak 60% dari angka tersebut didominasi oleh MBR yang bekerja pada sektor informal. Sedangkan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang disampaikan Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna dalam konferensi pers Program Tapera di Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (31-5-2024), terdapat 9,9 juta rumah tangga yang belum mempunyai rumah. Tidak hanya itu, terdapat 26 juta rumah tidak layak huni sehingga jumlah permasalahan rumah yang perlu diselesaikan sekitar 36 juta. 

Pada akhirnya masyarakat yang tidak mampu memiliki rumah, tinggal berdesakan dengan anggota keluarga lain di rumah keluarga besar, menumpang di rumah teman, menyewa sebuah kamar, mencari rumah di lokasi yang jauh dari tempat kerja, membangun rumah sendiri secara bertahap, bahkan tinggal di perkampungan kumuh atau kolong jembatan (UN Habitat, 2011). Kondisi tersebut tentu saja sangat mempengaruhi kualitas keluarga dan tumbuh kembang generasi. 

Fakta miris lainnya, menurut catatan Pinhome dan YouGov (2024), sekitar 41 juta generasi sandwich Indonesia, baik yang vertikal (menopang anak dan orang tua) maupun horizontal (menopang orang tua dan saudara), tercatat tidak memiliki rumah. Banyak juga diluaran sana orang yang memiliki rumah yang sudah rusak dan tidak layak pakai padahal tunjangan perumahan yang akan diberikan kepada DPR bisa diberikan terlebih dahulu kepada yang sangat membutuhkan untuk rakyat. Juga tingginya harga rumah berikut kebutuhan hidup lainnya menjadi alasan mereka kesulitan untuk mempunyai hunian. Cita-cita mereka untuk memiliki rumah terkendala oleh kebutuhan keluarga sebesar 49% dan stabilitas ekonomi 48%.

Padahal hunian merupakan salah satu kebutuhan dasar yang seharusnya dapat diakses oleh setiap individu dan telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta berkehidupan yang layak”. Sayangnya, problem ketimpangan pemenuhan kebutuhan dasar ini makin melebar di bawah pengaturan pembangunan kapitalistik. 

Meskipun ada rencana dari pemerintahan terpilih Prabowo yang menargetkan pembangunan dua juta rumah setiap tahun di pedesaan dan satu juta unit apartemen di perkotaan yang menjadi salah satu di antara 17 program prioritas. Hanya saja pembangunan tersebut tidak bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Hanya bagi yang berkantong tebal saja, karena tidak diberikan secara gratis. Apa bedanya dengan membeli atau menyicil rumah dari selain pemerintah?

Pemerintah menetapkan batasan harga dalam penjualan rumah subsidi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. Misalnya, harga rumah subsidi yang ditetapkan pemerintah untuk wilayah Jawa adalah Rp166 juta. Dengan harga yang ditetapkan, pilihan lokasi untuk membangun perumahan akan makin jauh dari lokasi-lokasi strategis.

Bukan tidak mau membeli atau menyicil rumah yang disediakan pemerintah, tapi harganya tidak terjangkau. Sekalinya diberi bantuan adalah berupa pinjaman berbunga pula dengan berbagai syarat yang sulit dipenuhi oleh rakyat sebagai pekerja harian lepas apalagi pengangguran. Bahkan saat ini ada Undang-Undang/peraturan baru dimana rakyat yang membangun rumah sendiri dikenakan pajak. Astaghfirullah, sungguh tidak berperikemanusiaan!

Andai saja memiliki hak seperti anggota DPR, atau boleh menempati rumah dinas yang kini tidak lagi diberikan kepada anggota DPR, tentu rakyat akan sangat terbantu. Tapi apalah daya, hubungan penguasa dan rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme ibarat penjual dan pembeli, ada uang ada barang. Wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme bukan untuk mewakili penderitaan rakyat, tapi hanya untuk mewakili kesejahteraan rakyat. Jadi hanya mereka yang sejahtera, sementara rakyat tetap menderita. Kasihan!

Padahal dalam UU No. 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 54 ayat 3 dinyatakan beberapa kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR, yaitu subsidi perolehan rumah, stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perizinan, asuransi dan penjaminan, penyediaan tanah, sertifikasi tanah, dan/atau prasarana, sarana dan utilitas umum. Selain itu, PBB juga telah merekomendasikan bahwa pemerintah seharusnya menyalurkan bantuan akses perumahan.

Mencermati ini semua, pengalihan fasilitas rumah dinas anggota dewan menjadi pemberian uang tunjangan rumah dinas itu adalah kebijakan yang kontraproduktif dengan realitas pahit banyaknya tunawisma di luar megahnya gedung wakil rakyat, apalagi rakyat secara umum juga sedang mengalami berbagai kesulitan hidup. Di sisi lain, para anggota dewan juga nantinya mendapatkan fasilitas rumah dinas di IKN. Dengan kata lain, tunjangan tersebut tentu saja tidak pantas diberikan, tetapi diwajarkan dalam demokrasi mengatasnamakan “wakil rakyat”.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, rumah adalah kebutuhan primer manusia yang harus terpenuhi. Allah SWT. berfirman, 
اَسْÙƒِÙ†ُÙˆْÙ‡ُÙ†َّ Ù…ِÙ†ْ Ø­َÙŠْØ«ُ سَÙƒَÙ†ْـتُÙ…ْ Ù…ِّÙ†ْ ÙˆُّجْدِÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„َا تُضَآ رُّÙˆْÙ‡ُÙ†َّ Ù„ِتُضَÙŠِّÙ‚ُÙˆْا عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ†َّ 
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka." (QS. Ath-Thalaq: 6).

Sistem Islam juga benar-benar menjadikan para pemimpin sebagai pengurus dan pelindung umat. Pemimpin dalam sistem Islam ibarat penggembala yang bertanggung jawab terhadap hewan gembalaannya. Tidak peduli hujan badai atau panas terik, penggembala senantiasa mendahulukan pemenuhan kebutuhan hewan gembalaannya.

Apalagi ini adalah manusia. Merasa aneh disaat rakyat sengsara kesulitan mendapatkan hunian yang layak, dengan entengnya pejabat mengganti fasilitas rumah dinas dengan tunjangan besar beralasan tidak layak huni.

Maka jelas, hanya sistem Islam yang memperlakukan manusia layaknya manusia. Bermartabat dan terhormat. Mari bersama-sama kita mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan sistem Islam.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar