Oleh: Nai Haryati, M.Tr.Bns., CIRBD. (Praktisi, Pengamat Politik dan Ekonomi)
Keran ekspor pasir laut resmi dibuka kembali oleh pemerintah dengan terbitnya sejumlah regulasi, termasuk revisi Peraturan Menteri Perdagangan yang belum lama ini terbit. Sejumlah pengamat dan aktivis lingkungan mengkritik kebijakan tersebut setelah sebelumnya aktivitas ekspor pasir laut sudah dilarang sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut (www.dw.com, 19/9/2024).
Greenpeace Indonesia menyebut bahwa greenwashing dilakukan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Tindakan greenwashing merupakan suatu strategi yang biasanya dilakukan oleh perusahaan dengan kesan memberikan citra peduli lingkungan, tetapi sesungguhnya tidak berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Ekspor pasir laut dinilai akan merusak lingkungan dan ekologi laut, tenggelamnya pulau yang membahayakan bagi rakyat di pesisir pantai dan meminggirkan nelayan yang tidak dapat melaut lagi. Dilansir dari pernyataan Kementerian Keuangan bahwa penerimaan negara dari hasil ekspor laut kecil, termasuk pasir laut. Sedangkan biaya dan kerugian jangka panjang yang harus ditanggung akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar ketimbang pendapatan yang diperoleh, sehingga ekspor pasir laut tidak layak dilakukan (money.kompas.com, 25/9/2024).
Motif Bisnis dan Kepentingan Oligarki
Lantas siapa yang diuntungkan dari kebijakan tersebut ?. Singapura menjadi negara yang diuntungkan untuk reklamasi daratannya. Negeri berlambang singa tersebut tengah sibuk membangun pelabuhan yang digadang-gadang akan menjadi pelabuhan peti kemas terbesar di dunia dengan nama proyek Pelabuhan Tuas. Satu sisi wilayah Singapura mengalami perluasan tapi di sisi lain mengerutkan daratan Indonesia, tentu hal tersebut akan berdampak kepada tapal batas wilayah perairan Indonesia.
Tampak jelas bahwa motif bisnis dan kepentingan oligarki menjadi nafas dalam kebijakan tersebut. Staf Khusus Menteri KKP Doni Ismanto menyatakan sudah ada 66 perusahaan yang antri dalam tahap verifikasi dan evaluasi mengurus perizinan pengelolaan pasir laut. Alhasil, korporasi dan asing untung karena proyek besarnya terwujud, penguasa juga untung karena berhasil mendapat tambahan pendapatan dari hasil menjual sumber daya alam milik rakyat.
Kebijakan ekspor pasir laut menambah rapor merah pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. Berbicara sektor kelautan tidak hanya terkait sumber daya laut tetapi terkait dengan geopolitik dan keruangan. Politik kemaritiman berkaitan dengan kebijakan yang efektif dan efisien untuk mengelola potensi laut atau maritim suatu negara guna menguatkan posisi sebuah negara dan mensejahterakan rakyat.
Nyatanya pemerintah belum mampu mengelola sumber daya laut dengan cerdas. Sehingga kerap mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif seperti ini. Tanpa kajian yang matang, langkah ekstrem ini diambil dengan mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia.
Bahaya Besar
Kemudharatan yang besar sangat nampak dari eskpor pasir laut. Hal ini semakin menyadarkan kita bahwa penguasa seolah menutup mata dan tidak peduli akan dampak buruk yang terjadi. Ini menegaskan bahwa kezaliman dan dosa penguasa kian menumpuk akibat penerapan kapitalisme liberal yang menyengsarakan.
Fokus Penguasa yaitu melayani kepentingan bisnis para kapitalis ketimbang menyelamatkan kedaulatan negara dan kepentingan rakyat. Hal ini menunjukkan greenwashing untuk menjaga lingkungan sebatas wacana dan retorika. Harusnya negara bukan sebagai regulator dan fasilitator kepentingan individu, golongan, ataupun asing. Penerapan sistem kapitalisme telah menghilangkan fungsi negara sebagai pelindung, pengayom, serta pelayan rakyat. Kapitalisme telah mengabaikan dan merampas hak hidup rakyat.
Langkah Cerdas Pengelolaan Sumber Daya
Seluruh potensi yang dimiliki oleh kaum muslim berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia harus dikelola dengan cerdas. Pengelolaan sumber daya akan tepat guna dan berkah jika dilandaskan pada sistem islam. Dalam pandangan Islam, negara tidak sekadar membuat kebijakan lalu memaksakan rakyat agar mengikuti kebijakan tersebut. Negara akan mengurus kepentingan rakyat dengan posisi sebagai pelayan mereka, bukan pelayanan korporasi dan para kapitalis.
Kebijakan yang dikeluarkan akan mempertimbangkan aspek keamanan manusia dan lingkungan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara akan mengkondisikan kebutuhan asasi dapat dipenuhi dan akses untuk mendapatkannya mudah.
Kedua, kemandirian dalam mengelola SDA yang merupakan kepemilikan umum sehingga hasil pengelolaannya dapat dinikmati rakyat dengan harga yang sangat terjangkau. Pengelolaan sumber daya alam tidak akan mengancam lingkungan dan ekologi dikarenakan sudah lulus proses analisis mengenai dampak lingkungan.
Ketiga, merusak alam merupakan bentuk lain dari kemaksiatan kepada Allah Taala. Merusak alam tidak dibenarkan dalam Islam. Kerusakan dan ketakseimbangan alam saat ini terjadi karena ulah tangan manusia melalui sistem kapitalisme.
Keempat, negara akan menjaga hak-hak rakyat, terutama hak kepemilikan umum, semisal pemanfaatan laut sebagai sumber makanan dan pencaharian masyarakat pesisir.
Kelima, penetapan sanksi tegas pada pelaku perusak alam. Sistem sanksi Islam adalah upaya kuratif menjaga lingkungan. Perbuatan merusak alam adalah haram karena membahayakan manusia dan lingkungan. Maka penguasa wajib menegakkan sanksi bagi pelakunya.
Demikianlah regulasi dalam islam untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya. Sistem kapitalisme membuahkan kebijakan yang justru merusak dan mengeksploitasi sumber daya yang ada. Maka apakah masih ada keraguan dalam diri kita untuk kembali kepada pedoman hidup yang kaffah yaitu Islam ? Tentunya tidak, justru keyakinan yang kuat dari akidah islam akan mengarahkan kepada ketaatan yang murni dan penerimaan yang lapang atas sistem kehidupan islam. Wallahu’alam bi ashawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar