Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Viral di media sosial adanya kasus dugaan pelecehan oleh guru SMP di Kabupaten Paser, telah sampai ke proses hukum di Polres Paser.
Kasat Reskrim Polres Paser Iptu Helmi S. Saputro melalui Kanit II Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Ipda Alam Syari mengatakan kini kasus tersebut sudah dalam tahap penyidikan, namun terlapor belum ditahan karena penyidik masih mengumpulkan keterangan dari saksi dan para ahli.
Kasus ini tidak ada saksi dan hanya laporan korban, sehingga yang menetapkan pembuktian salah atau tidaknya ke saksi korban adalah dari ahli pidana.
"Polisi akan mengumumkan jika ada penetapan tersangka nantinya jika memang terbukti," kata Iptu Alam, Senin (1/1//2024).
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Paser M Yunus Syam menyampaikan sejak adanya laporan dugaan kasus pelecehan ini, guru yang bersangkutan telah dinonaktifkan dalam proses belajar mengajar.
Selain itu pihak sekolah, pengawas sekolah dan Disdikbud telah melakukan pemeriksaan internal terhadap yang bersangkutan sejak 6 Juni 2024. Diketahui kronologi kasus ini terjadi pada 29 Mei 2024.
Dinas sudah meminta keterangan dari para saksi dan korban. Hasil dari pemeriksaan itu dituangkan dalam berita acara. Pihak sekolah dan Disdikbud telah menyampaikan hasil rapat dan pemeriksaan internal itu ke penyidik.
Yunus mengatakan guru terlapor tersebut memang masih bertugas di sekolah membantu tenaga kependidikan, tapi tidak lagi mengajar dan bersinggungan dengan murid. "Disdikbud tidak bisa memberikan sanksi kepada terlapor, karena belum ada bukti bahwa telah melakukan pelecehan tersebut. Kecuali jika ada penetapan oleh Polres, maka akan langsung diproses non-aktif," kata Yunus.
Kasus ini juga dilaporkan Disdikbud ke Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Paser selaku yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada PNS.
Dari data yang dihimpun Kaltim Post, korban atau pelapor diduga dilecehkan saat momen pengambilan rapor dan ijazah ke sekolah oleh terlapor atau sang guru, di dalam ruangan yang hanya ada mereka berdua dan tidak ada saksi. Saat itu pelapor sudah akan berproses lulus di SMP tersebut. Kini pelapor tidak lagi SMP dan sudah SMA.
Terus Berulang
Guru yang mestinya melindungi anak didiknya, malah menjadi pelaku pencabulan. Hal ini sungguh di luar nalar. Kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan guru sebagai pelaku bukanlah pertama kali terjadi. Pada Januari 2023, sedikitnya ada 21 anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru rebana di Batang, Jawa Tengah. Pada 2021, seorang guru mencabuli 12 santriwatinya di Bandung, lalu terungkap pula seorang guru di Cilacap, Jawa Tengah juga menjadi pelaku kekerasan seksual 15 siswi SD. Pada 2018 lalu, seorang guru olahraga melakukan sodomi terhadap 41 siswa dengan dengan modus memberikan kesaktian dan ilmu pelet kepada anak-anak. Masih di tahun yang sama, 25 siswi di Jombang menjadi korban pencabulan yang dilakukan gurunya.
Berdasarkan data yang dihimpun KPAI sepanjang 2021, setidaknya ada 18 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Pelaku kekerasan seksual terdiri dari pendidik/guru sebanyak 10 orang (55.55%), Kepala Sekolah/ Pimpinan Pondok Pesantren sebanyak 4 orang (22,22%), pengasuh (11,11), tokoh agama (5.56%) dan Pembina Asrama (5.56%). Pengumpulan data dilakukan mulai 2 Januari – 27 Desember 2021 melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke pihak kepolisan dan diberitakan oleh media massa. (Mediaindonesia, 28-12-2021)
Data tersebut tentu membuat miris. Sekolah yang mestinya menjadi tempat ternyaman dan teraman bagi anak-anak, malah menjadi benih munculnya predator anak yang siap memangsa mereka. Ada apa dengan dunia pendidikan hari ini? Generasi terancam, guru tidak lagi menjadi panutan. Hukuman seakan mati rasa bagi para pelaku pencabulan.
Solusi Tuntas dengan Islam kaffah
Setumpuk regulasi penindakan hukum untuk pelaku kejahatan tidak akan berguna tanpa diiringi upaya pencegahan menutup celah dan pintu kemaksiatan. Kehidupan masyarakat dengan pergaulan tanpa batas, produksi film yang mengumbar aurat dan syahwat, dan akses media sosial yang serba bebas tanpa batas? Hal semacam ini membutuhkan kebijakan yang terpusat, yakni campur tangan negara mencegah celah-celah kemaksiatan tersebut. Oleh karena itu, menutup rapat pintu-pintu maksiat adalah tindakan pertama yang harus negara lakukan.
Kasus ini bukan yang pertama, mungkin juga bukan yang terakhir. Pangkal dari kejahatan seksual pada anak ialah penerapan sistem sekularisme di semua lini kehidupan. Fenomena guru menjadi pelaku pencabulan bukan hal aneh karena negeri ini mengadopsi nilai-nilai sekuler dalam kehidupan dengan megamputasi aturan Islam sebagai pedoman hidup manusia. Jadi, negeri ini harus berbenah agar generasi kita terselamatkan, yaitu dengan solusi sistemis yang komprehensif, bukan solusi pragmatis yang masih menyisakan nilai sekuler dalam penyelesaiannya. Memutus rantai kejahatan seksual pada anak harus dilakukan dengan solusi fundamental.
Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan melindungi generasi.
Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapapun.
Ketiga, negara sebagai periayah utama. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga wajib melindungi generasi dari perilaku buruk dan maksiat dengan tindakan pencegahan yang berlapis, yaitu:
Pertama, menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i; (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram.
Kedua, optimalisasi fungsi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan generasi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam.
Ketiga, menegakkan sistem sanksi yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan jenis dan kadar kejahatannya menurut syariat. Hukuman yang diberikan sesuai dengan ketentuan hukum Allah dan kebijakan khalifah selaku pemegang kewenangan pelaksanaan hukuman.
Keempat, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat yang berdakwah dengan saling memberi nasihat di antara sesama.
Dengan perlindungan berlapis seperti ini, upaya pencegahan akan berjalan efektif. Jika upaya preventif sudah dilakukan tetapi masih terjadi pelanggaran, maka tindakan kuratif, yakni sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelaku kejahatan. Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar