Oleh: Widya Rahayu (Lingkar Studi Muslimah Bali)
Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan fakta yang mengejutkan tentang produk pangan yang mengundang kontroversi, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Data BPJPH menunjukkan bahwa terdapat 61 produk dengan nama 'wine' yang mendapatkan sertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI, serta 8 produk dengan nama 'beer'. Penetapan halal dilakukan setelah melalui pemeriksaan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Dikutip merdeka.com Rabu (2/10).
Fakta ini memicu perdebatan di tengah masyarakat Muslim yang mempertanyakan keabsahan sertifikasi halal tersebut, mengingat nama-nama produk yang selama ini dikenal luas sebagai simbol minuman haram.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar terkait landasan sistem yang digunakan dalam pengelolaan sertifikasi halal, yang dalam kasus ini jelas menunjukkan pengaruh dari penerapan sistem sekuler.
Sertifikasi halal bagi produk-produk dengan nama seperti beer, wine, atau tuak jelas menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam. Bukan hanya karena produk tersebut secara historis dikenal sebagai minuman memabukkan, tetapi juga karena potensi kebingungan yang ditimbulkan di masyarakat. Produk-produk ini mungkin telah memenuhi syarat-syarat kehalalan dari segi bahan, namun nama dan kesan yang mereka bawa seakan mempromosikan gaya hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Salah satu yang menonjol dalam kontroversi ini adalah bagaimana sertifikasi halal tidak lagi berpegang teguh pada esensi ajaran Islam, melainkan lebih kepada formalitas dan komodifikasi demi keuntungan ekonomi.
Sertifikasi halal dalam kerangka kapitalisme sering kali tidak memperhatikan aspek moral dan sosial dari produk, tetapi lebih pada bagaimana produk tersebut bisa dipasarkan kepada konsumen Muslim tanpa memperhitungkan dampaknya pada akidah dan perilaku.
Penerapan Sistem Sekuler dalam Sertifikasi Halal
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari urusan negara dan ekonomi, menciptakan ruang yang memungkinkan nilai-nilai Islam dikompromikan demi kepentingan bisnis. Dalam kasus sertifikasi halal, penerapan sistem ini mengubah kehalalan menjadi sekadar label formal yang dapat diperjualbelikan, bukan sebagai prinsip moral yang harus ditegakkan.
Sistem kapitalisme yang mendasari perekonomian di banyak negara saat ini, termasuk Indonesia, memandang sertifikasi halal sebagai salah satu peluang bisnis untuk menjaring pasar Muslim yang besar. Akibatnya, kehalalan sebuah produk diukur bukan dari keseluruhan dampak produk tersebut terhadap kehidupan umat Islam, tetapi hanya dari aspek teknis tertentu seperti bahan atau proses pembuatan.
Kapitalisme yang berorientasi pada profit, menjadikan label halal sebagai komoditas. Selama suatu produk dapat memberikan keuntungan ekonomi dan memenuhi syarat-syarat teknis, maka sertifikasi halal dapat diperoleh, terlepas dari implikasi moral dan sosial yang lebih luas. Inilah yang terjadi ketika produk-produk seperti wine dan beer bisa mendapatkan sertifikasi halal hanya karena bahan dasarnya tidak mengandung unsur haram, meskipun nama dan fungsinya jelas mengindikasikan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pandangan Islam terhadap Sertifikasi Halal
Dalam ajaran Islam, konsep halal dan haram tidak hanya berlaku pada substansi suatu benda, tetapi juga pada tujuan dan dampak penggunaannya. Islam memandang bahwa kehalalan suatu produk harus dilihat secara holistik, mencakup bahan, proses pembuatan, serta tujuan penggunaan produk tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah produk yang mengandung bahan halal sekalipun, tetapi memiliki nama atau bentuk yang menyesatkan, tetap harus dihindari karena dapat menimbulkan fitnah atau kebingungan di tengah masyarakat.
Penerapan syariat Islam dalam pengelolaan produk halal jauh lebih ketat dibandingkan dengan sistem kapitalisme sekuler. Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar setiap produk yang beredar di pasar benar-benar halal dan thayyib, baik dari segi substansi maupun tujuan penggunaannya.
Dalam Islam, tidak ada ruang bagi produk yang jelas-jelas memiliki nama atau karakteristik haram, meskipun bahan yang digunakan halal. Negara dalam sistem Islam akan berperan aktif melalui lembaga seperti qadhi hisbah yang bertugas untuk mengawasi dan memastikan kehalalan produk secara menyeluruh.
Selain itu, dalam sistem Islam, sertifikasi halal tidak boleh menjadi ladang bisnis atau komoditas. Negara wajib menyediakan layanan sertifikasi halal secara gratis atau dengan biaya minimal, karena kehalalan produk adalah hak masyarakat yang harus dijaga oleh negara. Dengan demikian, tidak ada celah bagi pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dari sertifikasi halal yang seharusnya menjadi amanah moral dan agama.
Solusi Islam atas Polemik Sertifikasi Halal
Untuk mengatasi polemik sertifikasi halal yang terjebak dalam sistem kapitalisme sekuler, solusi terbaik adalah kembali kepada sistem Islam yang menjadikan agama sebagai landasan utama dalam mengelola segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan produk halal. Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai penjaga agama dan pelindung umat, yang memastikan bahwa produk-produk yang dikonsumsi oleh masyarakat benar-benar sesuai dengan ajaran Islam, baik dari segi bahan, proses produksi, maupun tujuan penggunaannya.
Negara Islam juga harus menempatkan lembaga-lembaga yang berwenang seperti qadhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin terhadap pasar dan industri.
Dengan adanya pengawasan yang ketat dan berkelanjutan, tidak akan ada celah bagi produk-produk yang menyesatkan atau meragukan untuk mendapatkan label halal.
Negara juga harus memastikan bahwa tidak ada produk yang membingungkan umat dengan nama-nama yang mencerminkan sesuatu yang haram, meskipun substansinya halal.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat Muslim juga perlu ditingkatkan, agar mereka tidak hanya melihat label halal sebagai satu-satunya penentu kehalalan suatu produk, tetapi juga mempertimbangkan esensi dan dampak dari produk tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sistem Islam, negara dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menjaga agar nilai-nilai Islam tetap tegak dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam memilih dan mengonsumsi produk.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar