Politik Demokrasi : Kabinet Gemuk Perbesar Celah Korupsi


Oleh : Ummu Umaroin (Aktivis dakwah)

Kamis (19-9-2024) lalu, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Salah satu klausul yang diubah adalah jumlah kementerian yang akan dibentuk dalam kabinet mendatang. Lewat perubahan ini, kepala negara baru yang akan dilantik pada 20 Oktober nanti bebas membuat kementerian tanpa ada batasan.

Dilansir dari ANTARA, Direktur Riset & Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo menilai pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang akan dilantik pada Oktober mendatang layak memiliki susunan kabinet yang banyak atau gemuk.

Dengan syarat kabinet gemuk tersebut harus diisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin. Untuk diketahui, wacana yang beredar menyebutkan jajaran kementerian yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Jumlah ini bertambah dari yang sebelumnya hanya sebanyak 34 kementerian.

Dilansir dari ANTARA, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa kabinet gemuk yang diproyeksikan dibentuk pada pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menambah nomenklatur kementerian akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral.

"Harapan Pak Prabowo adalah menteri-menteri yang akan datang lebih fokus kepada penanganan program yang itu dilakukan dengan cara melakukan pemisahan dari kementerian-kementerian lain," ujarnya.


Gemuknya Susunan Kabinet tidak Efisien

Terbukti dalam sistem demokrasi kekuasaan bukanlah di tangan rakyat, tetapi di tangan segelintir elite penguasa dan partai politik. Demokrasi meniscayakan prinsip "pemenang mengambil segalanya". Jumlah jajaran menteri yang membengkak dalam kabinet juga berpeluang menjadi cara presiden terpilih untuk membalas budi kepada partai-partai dan pihak-pihak yang membantu kemenangannya dalam Pilpres. Seperti sudah menjadi tradisi dalam sistem demokrasi, pembentukan kabinet oleh presiden terpilih menjadi ajang bancakan alias bagi-bagi kekuasaan di antara para anggota koalisi dan para pendukungnya. Serta banyaknya Kementerian jelas membutuhkan banyak orang.  Konsekuensinya kebutuhan dana untuk gaji para Menteri makin besar.  Hal ini beresiko bertambahnya utang negara dan naiknya pajak.

Namun di sisi lain, jobdes tiap Kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindik, temasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif efisien.  Juga ada resiko perbesar celah korupsi. Dan belum jaminan kepentingan rakyat makin menjadi perhatian.  Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut, yang justru banyak berpihak pada para pemilik modal. Begitulah, demokrasi menciptakan politik patronase, yakni pembagian keuntungan di antara para politisi dan para pendukungnya. Itulah yang terjadi di Tanah Air. Penguasa membagikan kue kekuasaan kepada para pendukungnya, seperti jabatan menteri atau komisaris BUMN, tanpa mempertimbangkan lagi kapasitas dan kompetensi. Di antara dampaknya, berbagai BUMN terus merugi, bahkan terancam bangkrut. 


Jabatan itu Amanah

Sistem demokrasi tentu berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam sistem Khilafah, khalifah yang bertanggung jawab karena Amanah kepemimpinan ada padanya.  Namun khalifah boleh mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya.  Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien, dengan jobdesk dan tanggungjawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan.

Dalam Islam, Nabi Muhammad ï·º memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang berambisi atas kekuasaan tersebut. Beliau ï·º bersabda, “Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas (jabatan) ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya.” (HR Muslim).

Agar kekuasaan menjadi berkah bagi umat, ada sejumlah tuntunan bagi kaum muslim di dalamnya.
Pertama, Islam mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan menjadi kehinaan bagi orang yang menelantarkannya. 
Kedua, jabatan harus dipegang oleh orang yang memiliki qudrah (kemampuan) atau profesional di bidangnya. Rasulullah ï·º mengingatkan bahwa masyarakat akan binasa jika amanah diserahkan bukan kepada ahlinya atau orang yang layak.
Ketiga, Islam menjadikan jabatan di tangan penguasa adalah untuk mengurus rakyat, bukan untuk menipu mereka dan mencari keuntungan untuk dirinya dan golongannya.
Keempat, kewajiban mengurus rakyat tidak akan bisa dilakukan tanpa penerapan syariat Islam. Dalam Islam, para penguasa diberi taklif (tugas) untuk menjalankan amanah kekuasaan ini dengan menjalankan hukum-hukum Allah Taala. 

Wallahu 'alam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar