Oleh : Ummu Azam
Jika kita melihat konflik di tengah masyarakat secara keseluruhan, ancaman terorisme bukan merupakan ancaman utama atau paling mendesak dalam konteks kehidupan sehari-hari, terutama di banyak negara yang relatif stabil layaknya Indonesia. Ini sebagaimana disampaikan Kepala Badan Litbang dan Diklat (Kabalitbangdiklat) Kemenag Abd.
Konflik yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu keagamaan dan nonkeagamaan (aspek kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, serta permasalahan sosial dan budaya).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya, konflik-konflik besar yang berlangsung lama sering menjadikan agama sebagai faktor antara yang digunakan sebagai pemicu konflik. “Konflik-konflik berskala besar sebenarnya dipicu oleh faktor nonkeagamaan, terutama faktor ekonomi dan politik. Namun, dibungkus dengan isu keagamaan.
Konflik yang disebabkan oleh faktor agama biasanya berskala kecil dan tidak berlangsung lama. Konflik keagamaan biasanya disebabkan kurangnya komunikasi di tingkat grassroot (akar rumput).
Seharusnya, upaya pencegahan konflik memprioritaskan perhatian pada konflik yang timbul akibat faktor-faktor yang lebih mendasar dan sering diabaikan, bukan semata fokus pada isu terorisme berbasis agama yang tidak mencerminkan masalah utama di tengah masyarakat. Mengapa fokus perhatian pemerintah justru memasifkan kolaborasi kontraterorisme islam?
Dari sini, tampak bahwa sumber konflik yang sesungguhnya adalah ideologi yang diterapkan di negeri ini, yakni kapitalisme-demokrasi, dengan menciptakan konflik agama sebagai kambing hitam dalam mewujudkan kepentingan dan menjaga eksistensinya, meskipun di sisi lain tidak mengakui peranan agama dalam kehidupan. Inilah wajah demokrasi!
Penerapan Islam Kafah, Menghilangkan Konflik
Kondisi bangsa Arab sebelum Islam diturunkan, khususnya di wilayah Semenanjung Arab, dikenal sebagai masa Jahiliah yang ditandai dengan berbagai bentuk ketakstabilan sosial, politik, juga persaingan ekonomi dan moral. Islam hadir sebagai solusi yang menyatukan masyarakat Arab dengan ajaran-ajaran yang menekankan persaudaraan, keadilan, dan perdamaian, sehingga secara bertahap mengakhiri konflik yang berlangsung lama dan membawa masyarakat Arab ke dalam tatanan yang lebih stabil dan harmonis dalam penerapan Islam kafah.
Dalam Islam, seorang pemimpin atau penguasa (imam, khalifah, atau amir) adalah seorang penggembala yang bertanggung jawab mengatur dan melindungi rakyatnya. Tugas utama seorang pemimpin adalah menegakkan keadilan, persatuan, memelihara kesejahteraan umum, dan menjaga moralitas masyarakat. Jika seorang penguasa secara sengaja menciptakan konflik atau memecah belah warga negaranya untuk kepentingan pribadi atau politik, tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan Allah dan rakyat.
Dalam hal ini, Islam memiliki pandangan tegas terkait sanksi terhadap penguasa zalim atau menciptakan konflik di antara masyarakat. Ia dianggap melakukan fasad (kerusakan di muka bumi) yang merupakan dosa besar. Jika tindakannya menyebabkan pertumpahan darah, pencurian, atau kerusakan lainnya, sanksi yang dijatuhkan bisa sangat berat, mulai dari pencopotan jabatan, hudud (hukuman yang ditetapkan oleh Allah), kisas (hukum balas), denda (diat), bahkan hukuman mati dalam kasus-kasus tertentu. Pemimpin yang berbuat zalim dan menciptakan kerusakan di dunia akan dibenci Allah Swt. sebagai bentuk hukuman atas penyalahgunaan kekuasaan mereka.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah dan yang paling dekat dengan-Nya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan sesungguhnya, orang yang paling dibenci Allah dan yang paling jauh dari-Nya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).
Wallaahu a'lam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar