Sawah Raib, Ternyata Jadi Hotel


Oleh: Nuryanti

Masifnya pembangunan infrastruktur di sektor pariwisata Bali terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga ribuan hektare lahan persawahan raib berubah menjadi hotel-hotel berbintang maupun non bintang. 

Dikutip dari detikbali.com, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mendesak pemerintah melakukan penangguhan pembangunan hotel-hotel di Bali, karena padatnya bangunan-bangunan infrastruktur yang bersifat ekstraktif sehingga mengubah bentang alam. Ini juga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan di wilayah Badung dan Denpasar sejak tahun 2000-2020. Berdasarkan data luas tanah yang tersisa di kedua wilayah tersebut pada tahun 2020 hanya sekitar 3000an hektare, angka tersebut menyusut dari luas sawah tahun 2000 yang kurang lebih sekitar 7000an hektare. Jadi dalam kurun waktu 20 tahun saja, wilayah Badung dan Denpasar terjadi pengurangan luas sawah sebesar 4000an hektare. Dari data subak yang ada di seluruh Bali, sawah di Bali menyusut 2000an hektare/tahun. tungkas Direktur eksekutif Walhi Bali Made Krisna Dinata alias Bokis.

Kemudian dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Bokis menukil, tercatat pembangunan hotel berbintang maupun non bintang di pulau dewata Bali dari tahun 2000-2023 meningkat tajam dari 113 hotel menjadi 541 hotel dan dari sisi jumlah kamar meningkat dari 19 ribu kamar menjadi 54 ribu kamar. Dan dari sekian ribu kamar, industri perhotelan tergolong rakus dalam mengonsumsi air, jika dibandingkan dengan kebutuhan keperluan domestik hanya memerlukan kurang lebih 200 liter air/orang/hari. Sedangkan hotel berbintang dibutuhkan air minimal 800 liter/kamar/hari. Sedangkan non bintang di butuhkan air minimal 250 liter/kamar/hari. Dari sinilah Walhi menilai masifnya pembangunan hotel dapat membawa krisis ekologis bagi Bali dan terjadinya krisis air. 

Masifnya pembangunan hotel-hotel di Bali berawal dari promosi jor-joran yang dilakukan pemerintah pusat kepada kelompok swasta/investasi swasta untuk perdagangan, kantor, dan hotel. Yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian rakyat dan membuka lapangan pekerjaan. Sehingga menarik investor swasta untuk pembangunan hotel-hotel di Bali menjadi kunci utama. Namanya investor jelas bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam pembangunan infrastrukturnya. Tanpa melihat dampak yang di timbulkan bagi masyarakat sekitarnya.

Masyarakat Badung dan Denpasar bukan hanya kehilangan lahan sawah sebagai mata pencaharian mereka, akan tetapi berdampak juga kepada krisis air. Bagaimana tidak pembangunan hotel-hotel berbintang maupun non bintang yang terlalu banyak menyerap air untuk kebutuhan kamar hotel. Di sisi lain ribuan lahan sawah pertahun harus raib, berapa juta orang petani yang kehilangan pekerjaannya, mereka tergeser kehilangan ruang hidupnya sebagai petani, karena lahan sawah diberikan begitu saja dalam pembangunan hotel-hotel. Sungguh ini perbuatan zalim. Investor di utamakan sedangkan masyarakat di nomor duakan. 

Inilah yang terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalis, negara mengutamakan pemilik modal atau investor, kebijakan ada pada pemilik modal. Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat harus tunduk pada kebijakan yang berlaku, meskipun itu lahan sawah adalah milik pribadi atau milik subak setempat. 

Dalam sistem Islam, tanah milik rakyat tidak akan diberikan kepada para investor. Syariat menetapkan tanah milik rakyat adalah harta milik umum tidak boleh dikuasai investor. Rasulullah bersabda, "Kaum Muslim berserikat dengan 3 perkara yaitu, padang rumput, air dan api". (HR. Abu Daud & Ahmad)

Maka dari itu, negara wajib mengatur agar lahan sawah tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat, negara tidak akan memberikan kepada investor apapun alasannya. Seandainya pun negara harus melakukan pembangunan, seharusnya pembangunan yang dilakukan adalah untuk kemaslahatan rakyat. Dan ini terjadi hanya pada negara yang menerapkan sistem Islam yaitu Khilafah. 

Wallahua'lam bissowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar