Oleh : Ni’mah Fadeli
Rumah sebagai tempat berteduh dan berkumpul keluarga. Maka adalah dambaan setiap keluarga untuk memilikinya. Namun tentu saja perlu banyak rupiah untuk mewujudkannya. Entah membangun, membeli rumah siap huni atau menyewa, semua membutuhkan dana yang tak sedikit jumlahnya. Pemerintah pun menyadarinya, maka disediakanlah fasilitas berupa tunjangan perumahan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sehingga mereka tak perlu pusing memikirkan tempat tinggal dan dapat fokus bekerja. Namun tentu tunjangan tersebut berasal dari anggaran negara yang dikumpulkan dari rakyat yang diwakilinya. Sementara sebagian besar rakyat di negeri ini justru belum memiliki tempat tinggal yang memadai dan tentu saja rakyat tidak mendapat tunjangan serupa dengan para anggota DPR RI tersebut dari pemerintah.
Indonesia Coruption Watch (ICW) mengungkap bahwa terjadi pemborosan anggaran oleh anggota DPR RI periode 2024-2029 antara Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun. Pemborosan ini terjadi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan perumahan. ICW pun menilai bahwa kebijakan ini tidak memiliki perencanaan yang matang. Seira Tamara, peneliti ICW bahkan menduga bahwa pemberian tunjangan tersebut hanya bertujuan untuk memperkaya anggota DPR. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI, Indra Iskandar, anggota DPR RI periode 2024-2029 memang tidak mendapat fasilitas rumah dinas. Fasilitas tersebut diganti dengan tunjangan rumah dinas atau tunjangan rumah jabatan. Besaran tunjangan adalah sekitar Rp50 juta per bulan yang akan dimasukkan dalam komponen gaji DPR. (kompas.com, 12/10/2024).
Wakil Rakyat Tak Merasakan Menjadi Rakyat
Apakah karena bernama wakil rakyat sehingga segala fasilitas yang semestinya dinikmati seluruh rakyat cukup diwakili oleh anggota DPR saja? Tugas DPR untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah apakah dapat terwujud jika mereka bahkan tidak pernah merasakan apa yang dialami oleh sebagian besar rakyat?
Bekerja dari pagi sampai malam demi memenuhi kebutuhan hidup namun seringkali tidak dapat terpenuhi. Setiap hari harus berjibaku dengan mahalnya harga-harga, biaya kesehatan, SPP, listrik, air bersih, transportasi juga kebutuhan hunian dan seterusnya. Belum lagi pajak yang selalu menyertai baik atas barang-barang pribadi seperti rumah, motor, mobil, dan tanah maupun pajak penghasilan.
Rakyat demikian susah, lantas apakah pantas jika negara menghabiskan nominal barbar hanya untuk berbagai macam tunjangan bagi anggota dewan yang bahkan belum mulai bekerja?
Memang ironi, namun kejadian seperti ini akan terus terjadi dalam demokrasi. Pencapaian para anggota dewan untuk duduk di kursi DPR membutuhkan modal yang tidak sedikit. Maka tidaklah mengherankan ketika para anggota dewan telah mendapat kursi, mereka tidak sibuk menyuarakan aspirasi rakyat, namun mencari cara dan celah mengembalikan modal dan tentu saja menambah kekayaan.
Tiada lawan dan kawan abadi dalam demokrasi. Berbagai keinginan tinggi untuk membawa keluarga dalam kancah yang sama sehingga muncul politik dinasti menjadi hal yang biasa. Rakyat akan dicari ketika pengumpulan suara dan setelah selesai acara maka mereka hanya akan menjadi cerita yang terlupa.
Wakil Rakyat dan Rakyat Setara
Islam tidak sejalan dengan demokrasi, namun tetap ada perwakilan rakyat. Fungsinya untuk menjembatani antara rakyat dan pemimpin negara. Perwakilan rakyat ini dinamakan Majelis Umat. Anggotanya dipilih melalui pemilu dan terdiri dari muslim juga nonmuslim. Majelis Umat bertugas untuk mengontrol dan mengoreksi para pemimpin agar tidak berlaku zalim kepada rakyat. Majelis Umat dipilih berdasarkan iman sehingga anggotanya diharapkan memiliki kesadaran yang utuh dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Tidak ada gaji dan tunjangan dengan nominal tinggi, karena dalam Islam setiap rakyat berhak mendapatkan kesejahteraan yang sama.
Kebutuhan dasar rakyat yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keamanan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat dengan biaya minim bahkan gratis. Ketika Majelis Umat memerlukan anggaran untuk kinerja mereka, maka akan disediakan dana secukupnya yang jauh dari pemborosan seperti yang terjadi dalam demokrasi.
"Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud).
Setiap pelaku suap, korupsi, dan penerima gratifikasi dalam Islam akan mendapat sanksi berat, mulai dari penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi atau hakim. Landasan iman dalam melakukan amanah menjadikan Majelis Umat memiliki rem dan hanya akan menerima harta yang memang menjadi hak mereka. Kesadaran akan ada hari pertanggungjawaban di hadapan Allah juga akan selalu menjadi pengingat. Kuatnya iman menjadikan mereka menjauhkan diri dari segala macam harta haram, apa pun bentuknya. Bukan kekayaan atau keberlangsungan dinasti yang dinanti. Menjadi bagian dari Majelis Umat adalah semata untuk mencari mendapat rida Ilahi.
Wallahu a’lam bishawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar