Oleh: Nai Haryati, M.Tr.Bns., CIRBD. (Praktisi, Pengamat Politik dan Ekonomi)
Tragedi menyayat hati menimpa saudara-saudara kita di Palestina. Lebih dari 44.000 orang syahid meliputi anak-anak, perempuan dan laki-laki pasca Taufan Al-Aqsha 7 Oktober 2023. Rumah-rumah dan fasilitas umum luluh lantak akibat serangan brutal Israel. Mereka ditembaki, dibombardir bahkan dengan bom fosfor dan bom api yang mampu membakar mereka hidup-hidup. Kehormatan perempuan dilucuti dan menjadi target eksekusi. Tanah-tanah mereka diambil secara paksa, diblokade, mengalami kelaparan dan hidup dalam nestapa.
Menurut pernyataan PBB, jika perang berhenti maka butuh waktu berabad-abad untuk memulihkan kondisi perekonomian Palestina seperti sebelum perang. Pembangunan kembali rumah-rumah dan infrastruktur seperti sedia kala membutuhkan waktu 80 tahun (www.detik.com, 2 Mei 2024). Rehabilitasi kondisi kehancuran pasca perang yang membutuhkan waktu lama dan dana yang besar menunjukkan begitu dahsyat dampak kerusakan akibat serangan Israel disana.
Penggerak Opini Palestina
Aynal muslimum? dimanakah kamu muslim? Saat ini mungkin kaum muslim dan para Penguasa bisa membuang muka tentang masalah Palestina, menutup mata dan telinga karena tersandera kepentingan dan sekat batas nation state. Tapi bagaimana jika pertanyaan tersebut disampaikan di hadapan Allah SWT sebagai Sang Pengadil di akhirat kelak. Sudah siapkah kita menghadapi gugatan atas kelalaian kaum muslim dalam membela dan memperjuangkan saudara kita di Palestina ? Saudara kita di Palestina adalah bagian tubuh kaum muslim yang terdazlimi dan mengalami sakit. Sudah saatnnya bagian tubuh lain melakukan berbagai upaya untuk bisa mengobati dan menyelamatkannya.
Kesadaran kaum muslim tentang Palestina harus terus dibangun dan dikuatkan. Arus opininya harus terus digulirkan agar kaum muslim tidak tidur dan masalah ini tidak menguap begitu saja. Jangan sampai opini-opini berita lain menenggelamkan permasalahan Palestina dari kaum muslim. Apalagi kita dihadapkan dengan era post-truth yang ditandai dengan merebaknya berita hoax di media sosial, kebimbangan media dan jurnalisme khususnya dalam menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari para elit penguasa.
Sudah saatnya kita menjadi penggerak opini Palestina. Opini yang digulirkan akan mampu membangun opini publik. Tentu kita harus menjadi penggerak opini yang bergelut untuk menangkal pertarungan atau penyesatan pemikiran dalam opini, dengan menggunakan ideologi yang matang dan stabil, yaitu Islam. Kekuatan pemikiran dan perspektif Islam yang diikat oleh wawasan berita dari seluruh penjuru dunia Islam, memiliki kekuatan tersendiri dalam membukakan mata umat dan menggerakkan kesadaran mereka. Inilah yang disebut sebagai dakwah yang menggerakkan. Apalagi dalam kuadran klasifikasi isu yang perlu di tindak lajuti, masalah palestina terkategori penting dan genting untuk di respon.
Dakwah yang Menggerakkan
Dunia saat ini dibanjiri dengan arus informasi. Ada informasi yang memberikan manfaat bagi manusia, informasi berupa sampah bahkan racun jika dikonsumsi. Informasi yang memberikan manfaat akan diindera oleh panca indera, diteruskan ke otak dan dikaitkan dengan maklumat tsabiqoh atau informasi awal sehingga manusia mampu untuk menghukumi fakta atau kejadian. Inilah yang dinamakan proses berpikir.
Hasil dari proses berfikir akan semakin menambah maklumat yang mampu membuka cakrawala kesadaran umat. Kesadaran yang akan mendorong umat untuk bergerak dan berdakwah ke tengah-tengah masyarakat. Begitupun kesadaran umat atas permasalahan palestina. Pembelaan atas palestina lahir dari kaidah amaliyah yaitu hendaknya suatu perbuatan dilandaskan kepada suatu pemikiran.
Suatu masyarakat akan berada pada kondisi sehat dan baik, apabila individu dan benda bergerak pada poros pemikiran yang benar. Maka perlu adanya sekelompok manusia yang menyerukan poros pemikiran yang benar tersebut. Caranya dengan menjadi pengerak opini.
Bekal menjadi seorang penggerak opini yaitu memiliki strategi monitoring berita, skill riset berita, dan literasi terkait politik media. Upaya tersebut dilakukan untuk menghindarkan umat sebagai korban penjumudan, penyempitan wawasan, dan pandangan inwardlooking.
Poros berita yang inwardlooking menjadi tugas besar untuk diselesaikan, agar umat lebih melek situasi politik internasional, tentu dengan definisi politik berbasis pemikiran Islam. Sudah kealamian, masyarakat lebih mudah mengindera berita-berita lokal yang dekat, dibandingkan berita-berita internasional yang jauh. Namun kualifikasi Muslim yang berkesadaran politik adalah berwawasan global atau internasional.
Menjadi Politisi Bagi Umat
Islam mendorong kaum muslim untuk mawas terhadap bebagai kondisi yang menimpa umat. Menjadi Politisi yang tidak melepaskan pandangannya pada masalah keumatan dan berupaya melakukan perbaikan. Seorang politisi muslim yang ideologis harus sampai pada memberikan pendapatnya sesuai sudut pandang Islam dan bagaimana pengaturan urusan umat terkait masalah tersebut. Pemberian pendapat harus didasarkan pada suatu kesadaran politik. Hanya dengan demikian, pendapat yang diberikan akan menjadi sesuatu yang berbobot dan bernilai politis.
Maka untuk mendorong terwujudnya politisi muslim yang ideologis, mereka harus mengikuti secara terus-menerus berita dan peristiwa yang menimpa umat baik skala lokal maupun global. Berdiri di hadapan setiap kebijakan rusak yang diterapkan penguasa zhalim, bahkan juga harus responsif dalam setiap produksi teori pemikiran sesat atas umat ini.
Dan perkataan siapakah yang lebih baik dari orang yang menyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?” (QS. Fushshilat[41]: 33). Sesungguhnya perkataan yang terbaik adalah perkataan mereka yang menyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengingatkan manusia untuk taat dan melakukan perbaikan dan perubahan hakiki berdasarkan mabda islam. Opini-opini yang digulirkan dan menjadi penggeraknya merupakan amal dalam rangka menyeru dan menyadarkan umat. Ini adalah rangkaian dari proses menyiapkan umat untuk menerima islam secara menyeluruh dan taslim, sehingga mereka siap menjadi penegak peradaban Islam yang mulia. Wallahu ‘alam bi ashawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar