Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Menjelang akhir tahun plus akhir semester gegap gerilya dihadapi oleh para siswa juga mahasiswa. Jika biasanya dapat bersantai hanya sekedar masuk kelas, maka sekarang harus ekstra tenaga dan pikiran karena akan menghadapi ujian akhir semester. Tidak serius mengerjakan ujian, alamat jeblok nilai raport. Meski berapapun nilai raport tetap lulus dan naik kelas, tetap saja berpengaruh pada kelayakan di masa depan. Apalagi di Universitas, jika tidak memenuhi nilai yang telah ditentukan maka harus mengikuti mata pelajaran tersebut di kelas lain.
Demikian pula kehidupan. Sebenarnya, setiap waktu kita nyatanya sedang menghadapi ujian kehidupan. Ujian untuk mengetes kesiapan kita menghadapi segala perubahan yang sulit diprediksi. Berbagai ujian mau tidak mau harus kita hadapi. Mulai ujian hati dan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. Tidak bisa kita menghindarinya, sebagaimana sekolah. Jika belum lulus, maka ujian lain siap menghadang dengan sedikit atau banyak perbedaan.
Disaat kita ingin lebih Istiqomah dalam beribadah, ingin lebih baik dalam menata hati, seketika itu pula berbagai ujian datang. Jika biasanya mudah beribadah, kini ada saja halangannya yang memaksa kita memilih antara tetap beribadah atau tidak. Kadang kita ingin berlama-lama dalam shalat, berdzikir tapi hal lain datang yang menuntut untuk segera dipenuhi. Misalnya, makan. Bahkan ketenangan jadi lebih didapat saat makan, dibanding saat shalat dan dzikir. Rasanya khusuk banget sampai tidak terasa habis satu porsi dengan durasi yang lebih lama dari shalat dan dzikir.
Atau ketika kita hendak berlama-lama mengaji, melantunkan ayat suci Al-Quran. Namun baru beberapa ayat dibaca, kantuk menyerang. Berwudhu sudah, tetap kantuk menyerang. Sekedar mengobati, diambillah handphone iseng scroll sana scroll sini. Ajaib kantuk seketika hilang. Sayang, niatan mengaji ikut hilang juga.
Begitupun ketika kita berniat untuk lebih sabar dalam mendidik anak. Seketika anak manis nan lucu berubah di mata kita. Setan yang telah berbuat demikian. Pada akhirnya kita sulit mengontrol emosi. Atau dalam berinteraksi dengan pasangan (suami/istri), seketika melihatnya tak selera. Bak melihat musuh. Tidak jauh beda dengan ujian dalam bermasyarakat dan bernegara.
Apalagi sistem yang dipakai saat ini adalah sistem kapitalisme. Ujian lebih berat lagi. Bagaimana sulitnya mensuasanakan agar diri kita senantiasa Sholih/Sholihah atau berusaha menjadikan keluarga sakinah mawadah warahmah tapi lingkungan dan aturan negara tidaklah mendukung untuk mewujudkannya. Sistem kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan, pantas sekuat apapun usaha kita, hasilnya akan sia-sia.
Kita ingin menghindari riba, namun apa-apa berkaitan dengan riba. Seolah bukan lagi tabu ketika berhutang riba. Bahkan dianggap aneh jaman sekarang gak punya utang! Makin tinggi status sosialnya, tinggi pula utangnya. Orang miskin takut berutang, orang kaya bahkan negara tak tanggung-tanggung berutang hingga milyaran.
Kita hendak menjaga zina, eh tontonan menarik penuh dengan perilaku pacaran, selingkuhan, dll. Bagaimana bisa terjaga? Belum lagi cara berpakaian yang tidak menutup aurat. Bagaimana bisa menjaga pandangan? Astaghfirullah!
Bahkan saat ujian yang terasa enak pun akan dibuat terlena bila dalam sistem kapitalisme. Ketika diberi kesehatan, kadang kita seenaknya membawa jasad. Makan dan minum sembarangan, lupa akan anjuran Rasulullah Saw. bahwa sebagai umatnya kita harus makan/minum yang halal dan toyyib. Juga kadang lupa adab makan dan minum bahwa harus memakai tangan kanan dan senantiasa sambil duduk. Kita lalai karena tidak ada sanksi untuk pelanggaran tersebut. Kita juga tidak merasa bersalah telah berbuat demikian.
Kita juga keasyikan mengejar dunia. Tidak sadar kita sedang menghadapi ujian berupa ditimpa penyakit wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati. Harta, tahta, orang yang dicinta (anak, pasangan, orang tua, keluarga) sering menjadi tumpuan. Lupa siapa yang menumbuhkan benih cinta di hati. Lupa siapa yang memberi sehat. Lupa kepada yang memberi nafas dan keindahan dunia. Sulit sekali menghadapi ujian ini, bahkan lebih sulit dari ujian berupa kesusahan.
Betapa banyak orang yang malah tidak bisa melewatinya. Diberi harta malah lupa mengeluarkan zakat, lupa berbagi, lupa digunakan kepada hal yang akan bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Hartanya malah dipakai foya-foya, flexing, hedonisme, dll. Juga saat diberi tahta. Betapa banyak para penguasa yang tidak amanah, malah mengkhianati rakyat. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dilakukan oleh orang yang tidak lulus ujian tahta.
Lantas apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi ujian kehidupan dalam sistem kapitalisme? Apakah kita mau diam seperti batu? Atau seperti daun yang rela mengikuti kemana arus air membawanya? Mampukah kita menjadi seperti ikan yang berani menghadapi ujian kehidupan walau untuk itu harus melawan arus air?
Allah SWT. berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innalillahi wainna ilaihi raji’uun.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155—157).
Allah SWT. mengabarkan bahwa Dia pasti akan menguji para hamba-Nya dengan berbagai ujian. Tujuannya untuk membedakan dengan jelas di antara hamba-hamba-Nya yang jujur dan dusta imannya. Begitu juga untuk menunjukkan siapa di antara mereka yang sabar dan tidak sabar. (Tafsir Al-Karimir Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan).
Allah SWT. berfirman:
لَـتُبْلَوُنَّ فِيْۤ اَمْوَا لِكُمْ وَاَ نْفُسِكُمْ ۗ وَلَـتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْۤا اَذًى كَثِيْـرًا ۗ وَاِ نْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِ نَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُ مُوْرِ
"Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan." (QS. Ali 'Imran: 186).
Ujian diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk membuktikan kebenaran imannya. Tanpa ujian yang dialami seseorang, keimanan orang itu pun belum bisa terbukti. Itulah mengapa, Allah SWT. berfirman dalam Alquran:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُوْنَ
“Apakah manusia bisa mengira dirinya dibiarkan begitu saja mengatakan, “Kami telah beriman.” Sementara mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2).
Maka, tak ada seorang pun, baik manusia biasa maupun utusan Allah, yang menyatakan beriman, kecuali pasti melalui ujian. Ujian yang membuktikan kebenaran imannya. Ujian yang mengangkat derajatnya. Ujian yang membuktikan cinta-Nya kepada kekasih-Nya.Ayah dan Ibunda wafat, dimakamkan dihadapan dirinya yang masih kecil, lalu hidup sebagai yatim. Giliran kakek, paman hingga sang istri tercinta juga wafat. Kaumnya memusuhi dan menyakiti, juga terusir dari Mekkah negeri kelahirannya, maka lengkap sudah ujian hidupnya, namun luar biasanya Beliau bersabda: “Bukankah sudah seharusnya aku menjadi hamba yang selalu bersyukur.?” Itulah Nabi Muhammad Saw.
Begitupun dengan para sahabat. Bukan hanya kaum prianya, tetapi wanitanya pun mengambil bagian. Sumayyah harus meregang nyawa, dan menjadi syahidah pertama dalam Islam. Saat menghadapi penyiksaan, Nabi Muhammad Saw. pun sampaikan, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji [yang Allah berikan kepada] kalian adalah surga.” Wanita paruh baya itu pun dengan mantap menjawabnya, “Sungguh, surga itu sudah tampak di depan mataku, ya Rasulullah.”
Khadijah radhiyallahu anha yang kaya raya itu pun telah memberikan seluruh hartanya, jiwa dan raganya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dengan sabar menemani, melayani dan memberi semangat kepada suami tercintanya. Berbagai ujian keimanan saat di Makkah dilaluinya bersama sang suami dengan sabar. Saat usianya sudah lebih dari 50 tahun, beliau dengan sabar mendaki Jabal Nur tuk menemani suaminya yang tengah berkhalwat di sana. Beliau menemani selama 3 tahun suaminya diboikot bersama Bani Hasyim dan Abdul Muthallib di Syi’b Abu Thalib, di Makkah.
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abdurrahman, Suhaib dan para sahabat yang lain telah membuktikan keimanan mereka. Ujian demi ujian mereka lalui dengan ikhlas. Mereka tidak pernah mengeluh, karena bagi mereka keluhan saat diuji itu tanda tak rela dengan keputusan Allah SWT., “Fashbir li hukmi Rabbika.” (Bersabarlah kamu dengan keputusan Tuhanmu). (QS. Al-Insan: 24).
Ujian itu pun mereka sadari sebagai pembuktian iman mereka kepada-Nya. Bahkan, ujian itu telah mengangkat derajat mereka, serta bukti cinta Allah kepada kekasih-Nya. Nabi Muhammad Saw. bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya pahala yang besar itu menjadi balasan bagi ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Siapa saja yang ridha, maka dia akan mendapatkan ridha Allah. Siapa yang tidak ridha, maka dia pun berhak mendapatkan murka-Nya.” (HR. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, No. 4031. Dinyatakan Hasan oleh Al-Albani).
Betapa berat ujian yang dialami Sumayyah radhiyallahu anha, tetapi dia tetap bersabar. Betapa berat ujian yang dihadapi oleh Khadijah radhiyallahu anha bersama keluarganya, tetapi dia tetap bersabar. Ujian yang sama juga dialami oleh para sahabat yang lain, dan mereka pun tetap bersabar. Ketika mereka lolos dari ujian ini, Allah subhanahu wa ta'ala memberi imbalan yang luar biasa.
Sumayyah mendapatkan surga, “Inna mau’idakum al-jannah.” [Sesungguhnya janji (yang Allah berikan kepada) kalian adalah surga]. Khadijah mendapat salam dari Allah SWT. dan Jibril, dan dibangunkan rumah di surga untuknya, “Baligh salami-Llahi wa salami, qad bana-Llahu laha baitan fi al-jannah.” (Sampaikanlah salam Allah dan salamku. Sungguh Allah telah membangun untuknya rumah di surga). Abu Bakar pun demikian. Begitulah balasan yang diberikan, setelah mereka lolos dari ujian yang Allah SWT. tetapkan.
Maka, ketika kita diuji oleh Allah SWT., yang dibutuhkan hanya ridha dengan keputusan-Nya, dan bersabar. Itulah sikap orang Mukmin, yang disebut oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai kebaikan. “Sungguh luar biasa orang Mukmin itu. Jika dia diberi kebaikan, dia bersyukur. Jika dia ditimpa keburukan, dia bersabar.” (HR. Muslim).
Jadi ketika kita diberi ujian yang tidak mengenakkan, kita harus bersabar. Sabar sesuai syariat, yaitu berusaha sekuat tenaga dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT hingga Allah SWT. yang menghentikan kesabaran kita hingga ke batas akhir. Laksana ikan yang sabar meski harus diterjang badai dan melawan arus deras.
Jika kita diberi ujian kenikmatan, kita diharuskan untuk bersyukur. Sadar bahwa apa-apa pun adalah dari Allah SWT. Semuanya akan kembali kepada Allah SWT. Kita hanya dititipi orang yang kita cintai, dititipi harta, dan dititipi tahta. Kita harus amanah dalam menjaganya.
Kita pun harus tetap husnudhan (berbaik sangka) kepada Allah SWT. Karena persangkaan kita itulah yang juga akan menjadi “persangkaan” Allah SWT. kepada kita. “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari-Muslim). Kita harus selalu yakin, bahwa ujian demi ujian itu adalah tanda cinta-Nya kepada kita.
Dan yang terpenting, kita mesti mempraktekkan apa yang sering ditulis di papan pengumuman dan terpampang di depan kelas saat ujian, "Harap tenang sedang ujian". Kita harus tenang! Tidak mengeluh, apalagi mengeluarkan sumpah serapah. Ingat Allah SWT. lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Allah SWT. telah menjelaskan bagaimana caranya ketika menghadapi ujian dalam surat Al-Insyirah.
Ujian kehidupan berbeda dengan ujian sekolah. Jika ujian sekolah kita dilarang kerjasama, maka dalam ujian kehidupan justru kita harus bekerjasama. Jangan terpecah-belah. Kita dengan keluarga harus bahu membahu dalam membangun keluarga sakinah mawadah warahmah. Kita juga berkewajiban bekerjasama dengan senantiasa beramal ma'ruf nahi munkar kepada sesama, baik tetangga, masyarakat, juga penguasa agar ujian kehidupan tidak seberat dalam sistem kapitalisme dengan bersama-sama mengganti sistemnya dengan sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Kebaikan Allah tidaklah datang terlambat, melainkan datang pada waktunya yang tepat. Kita saja yang tidak senang menanti & ingin jalan keluar itu datang dalam sekejap. Kita juga tidak sepenuhnya mengerti bahwa dengan kesabaran itu kita akan diberikan pahala. Semoga kita tetap istiqamah di Jalan-Nya, karena cinta. Karena sungguh cinta-Nya kepada kita lebih besar, daripada cinta kita kepada-Nya. Aamiin allahumma aamiin.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar