Oleh : Indra Nofita A. (Ibu dan Pendidik Generasi)
Telah dianugerahkan pada setiap diri manusia memiliki naluri melestarikan keturunan (gharizatun nau’) dan keberadaan naluri dalam diri manusia menumbuhkan ketertarikan kepada lawan jenis. Karenanya Allah SWT memberikan aturan-Nya tentang bagaimana pemenuhan terhadap gharizah nau’ ini yaitu dengan menikah. Pernikahan sejatinya merupakan gerbang bagi manusia untuk membangun keluarga dan melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak – anak dari pasangan suami – istri.
Namun, dewasa ini muncul gagasan ide childfree dikalangan pasangan yang menikah. Childfree sendiri adalah kondisi di mana individu atau pasangan suami istri sepakat untuk tidak memiliki anak dalam keluarganya.
Dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis laporan periode 2023 terkait kasus childfree. BPS melakukan survei kepada kelompok perempuan dan ditemukan 71 ribu perempuan berusia 15 hingga 49 tahun yang tidak ingin memiliki anak. Dan dari data yang dihimpun oleh BPS tersebut, ada beberapa alasan wanita tidak segera ingin memiliki keturunan, di antaranya ; Pertama, perempuan mengejar pendidikan lebih tinggi, menunda atau bahkan tidak berkeinginan memiliki ancak, khususnya yang menempuh S2 dan kedua, factor kesulitan ekonomi.
Faktor kesulitan ekonomi dilaporkan menjadi alasan lebih banyak seseorang memilih childfree, perempuan childfree berpendidikan SMA ke bawah tercatat memiliki persentase lebih tinggi. Artinya, pemicu seseorang hidup childfree tidak hanya dipengaruhi oleh membaiknya level pendidikan, tetapi juga dilatarbelakangi kesulitan ekonomi. (detik.com)
Fenomena childfree bukan fenomena baru. Konsep childfree sudah dikenal masyarakat di Eropa pada abad 1500-an yang merupakan suatu hal yang umum terjadi di sana kala itu. Kemudian istilah childfree mulai berkembang dan mendapat banyak perhatian dari para orang tua khususnya perempuan yang pada seiring berjalannya zaman dengan kesibukannya dan persoalan kekhawatiran dari ekonomi yang menganggap memiliki anak menambah beban hidup dan ekonomi.
Kemudian berkembangnya ide childfree di Indonesia yang mencuat dari banyaknya para insfluenser yang memilih childfree. Ditambah dari sikap pemerintah yang membebaskan pasangan memilih childfree karena bagian dari hak asasi manusia.
Jika ditelusuri, ide childfree ini terus berkembang tidak lepas dari ide feminism dalam sistem kapitalisme yang dianut. Feminis menarasikan kesetaraan gender sebagai ide yang sangat penting untuk kaum perempuan. Mereka menyerukan bahwa kebebasan dan pemberdayaan perempuan, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, merupakan kunci terselesaikannya berbagai persoalan perempuan. Barat menggiring perempuan untuk berlomba-lomba terjun “memberdayakan diri” dalam dunia kerja. Mereka jadi bertekad mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung pada laki-laki, juga tidak perlu membangun keluarga. Kalaupun menikah, mereka tidak punya keinginan untuk memiliki keturunan (childfree). Tidak hanya menjerat kaum muslimah dalam pemberdayaan ekonomi, Barat juga merusak muslimah muda dengan gagasan sesat mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Implikasi HKSR ini adalah kendali perempuan atas tubuhnya (bodily autonomy).
Hak otonomi atas tubuh perempuan ini membuat mereka merasa dapat menentukan secara mandiri dengan siapa ia melakukan aktivitas seksual, kapan ia mau menikah, apakah ia mau memilih memiliki anak, dan hal lain terkait kehidupan seksual dan reproduksinya.
Terkait dengan faktor kesulitan ekonomi yang menjadi alasan lebih banyak seseorang memilih childfree, muncul karena lemahnya seseorang dalam pemahama konsep rezeki. Childfree hanya mempertimbangkan manfaat dan kesenangan, tanpa pertimbangan agama sama sekali. Kondisi ini diperparah dengan diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, sistem ini menganut paham siapa yang memiliki modal banyak, dialah yang berhak menguasai.
Dari laporan Oxfam 10% populasi dunia menguasai sekitar 90% dari total kekayaan dunia. Sebaliknya, 90% penduduk dunia memperebutkan 10%-nya. Inilah pangkal malapetaka dan sumber konflik sosial karena 90% penduduk akan sikut-sikutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka tidak heran ketimpangan social terjadi, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Inilah yang membuat perempuan bahkan laki-laki enggan memiliki anak karena memiliki anak sama dengan menambah beban ekonomi keluarga. Mereka khawatir tidak mampu membiayai tumbuh kembang anak-anaknya dengan optimal.
Dari sini kita melihat Ide childfree jelas dapat mengancam keberlangsungan kelahiran generasi. Maka sudah sepatutnya kembali pada sistem Islam secara kaffah. Islam adalah ideologi yang berasal dari Sang Pencipta. Konsep Islam begitu lengkap mengatur cara memuliakan perempuan. Bahkan, bukan hanya perempuan, melainkan juga laki-laki. Islam telah secara sempurna dan dinamis mengatur mengatur peran keduanya. Laki-laki sebagai pemimpin; perempuan sebagai ummun wa rabbatul bait. Keteraturan inilah yang mampu melahirkan peradaban mulia.
Dengan diterapkannya Islam secara sempurna, seorang perempuan dapat menjalankan perannya secara sempurna dengan support system dari keluarga dan negara. Negara akan memberikan edukasi dengan ditunjang sistem Pendidikan Islam yang memahamkan peran laki – laki dan perempuan.
Islam menjamin kesejahteraan dengan sistem ekonomi Islam dan sistem Islam akan menguatkan akidah sehingga akan menolak ide childfree karena bertentangan dengan akidah Islam. Memiliki anak bukanlah beban melainkan amanah yang menjadi ladang investasi pahala bagi orang tua.
Inilah yang harus diinternalisasikan ke dalam diri muslimah, yakni ideologi Islam yang sinergis dalam mempersiapkan peran mereka di dunia sebagai ummun wa rabbatul bait, serta pencetak dan pendidik generasi tangguh yang akan dibanggakan oleh Rasulullah saw. kelak sesuai kodrat penciptaannya. Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar